Bab 12 Bertemu Farel
Bab 12 Bertemu Farel
"Yang dicari dalam kehidupan adalah bagaimana kita mampu dalam kekurangan dan sampai mana kita mampu bersabar."
-Hunter X Hunter-
Ocha menutup mulut dengan rapat agar tidak mengeluarkan suara sepatah kata pun saat melihat Nero memukuli Riko tanpa ampun. laki-laki itu benar-benar berubah, tidak terlihat seperti Nero yang Ocha kenal. laki-laki itu sangat menakutkan. Dia langsung menutup mata saat Nero menendangi Riko.
"Apa-apaan?!" Jimmy tidak terima Riko dipukuli tanpa alasan, namun belum sempat dia berkata lebih lanjut Nero mendorong laki-laki itu menjauh.
Teman-teman Nero hanya memperhatikan tanpa mau menghentikan Nero. Mereka tersenyum miring, hanya Ares yang terkejut melihat kelakuan Nero.
"Udah aku bilang jangan ada kecurangan!" teriak Nero. "Tapi, apa yang kamu lakuin? Nendang motornya Ares? Yang kamu lakuin itu bisa bikin Ares mati, Sialan!" Nero memandang Riko penuh amarah, tanpa perasaan menginjak dada Riko.
Mata Ares membelalak, lagi-lagi terkejut karena Nero tahu kalau Riko bertindak curang.
Nero menarik baju Riko hingga laki-laki itu berdiri sempoyongan. "aku udah cukup sabar ngehadepin kelakuan kamu. aku beri kamu kesempatan dengan ngelepasin kamu. Tapi kamu malah ngumpanin diri sendiri."
Wajah Riko penuh lebam dan darah, dia meludah tepat ke hadapan Nero. "aku tidak akan biarin kamu hidup tenang."
Nero tersenyum miring. "aku tidak takut. Aduin saja semuanya ke ayah kamu, Anak Mama." Tatapannya semakin tajam. "Jangan coba-coba ngusik aku lagi. Jangan coba-coba buat gangguin temen aku juga. aku tidak tau apa yang bakal aku lakuin kalau kamu ngelakuin hal kayak gini lagi."
Nero melepaskan Riko dan mendorongnya jatuh. "aku diam bukan berarti aku takut. Karena aku tau, kalau kontrol aku hilang, kamu bakalan tamat."
Perlahan Nero melangkah mundur dengan tatapan dingin. "Tawurannya diundur lagi sampai kamu siap buat ngehadepin aku lagi." Dia tersenyum miring, terlihat sangat menakutkan. Kemudian Nero mengambil kunci motor Ares lantas melempar kunci tersebut ke dada Riko. "Seperti yang disepakati. Ares kalah, motornya dikasih ke elo, tapi karena kamu curang, dia tidak bakalan jadi kacung kamu."
Ares melongo, Zia pasti marah besar padanya. Kenapa juga dia malah setuju menggantikan Nero balapan. "Sialan."
Nero tersenyum miring. "Salah sendiri malah ngajuin diri. Tau tidak bisa ngalahin dia."
"Ini semua gara-gara kamu." Ares benar-benar kesal. "Riko jadi punya jalan ganggu aku."
Nero tidak peduli, dia menyuruh Roland dan Tian pulang, dia sendiri akan pulang meski jalan kaki.
"Dia berbuat terlalu jauh demi Ares." Ocha mendengar gumaman Tian pada Roland. "Nero bukan tipe orang yang mempermasalahkan motor yang mungkin harganya tidak seberapa buat dia. Tapi ini, kayak bukan Nero."
Roland mendesah, "Dia cuma ngelakuin apa yang harus dia lakuin." Kemudian Roland menggerutu karena Nero nekat jalan kaki di malam hari tanpa mau diantar.
Ocha bersiap pergi, sekilas dia melirik Cepi sedang bertengkar dengan teman-teman Riko. Membicarakan tentang tawuran yang lagi-lagi diundur hingga beberapa hari ke depan setelah Riko cukup kuat untuk berkali. Garuda tanpa Riko bagai burung kehilangan sayap. Tampaknya Cepi hanya ingin bersikap adil. Terlalu senang karena Nero berhasil membungkam Riko.
Kembali, Ocha mengikuti Nero. laki-laki itu tidak berjalan sendirian, ada Ares di depan. Keduanya sama-sama memakai headseth jadi tidak ada yang bicara hingga membuat Ocha gemas. Dia pikir malam ini begitu menegangkan, sebelumnya dia tidak pernah tahu kalau Ares suka kumpul dengan anak-anak berandal di malam hari, dan mungkin saja bisa mabuk atau merokok. Juga Nero, Ocha memandang punggung laki-laki itu. Dia tidak bisa menilai seperti apa Nero. Di sisi lain laki-laki itu begitu baik dan terkadang bersikap manis, namun di sisi lain juga, laki-laki itu begitu menyeramkan.
