Bab 13 Nero Pergi
Bab 13 Nero Pergi
"Tuhan membiarkan semuanya terjadi dengan suatu alasan. Semua itu proses belajar dan kamu harus melewati setiap tingkatannya."
-Uncontrollably Fond-
Ares membanting tas ke atas sofa lalu ikut membanting tubuhnya sendiri ke atas sofa. Kedua matanya menatap nyalang langit-langit ruang tamu. Helaan napasnya terdengar teratur meski keningnya tidak berhenti berkerut.
Rumah sepi, ibunya masih bekerja di kantor mungkin akan pulang sekitar satu jam lagi. Nero ... bahkan setelah kejadian malam itu Ares tidak pernah melihat keberadaan laki-laki sinting itu di mana pun. Nero tidak pulang ke rumah, hanya saja semalam Zia bercerita kalau Nero pulang kemarin sambil bawa motor Ares yang diambil Riko.
"Nero pulang? Kok Ares tidak lihat." Ares melihat ke sekitar saat Zia memberikan kunci motor pada Ares.
Zia berpikir sesaat. "Nero pergi lagi, katanya beberapa hari ini dia nginep di rumah sepupunya. tidak tahu kenapa. Nero juga berterima kasih, katanya kamu sudah minjemin dia motor."
"Lalu, kapan Nero kembali ke sini?"
"Mama tidak tahu, Nero tidak bilang. Kayaknya dia lagi ada masalah, wajahnya kelihatan pucat sekali."
Keesokan harinya, Ares langsung bertanya pada Cepi. Kenapa motornya bisa kembali lagi? Meski tidak terlalu jelas, Cepi hanya bilang kalau Nero menantang Riko balapan, kemarin lusa. Jika Nero menang, dia ingin motor Ares kembali. Sayangnya Riko kalah telak.
"Padahal kalau mau dia bisa ambil motornya aja." Terakhir yang dikatakan cepi sebelum pergi.
Dan sekarang Ares masih sangat penasaran. Kenapa Nero mau repot-repot balapan hanya demi motor Ares? Mungkin Nero merasa bersalah? Tentu saja, pikir Ares muram. Dia bertanding dengan Riko gara-gara Nero, lagi pula harga motornya sama sekali tidak murah.
"Kenapa aku malah mikirin si kecoak busuk itu." Ares mengacak rambut lalu mendesah, tidak dipungkiri bahwa dia sangat senang motornya kembali dan Zia tidak marah padanya.
Tidak tahan sendirian di rumah, Ares keluar lalu melihat Ocha hendak bersiap pergi.
"Ocha?!" panggil Ares. "Mau ke mana?"
Ocha menoleh. "Ke suatu tempat." Seperti biasa, Ocha selalu menjawab singkat, padahal sekarang lagi tidak di sekolah.
Ares tersenyum sangat lebar saat sebuah ide melintas di kepalanya, ini saat yang tepat untuk mendekati Rachel.
"Aku antar, ya."
"tidak usah." Ocha menggelengkan kepala. "Aku jalan sendiri aja."
Ares buru-buru mengeluarkan motornya lantas mengejar Ocha. "Ayo bareng aja."
Mata Ocha menyipit. "Memangnya kamu mau ke mana?"
Ares tidak punya tujuan sebenarnya, dia pergi karena melihat Ocha juga akan pergi entah ke mana, bertemu dengan Rena kali, pikir Ares. "Eng, mau ketemu sama temen."
"tidak papa." Ocha meneruskan jalan.
Ares berdecak, "Ck, kamu ini. Kayak sama siapa aja. Ayo naik, lumayan bisa ngehemat ongkos." Dan aku juga bisa berduaan sama Ocha tanpa ada gangguan, lanjut Ares bahagia.
laki-laki itu senang bukan main saat akhirnya Ocha mengalah lalu naik motor. Sengaja mempercepat laju motor agar Ocha mau berpegangan pada pinggang Ares. Meski yang diambil Ocha malah memegang pundaknya kayak tukang ojek. Tidak papa, Ares mendesah dalam hati. Merasakan tangan Ocha saja sudah cukup baginya.
"Kamu mau ke mana? Tumben keluar sore-sore."
Ocha tidak langsung menjawab hingga Ares berpikir kalau Ocha tertidur.
"Someday Cafe."
"untuk apa ke sana?"
"Ketemu seseorang."
"Rena? Atau orang lain?"
Ocha memukul bahu Ares. "Banyak nanya sih kamu!"
Ares mendengus, "Aku cuma ingin tahu aja. Siapa tau orang yang kamu temui itu berbahaya. Kalau aku tau 'kan, aku bisa nolong kamu."
Giliran Ocha yang mendengus. "tidak usah repot-repot, aku tidak butuh perlindungan kamu."
