Bab 3 Apa Sih Yang Tidak Bisa Aku Tau Tentang Kamu?
Bab 3 Apa Sih Yang Tidak Bisa Aku Tau Tentang Kamu?
"Apa, sih, yang tidak bisa aku tau tentang kamu."-Abraham Chendra Vinero-
"Astaga!" Ocha terperanjat kaget saat melihat Nero sedang berdiri di depan rumah sambil menyandar ke motornya. "Apa yang kamu lakukan di sini?"
Nero mengangkat bahu sambil tersenyum sangat lebar hingga gigi putihnya terlihat. "Pagi, Sayang, hari yang begitu cerah." Dia menatap Ocha hangat. "Aku sedang menunggu kamu. Kita berangkat bersama, yuk."
"Dari mana kamu tau rumahku?" tanya Ocha bingung, dia tidak pernah memberitahu alamat rumahnya pada siapa pun. Tapi bagaimana bisa Nero tahu di mana dia tinggal.
"Apa, sih, yang tidak bisa aku tau tentang kamu?" Nero tersenyum, menatap Ocha dengan hangat, terlihat keren. Kalau saja reputasi Nero baik... Kemudian dia menunjuk motor matic yang baru dia beli kemarin. "Oh iya, kenalin. Ini Rossi, dia motor kesayanganku ... eh, tapi kamu tenang saja. Tetep kamu yang paling aku sayang, kok. Rossi cuma selingkuhanku."
Ocha menaikan sebelah alis, apa laki-laki itu benar-benar Nero Abraham yang terkenal cuek dan menakutkan itu? Tetapi kenapa sikap Nero seperti orang gila.?Orang waras mana ada yang menganggap motornya sebagai selingkuhan?
"Rossi, kenalin perempuan ini pacar aku. Dia pacar baruku. Kamu harus baik padanya, oke? Jangan marah karena kamu kujadikan selingkuhanku."
Fix, Nero pasti benar-benar gila !
"Tak mau kenalan, Cha?"
Ocha hanya melengos lalu pergi melewati Nero tanpa menghiraukan laki-laki itu. Namun baru juga beberapa langkah, Nero menahannya. Dia membalik tubuh Ocha agar menghadap ke arahnya. Nero menatap mata Ocha lama, tidak ada ekspresi apa pun di mata Nero hingga membuat Ocha merasa bingung.
"Apa?!"
Nero mengedip. "Kamu cantik."
Ocha memutar bola mata. Nero memberikan helm, tapi tidak diterima Ocha. Laki-laki itu tidak menyerah, dia memakaikan helm ke kepala Ocha yang langsung mendapat pelototan dari perempuan itu. Nero terkekeh, menahan helm itu agar tidak dilepaskan oleh Ocha, lagi-lagi menatap mata Ocha dengan pandangan kosong, sangat tidak cocok dengan ekspresi wajahnya yang ceria.
"Apa-apaan sih?!" bentak Ocha kesal. "Sudah aku bilang, kan, jangan ganggu aku. Untuk apa juga kamu ke sini?"
"Aku sudah bilang juga, kan. Aku ini pacarmu, meski kamu menolak aku tetap memaksa." Nero berpikir sesaat. "Ngomong-ngomong ini hari jadian kita yang kedua, kan. Apa kita harus merayakannya?"
Ocha hanya mengerjap, apa kata Nero tadi? Memaksa jadi pacar? Hari jadi yang kedua. Ocha menyipitkan mata, melihat Nero dengan seksama. Apa yang dikatakan orang-orang tentang Nero yang playboy cap kadal, yang sudah pacaran dengan hampir semua perempuan di sekolah itu benar? Kenapa sikap Nero terlihat sangat aneh dan sedikit bodoh? Apa mata para perempuan di sekolah itu rabun sampai mau saja pacaran dengan laki-laki lebay dan alay semacam Nero.
"Merayakan kepalamu!" Ocha menahan kesal. "Kita tidak pacaran! Kamu bukan pacarku ! Dan aku tidak suka padamu! Sana pergi, jangan ganggu aku lagi!!"
"Kalau begitu, aku hanya perlu membuat kamu suka sama padaku, baru kita jadian? Oke?" Nero bersikeras.
Ocha tidak tahu bagaimana dirinya harus menghadapi tingkah Nero. Entah laki-laki itu bodoh atau keras kepala, kenapa Nero tidak mengerti maksud Ocha dan pemikirannya malah melebar ke mana-mana? Bahkan Ocha ragu kalau Nero di-gilai oleh perempuan-perempuan di sekolah. Mungkin mereka tertipu oleh tampang Nero yang lumayan tampan, karena menurut Ocha, Kim Woo Bin lebih tampan dari siapa pun. Meski Ocha harus patah hati karena Kim Woo Bin sudah punya pacar.