"Lain kali jangan berurusan sama Riko lagi," kata Nero saat memasuki komplek perumahan.
Ares menoleh ke belakang. "Kamu pikir, karena siapa aku berurusan sama Riko?!"
Nero menghela napas. "aku yang bakalan pergi. aku tidak akan tidur di rumah kamu." Dia diam sesaat. "Jangan bikin Tante Zia khawatir. Tiap malem beliau sering nungguin kamu pulang."
"Bukan urusan kamu."
"Emang bukan urusan aku. Tapi aku tidak suka liat Tante Zia tiap malem mondar-mandir ngekhawatirin anaknya yang suka kelayapan? kamu harusnya bersyukur ada orang yang ngekhawatirin kamu, makanya jangan pergi tiap malem dan ngerusak diri sendiri. aku yang bakalan pergi biar kamu tidur di rumah."
Nero mendesah, "Jangan buat Tante Zia stres mikirin kamu. Beliau bisa saja sakit gara-gara kamu."
Ares hanya diam, kemudian Nero berbalik pergi. Ocha langsung bersembunyi di balik tembok. Malam itu Ocha tidak melihat Nero kembali ke rumah Ares bahkan sampai Subuh pun, Nero tidak pulang.
***
Keesokan harinya, sekolah gempar. Berita tentang perkelahian Nero dan Riko menyebar dengan cepat. Cepi dan teman-temannya dengan bangga mengatakan kalau Nero berhasil membungkap Riko tanpa ampun, dengan begitu Garuda tidak akan meremehkan Pertiwi lagi. Namun hari itu Ocha sama sekali tidak melihat Nero di sekolah, begitu juga hari-hari selanjutnya, Nero tidak pernah datang ke sekolah dan ke rumah Zia. Rena mengatakan kalau Aldo, ayahnya Nero, datang memenuhi panggilan dari kepala sekolah.
"Katanya Nero diskors, padahal mereka berantem diluar sekolah. Tapi tetep saja kena imbas." Rena menggerutu. "Wajar juga sih, bapaknya Riko 'kan kepala polisi, udah gitu Rikonya juga terluka parah." Dia menggelengkan kepala. "aku tidak percaya kalau Nero bisa ngabisin si Riko sampai masuk rumah sakit."
Tiba-tiba Ocha teringat pada peristiwa malam lusa, saat Nero memukuli Riko tanpa ampun. Bahkan dia juga tidak pernah menyangka kalau Nero bisa sekejam itu.
"Pantes saja anak-anak pada takut sama Nero." Rena mengakhiri ceritanya lalu menatap Ocha. "Kamu beneran pacaran sama Nero?"
"Kenapa emang?" Ocha sedikit terkejut mendapat pertanyaan tiba-tiba Rena.
Rena mengangkat bahu. "Kamu harus hati-hati, Nero kelihatannya kayak laki-laki baik-baik, tapi siapa tahu dia juga kasar sama perempuan."
Entah mengapa Ocha tidak setuju dengan pendapat Rena. Nero mungkin menakutkan, tapi tidak pada perempuan. Kalau pun iya, laki-laki itu tidak akan melakukan kekerasan seperti kepada Riko.
"aku tidak pacaran sama Nero." Akhirnya Ocha menyahut dengan enggan, dia bingung pada dirinya sendiri karena tidak bisa membenci Nero seperti dahulu.
Ada sesuatu di dalam diri Nero yang membuat Ocha tertarik.
"... Kalau kamu udah bener-bener ngenal aku ..."
Ocha mendesah, benar-benar pusing memaknai maksud perkataan Nero waktu itu. Memangnya apa yang akan terjadi jika dia benar-benar mengenal Nero? Ocha merasa, jika dia tahu semua tentang Nero maka dia akan membenci Nero.
"aku pergi dulu." Tanpa memberi Rena kesempatan untuk menyahut, Ocha beranjak pergi meninggalkan kelas, dia butuh udara segar untuk menyegarkan pikirannya.
Tujuan Ocha adalah belakang sekolah, kata banyak orang di sana menakutkan, tetapi bagi Ocha itu adalah tempat paling menenangkan. Setidaknya di sana Ocha bisa berpikir jernih.
Ketika Ocha sampai di belakang sekolah sambil mengeluarkan headseth dan ponsel, tiba-tiba dia mendengar suara pertengkaran. Suaranya begitu asing hingga membuat Ocha tanpa sadar melangkah mendekati suara itu. Dilihatnya dua orang laki-laki tengah beradu argumen, satu cukup muda dan tampan mungkin usianya sekitar 27 tahun atau lebih. Dan yang satunya seorang paruh baya, wajahnya tampak tidak asing. Seperti mirip ...
Nero?
Ocha mengerjap, apa jangan-jangan laki-laki paruh baya itu ayahnya Nero? Lalu laki-laki tampannya? Tidak mungkin saudara Nero, karena setahu Ocha, Nero tidak punya saudara.