Ares tersenyum meski Ocha tidak akan bisa melihatnya. "Tapi, aku akan berusaha ngelundungi kamu. Apa pun yang terjadi."
Hening hingga akhirnya tiba di Someday Cafe. Ocha turun, berdiri di hadapan Ares.
"Makasih."
Ares mengangguk. "Kapan pulangnya? Telepon aku aja."
Ocha menggelengkan kepala. "Aku akan lama." Tiba-tiba Ocha menatap Ares lama hingga membuat laki-laki itu gugup. "Motor kamu udah balik lagi?"
"Hah?"
Ocha tergagap lalu tersenyum salah tingkah. "Eh, maksud gue. Aku baru liat motor kamu lagi."
Giliran Ares yang tergagap. "Eh, itu ... engg, motor aku emang baru balik dari bengkel. Biasa." Ares memakai helm. "Aku pergi dulu, ya. Dahh!"
***
Ocha memasuki kafe, mencari keberadaan Farel ke sekeliling kafe. Tadi malam Farel meneleponnya dan meminta bertemu dengan Ocha di Someday Cafe. Katanya ada yang ingin Farel sampaikan pada Ocha mengenai Nero. Sebab itulah sekarang Ocha mau repot-repot datang ke sini.
Semua ini karena Nero.
Entah sejak kapan Nero bisa membuat Ocha sepenasaran ini.
Sepertinya Farel belum tiba karena Ocha tidak melihat laki-laki itu di sekeliling kafe. Tidak mau berdiri dan membuat kakinya pegal, Ocha memilih spot yang nyaman. Tidak langsung memesan minuman atau makanan, hanya duduk sambil melihat dinding yang dipenuhi oleh coretan harapan para pengunjung.
'Biarkan aku hidup satu hari lagi.'
'Biarkan aku hidup satu hari lagi.'
'... Aku ingin bahagia saat aku pergi nanti ...'
—Samudera 10-08
Ocha terpaku pada satu harapan yang ditulis tepat di dinding sampingnya. Entah mengapa dia merasa kalau penulis harapan itu benar-benar sangat berharap untuk hidup.
"Apa dia dibiarkan hidup?" gumam Ocha.
"Tidak. Tuhan memberinya waktu sampai di batas tertentu. Leukimia. Samudera meninggal dua tahun lalu. Tanggal sepuluh bulan delapan. Untungnya dia bisa bahagia sebelum dia pergi."
Saking seriusnya Ocha sampai tidak sadar kalau Farel sudah duduk di hadapannya. Laki-laki tampan itu melihat ke sekeliling, memberi kode pada pelayan.
"Samudera putera pemilik kafe ini," lanjut Farel. "Mau apa?"
Ocha tergagap, masih terkejut menerima informasi mengenai Samudera yang ternyata sudah meninggal. Sekilas dia melihat foto Samudera, laki-laki itu tampan dan manis, sangat disayangkan jika laki-laki seperti Samudera harus meninggal di usia muda.
"Ice chocolate mix saja."
"Makannya?"
Ocha menggelengkan kepala.
"Oke, kalau begitu saya pesan ice chocolate mix sama americano. Tolong dipercepat, ya." Farel mengedipkan mata dan membuat pelayan yang bertugas bersemu merah.
"Baik, saya ulangi. Ice chocolate mix satu dan americano satu. Dipercepat. Tunggu sebentar." Setelah mengangguk sambil tersenyum, pelayan itu berlalu pergi.
Perhatian Farel kembali tertuju pada Ocha, dia tersenyum. "Maaf saya datang terlambat. Hari ini toko kedatangan banyak pelanggan."
"tidak papa, saya juga belum lama."
"Baguslah." Farel melihat ke arah sepasang kekasih yang sedang menulis sesuatu di dinding. "Saya rasa, Nero juga menuliskan harapannya di sini."
Ocha tertarik. "Nero?" Sontak mata Ocha berputar ke segala arah, mencari-cari harapan yang sekiranya ditulis oleh Nero.
"Gimana pun juga, sekarang ini dia sangat membutuhkannya, harapan."
"Memangnya kenapa dengan Nero? Terjadi sesuatu sama Nero?"
Farel terkekeh, "Bukan Nero namanya kalau tidak terjadi sesuatu sama dia."
"Jadi, memang terjadi sesuatu sama Nero? Apa dia baik-baik saja? Dia tidak masuk sekolah. Dia memang diskors, tapi ..."
"Sebab itulah kenapa saya ingin ketemu sama kamu." Wajah Farel berubah muram, namun kembali tersenyum saat pelayan datang kembali membawa pesanan. "Kamu pasti mendengar pembicaraan saya dengan Om Aldo, ayah Nero waktu itu."
Ocha mengangguk kaku. Dia pikir Farel marah karena dia menguping pembicaraan mereka.