"Nero ..."
"Pagi, Ocha!!" teriak seseorang. "Kita berangkat bersama, yukk—kenapa kamu di sini?"
Nero menoleh ke belakang, dia langsung melenguh saat tahu kalau ternyata Ares tinggal di seberang rumah Ocha.
Ares yang kesal melihat Nero bersama Ocha langsung membuka pintu gerbang dengan susah payah, dan mengumpat saat tangannya terjepit. Kemudian Ares berlari menghampiri Nero dan Ocha, berdiri di antara mereka berdua dengan napas terengah.
"Untuk apa pagi-pagi kamu ke sini?" Tatapannya yang begitu tajam menatap Nero, membuat Ocha jengah karena bertambah satu pengganggu lagi.
"Jemput Ocha." Nero menyahut pendek, membalas tatapan Ares dengan datar. Seolah pagi ini mata Nero sedang malas berekspresi.
Ares berdecak, "Ocha tidak perlu dijemput olehmu. Dia berangkat bersamaku." Dia menarik Ocha hingga mendekat ke arahnya, Nero memandang hal tersebut dengan kening berkerut.
"Hei, aku bisa pergi sendiri!" seru Ocha tapi tidak dipedulikan.
"Sana kamu pergi saja. Dasar laki-laki asing menyebalkan, bisa-bisanya mendekati Ochaku. tidak akan kubiarkan, kamu mengambil Ocha dariku."
Nero memutar bola mata, dia melihat ke sekeliling daerah komplek rumah Ocha. "Apa aku juga harus pindah ke sini?" tanyanya pelan, dia tidak akan membiarkan Ares punya kesempatan untuk mendekati Ocha.
"Apa?!" tanya Ocha dan Ares bersamaan.
"Kalau kamu tinggal di sini, maka kamu akan punya banyak kesempatan untuk mendekati Ocha." Kepala Nero meneleng. "Aku tidak boleh membiarkan hal itu terjadi. Aku harus tinggal di sini juga."
Ocha menunduk lesu, tidak tahu harus berbuat apa untuk menghadapi tingkah Nero. Sedangkan Ares mendesis kesal, tanpa aba-aba dia mencengkram kerah seragam Nero dan menatap laki-laki itu dengan tajam.
"Nero brengsek. Awas saja kalau kamu benar-benar pindah ke sini, aku akan—"
Namun Nero tidak takut, dia menepis tangan Ares dengan kasar lalu mundur satu langkah sambil menatap Ares datar. "Kamu pikir aku takut? Apa hakmu meelarang aku untuk mendekati Ocha? Emang Ocha siapamu? Bukan pacarmu, kan."
Ares tergagap, "Tapi Ocha sahabatku, yang sebentar lagi jadi pacarku. Makanya jangan mendekati Ocha."
Nero malah tersenyum mengejek. "Cuma sahabat."
"BERHENTI!" teriak Ocha kesal setengah mati. "Kalau mau bertengkar jangan di depan rumahku! Sana di lapangan. Membuatku kesal saja," kata Ocha lalu pergi meninggalkan Nero dan Ares.
Melihat Ocha pergi, buru-buru Nero dan Ares menahan tangan Ocha secara bersamaan. Menyadari hal tersebut, Ocha langsung menepis tangan mereka. Mimpi apa ia semalam, sampai-sampai harus menghadapi tingkah kekanak-kanakkan Nero dan Ares.
"Kamu akan terlambat kalau naik bus, kita berangkat bersama saja. Ayo!" ajak Nero, melirik motor matiknya dengan senyum kemenangan, karena Ares kelihatannya tidak memiliki kendaraan untuk mengantar Ocha pergi ke sekolah.
Ares menarik bahu Ocha hingga menghadap ke arahnya. "Berangkat denganku saja. Tapi ... motorku sedang di bengkel. Kita naik taksi aja."
Nero terkekeh sinis, "Emang kamu bisa naik taksi pagi-pagi begini? Taksi udah penuh."
"Aku bisa telepon."
"Kamu tidak liat jam? Sudah jam setengah tujuh. Mau menunggu sampai kapan?"