"Kalau pun saya tahu, saya tidak akan ngasih tahu di mana Nero." Laki-laki muda itu berkata datar namun sarat emosi.
"Berhenti ngelindungi Nero, Farel. tidak ada gunanya. Semakin dia dilindungi, semakin dia melunjak, lihat saja sekarang. Berani-beraninya memukuli anak lain hanya karena hal sepele."
Ocha mengerutkan kening, Farel? Lelaki muda tampan itu bernama Farel? Bukankah Farel itu sepupu Nero yang suka lihat perempuan berbikini? Tetapi, kenapa mereka malah bertengkar di sini?
"Om bicara kayak gitu karena Om tidak tahu apa yang membuat Nero ngelakuin semua itu." Farel menelan saliva. "Berhenti menyalahkan Nero, berhenti menyiksa Nero."
"Siapa yang menyiksanya? Dia sendiri yang terus buat ulah, dulu tidak lulus SMP, sudah berapa kali saya dipanggil sama kepala sekolah karena kelakuan anak itu? Pengacau, pemberontak, anak sialan itu harus diberi pelajaran biar tidak melunjak. Saya sudah malu."
Tangan Farel terkepal erat, seolah menahan emosi untuk tidak memukul Aldo, ayah Nero, saat ini juga. "Om bahkan tidak tahu apa yang terjadi sama Nero sebenarnya. Om juga tidak tahu kenapa Nero kayak gitu."
Mereka saling pandang, andai Ocha berada di antara kedua laki-laki itu mungkin Ocha tidak bisa berkutik. Terlalu hening, terlalu dingin, dan terlalu mencekam. Keduanya saling melemparkan tatapan menusuk.
"Di mana dia sekarang?"
"Apa yang mau Om lakuin kalau tahu di mana Nero?"
Aldo tidak menjawab.
"Berhentilah menyiksa Nero, saya kasihan lihat keadaan dia. Jika saja Om tahu apa yang terjadi sebenarnya sama Nero ..." Tatapan Farel kosong, seolah sedang membayangkan wajah Nero. "Jangan ngelakuin hal yang bakal buat Om menyesal. Nero tidak selamanya bisa bersama Om."
"Apa maksudmu?"
Farel hanya tersenyum kecil, enggan menjawab pertanyaan ingin tahu Aldo. "Kalau Om kesal dengan kelakuan Nero, kalau Om bosan ngurus Nero, biar saya saja yang ngawasin Nero."
Perlahan, Farel mundur lantas berlalu pergi meninggalkan Aldo sendirian. Ocha terkesiap saat Farel melewatinya, laki-laki itu terdiam, menelengkan kepala menatap Ocha.
"Ocha?" tanya Farel ragu.
Ocha terkesiap, tidak menyangka Farel akan mengenalinya.
Farel tersenyum lebar. "Benar 'kan kamu Ocha? Whoah, saya tidak nyangka bakalan ketemu kamu di sini ... ehh, bukannya kamu sekolah di sini, ya."
Sekarang Ocha tahu dari mana sikap nyeleneh Nero berasal.
"Eh, ya. Kakak ini sepupunya Nero, ya?"
Farel menutup mulut dengan gaya berlebihan. "Ini baru pertama kalinya lho saya dipanggil 'Kakak' sama seseorang. Rasanya begitu menyenangkan. Panggil saya 'kakak' lagi dong."
Ingin rasanya Ocha membenturkan kepalanya ke dinding.
"Kakak, tahu saya dari mana?"
Farel kembali menutup mulut, terlalu berlebihan menanggapi panggilan Ocha padanya. "Aehh, seneng sekali sih dipanggil 'kakak' sama kamu. Udah cantik, gemesin, pantes saja Nero suka. Kalau kamu tidak suka lagi sama Nero, gimana kalau kamu saya deketin? Pastinya saya lebih baik daripada Nero."
Ocha menganga, pantas saja Nero selalu terlihat kesal saat bicara dengan Farel. Rupanya sikap laki-laki tampan itu agak mengkhawatirkan, selain penyuka perempuan berbikini Farel juga penggombal ulung. Dari tadi dia bertanya tentang Nero, Farel tidak pernah menjawab dan malah mengalihkan pembicaraan ke mana-mana.
"... Walau mungkin usia kita beda sembilan tahun. Tapi menurut saya sih, beda sembilan tahun itu seksi ..."
Ocha memutar bola mata, Farel sungguh tidak ada wibawa sebagai laki-laki dewasa. Percuma wajah tampan tetapi kelakuan nyebelin sekali.
Ocha baru menyadari, rupanya Farel terlalu pintar merubah emosi.
Farel memasukan kedua tangan ke dalam saku celana. "Nero cerita banyak tentang kamu." Dia tersenyum. "Mau dengar apa yang Nero ceritakan tentang kamu? Saya juga ingin bicara denganmu tentang Nero."
***