"Nero banyak cerita tentang kamu. Saya bisa langsung tahu karena hape Nero penuh sama foto kamu. Waktu kamu belajar di rumah, bersihin halaman rumah, waktu kamu makan, waktu kamu lagi bicara sama temen kamu. Untungnya Nero tidak punya foto waktu kamu lagi mandi." Farel nyengir lebar dibalas delikan tajam oleh Ocha. "Saya serius. Nero segila itu. Tiap hari dia nelepon saya, minta saran ini-itu padahal saya yakin kalau mantan pacarnya lebih banyak dibandingkan saya."
Ocha mendengus, "Saya tahu kalau Nero itu gila. Tapi saya tidak pernah tahu kalau Nero sesinting itu. Dia bukan hanya menyebalkan, tapi juga ... astaga, dia itu ..."
Kepala Farel meneleng. "Setuju sekali sama kamu. Nero itu emang nyebelin. sekali malah. Kalau saja dia bukan sepupu saya, sudah saya lempar tuh anak ke segitiga bermuda."
Farel mendesah, perlahan menyesap americano, kedua matanya menerawang jauh. "Meski saya sangat tahu kenapa Nero kayak gitu. Harusnya dia tidak menahan semuanya sendiri. Waktu denger Nero berkelahi sama anak kepala polisi itu—secara tidak langsung—demi seseorang, saya senang bukan main. Saya sepenuhnya percaya kalau Nero manusia."
Ocha menatap Farel sepenuhnya. Apa maksud laki-laki itu? Apa Nero semenakutkan itu sampai-sampai sepupunya sendiri menganggap Nero bukan manusia.
"Saya menganggap Nero bukan manusia bukan karena sikap nyebelin atau kejamnya dia. Tetapi ... karena hatinya. Semenjak ibunya meninggal empat tahun lalu, dia berubah jadi orang lain, dia seperti bukan lagi Nero yang saya kenal. Dia ... terlalu dingin, terlalu ... kejam. Dia selalu sendirian karena dia tidak pernah deket sama siapa pun. Satu-satunya teman yang dia punya hanya Roland. Seenggaknya Roland bisa tahan bersahabat dengan Nero. Dia juga tidak deket sama Om Aldo, malah cenderung sangat jauh."
Ocha menunduk. "Kenapa Ka Farel ngasih tahu hal ini sama saya? Saya rasa, saya tidak pantas mengetahui hal ini."
"Karena saya ingin kamu mengetahuinya." Wajah Farel sangat serius sehingga mau tak mau Ocha memercayainya. "Saya ingin kamu membantu saya. Saat ini keadaan Nero tidak baik-baik saja. Entah itu secara psikis atau fisik. Terlalu banyak tekanan, terlalu banyak masalah, terlalu banyak pikiran."
"Saya sendiri heran. Kenapa remaja kayak Nero bisa punya banyak masalah melebihi masalah saya sendiri. Yang sangat saya syukuri, Nero bisa bertahan sampai sekarang. Itu suatu ... keajaiban."
"Bisakah kamu tidak membiarkan Nero sendirian? Bisakah kamu, lebih dekat dengan Nero? Seenggaknya sampai ... sampai enam bulan atau setahun ke depan?"
Ocha menatap Farel bingung.
"Seperti yang saya bilang, saat ini Nero butuh harapan. Sangat malah. Saya tidak bisa ngelakuinnya sendirian, sebab itu saya meminta bantuan kamu. Satu-satunya gadis yang sangat Nero sukai."
"Tapi, kenapa Nero membutuhkan harapan besar?"
Farel menggigit pipi dalamnya. "Karena Nero akan menyerah kalau dia tidak punya atau diberi harapan." Suara Farel tercekat, dia menarik napas sedalam-dalamnya. "Nasib mereka tidak boleh sama."
"Apa, kalau Nero dibiarin sendirian dia akan melakukan sesuatu yang buruk?"
"Sangat."
Ocha kembali memandang harapan milik Samudera. Benarkah keadaan Nero tidaklah baik-baik saja? Farel juga tidak terlihat sedang bercanda atau berbohong. Apa Nero pergi karena laki-laki itu ingin menyelesaikan masalah sendirian? Masalah yang kata Farel sangatlah berat.
Entah mengapa dia tidak suka melihat Nero dalan keadaan buruk.
Dia ingin membantu Farel, namun dia juga ragu. Dia hanya takut, perasaannya semakin berkembang dan pada akhirnya Ocha tidak bisa menahan perasaannya.
Ocha mengangkat kepala menatap Farel. "Kenapa Nero bersikap seperti sekarang? Kenapa semua orang menakutinya?"
Farel menelengkan kepala, bibirnya tersenyum miring. "Kalau saya kasih tahu, kamu mau membantu saya?"