Ocha memejamkan mata, jika dia berlama-lama melihat pertengkaran Nero dan Ares maka dia akan terlambat. Satu-satunya cara sampai di sekolah dengan selamat tanpa terlambat adalah dengan memakai motor Nero, maka dari itu, dengan sangat terpaksa dia naik ke motor Nero. Biar saja Nero senang, daripada Ocha harus mendapat hukuman dari Pak Arif yang kejamnya minta ampun.
"Aku juga ikut motormu kalau begitu," kata Ares cepat, ia tidak akan membiarkan Nero punya kesempatan untuk menyentuh Ocha.
"Apa?"
"Aku juga naik motormu. Aku tidak akan membiarkan kamu berduaan dengan Ocha."
"Astaga, Ares!" Ocha menatap Ares marah. Tidak bisakah Ares bersikap dewasa sedikit saja. "Jangan main-main, deh! Aku sudah terlambat."
Ares menunjuk Nero. "Kamu tidak tau apa yang akan dilakkan oleh laki-laki itu kalau naik motor bersama. Makanya, aku mau ikut." Ares melangkah ke depan, menghalangi Nero agar tidak dekat-dekat dengan Ocha.
Ocha memutar bola matanya, "Motornya tidak akan muat kalau ditumpangi tiga orang." Dia turun dan melenguh kesal karena waktu terus berjalan. "Aku jalan kaki saja, deh."
"Kamu akan telat!" seru Ares dan Nero bersamaan, kemudian mereka bertengkar sedang dan saling menyuruh satu sama lain untuk pergi saja.
Ocha tidak tahan lagi, dengan kesal dia mengambil paksa kunci motor Nero dan menghidupkan mesin motor. "Kalian berdua naik! Aku yang menyetir."
"Tapi ..."
"Mau ikut tidak?!" seru Ocha bersiap untuk pergi, kalau kedua laki-laki itu tidak naik dalam waktu lima detik, dia akan pergi sendiri, tidak peduli jika yang ia naiki adalah selingkuhan Nero, Rossi.
Wajah Ocha begitu menyeramkan sampai-sampai Nero dan Ares bergidik ketakutan. Tanpa banyak kata sedang mereka naik motor, Ares protes karena dia duduk paling belakang, dan Nero mengomel karena tubuh Ares besar sehingga dia terjepit. Namun gerutuan mereka langsung terhenti saat Ocha menjalankan motor dengan kecepatan penuh.
"OCHA!! AKU MAAAASSSIIIIHHH MAUUU HIIDUUUP!" teriak Ares ketakutan, dia memeluk pinggang Nero, sedangkan kepalanya mengadah tidak kuat menahan desiran angin.
"Apaan sih samapi memelukku segala," kata Nero berusaha melepaskan pelukan Ares. "Heii, aku masih normal."
"OCHAA, HATI-HATI NANTI ROSSIKU MATI JANTUNGAN!!" Nero ikut berteriak.
Ocha tidak peduli, dia malah semakin menambah kecepatan, menyalip kendaraan lain dengan sangat lihai bak pembalap MotoGP, bahkan Valentino Rossi dan Marc Marquez pun kalah. Orang-orang yang melihatnya langsung melongo, bingung karena perempuan yang mengendarai motor, bukannya dua laki-laki yang duduk di belakang.
"Aww," ringis Nero saat kepalanya mengenai helm Ocha. "Kenapa berhenti di sini?"
Ocha memberikan kunci motor pada Nero. "Aku tidak mau diliat oleh orang-orang," katanya beranjak pergi yang langsung disusul oleh Ares.
"Tunggu, Cha. Kita masuk bersama saja."
Nero menahan Ares. "Ocha, masuk bersamaku saja."
"Apaan sih, kamu. Ikut-ikutan aja."
Ocha hanya menatap mereka datar lalu pergi dan lagi-lagi diikuti oleh Nero dan Ares di kedua sisinya. Namun saat mereka berada di pinggir lapang sekolah, Ocha menatap Nero bingung.
"Kamu tidak mau memarkir motormu di parkiran sekolah?"
Nero langsung melotot kaget, teringat dengan motornya yang dia di tinggal di sembarang tempat. "Motor! Rossikuuuuuu!" teriak Nero lalu berlari keluar sekolah lagi. Dia kembali ke tempat dimana Rossi-nya di tinggalkan, namun saat tiba. Nero tidak melihat motornya di mana pun. "Rossi, kau ada di mana? Rossi?!" panggil Nero berlebihan. "Ahhhh, Rossikuuuu hiilaangg!"
Pak Arif hanya melongo melihat tingkah berlebihan Nero. "Apa anak itu sudah gila?" Pak Arif menggeleng. "Ck, kelakuan anak zaman sekarang."