Bab 14 Nero?
Bab 14 Nero?
"Dalam hidup laki-laki cuma ada satu perempuan yang bisa jungkir balik ngelakuin apa pun biar dia bisa bahagia."
-Melbourne Rewind-
"Korea lagi?!" seru Ares, terjatuh begitu saja ke atas sofa saat melihat tayangan di tivi. Dia menoleh ke arah Ocha, perempuan itu terlihat begitu nyaman saat menonton. Dan sialnya, Ares malah terpesona.
Sial, desis Ares dalam hati. Dia benar-benar membenci dirinya, harusnya dia tidak pernah menaruh hati pada sahabat baiknya sendiri. Karena Ares sangat tahu sampai kapan pun Ocha hanya akan menganggap dirinya sebagai sahabat, tidak lebih.
Dan lebih sialnya lagi, kenapa dia tidak bisa move on atau sekadar menyukai perempuan lain?
Ares benar-benar membenci dirinya.
Fokusnya kembali pada tayangan drama Korea di tivi, iri pada Kim Woo Bin dan sebangsanya karena bisa menarik hati Ocha begitu mudahnya. Setidaknya rasa kesal dan irinya sedikit tersingkirkan berkat gambar Kim Woo Bin yang diprint Nero dan digambar habis-habisan hingga tak berbentuk manusia melainkan monster paling aneh yang pernah Ares lihat.
"Nero pulangnya ke rumah kamu bukan?" Tiba-tiba Ocha bertanya, menatap Ares sepenuhnya. "Dia ada di rumah kamu?"
Ares manyun, di antara semua orang di dunia ini kenapa yang ditanyakan Ocha malah si cecunguk nyebelin itu? Bahkan dia tidak tahu di mana Nero sekarang, laki-laki itu memang kadang pulang tiap hari tapi pergi lagi setelah pukul tujuh malam dan kembali lagi di siang hari atau Shubuh.
"Iya." Ares menjawab singkat, berharap Ocha mengerti kalau dia sedang tidak ingin membicarakan Nero. "Tapi aku jarang sekali ketemu sama dia."
Ocha menaikan sebelah alis, menatap Ares penasaran.
Tahu tidak bisa menghindar, Ares mendesah seraya meyilakan kakinya. "Aku jarang sekali ketemu sama Nero akhir-akhir ini. Tapi, kata Mama kalau Nero sering balik di siang hari terus pergi lagi pas jam tujuh malam. Terus kayak gitu."
"Jadi, Nero tidak tidur di rumah kamu?"
Ares menggeleng, teringat kembali saat Nero bilang bahwa laki-laki itu tidak akan tidur di rumah Zia. Sepertinya Nero benar-benar membuktikan perkataannya.
"Apa dia tidak sayang sama duitnya? Buat apa bayar mahal-mahal tapi tidak pernah ditempati."
Ocha tersenyum miring. "Dia pasti punya alesannya kali, Res."
Ares bungkam, sadar alasan Nero tidak tidur di rumahnya. Lagi pula, harusnya Nero pindah saja dari rumahnya, dengan begitu keadaan jadi terkendali lagi seperti dahulu.
Semenjak ada Nero, hidupnya berubah jadi kacau.
Ares benci itu!
"Kamu di rumah aja? tidak main sama Rena?"
Ocha menggeleng. "Tidak. Rena lagi kencan sama Fahri. Mana mungkin aku ganggu dia. Katanya kencan sama Fahri itu hal yang paling diinginkan sama Rena."
Perlahan Ares mendekat ke arah Ocha sambil nyengir. "Kalau gitu, gimana kalau kita kencan juga sama kayak Rena sama si Fahri."
Ocha mendengus lantas kembali menatap layar tivi.
"Padahal aku mau ngajak kamu ke Salazar Cafe. Tapi kayaknya si Oppa yang suka sembunyiin umurnya lebih narik perhatian kamu."
Ocha kembali menoleh pada Ares. "Salazar Cafe? Aneh sekali namanya."
Ares terkekeh, "Katanya pemilik kafenya ngefans sekali sama Salazar, dia 'kan salah satu pendiri sekolah Hogwarts sama leluhur Slytherin." Ares berpikir sesaat. "Apa mungkin pemilik kafenya orang jahat?"
Ocha langsung memukul kepala Ares, dan sayangnya laki-laki itu tidak bisa marah, dengan bodohnya Ares malah berpikir: lebih baik dipukuli sama Ocha asalkan perempuan itu bahagia, karena Ares tidak tahu bagaimana cara membahagaiakan seorang perempuan. Selama hidupnya dia tidak pernah pacaran meski banyak perempuan yang suka padanya.
Ocha sudah mencuri hidup Ares.
"Kamu kali orang jahat."
Ares merengut sambil mengusap kepala. Dia mengecek hape, ada chat dari Cepi, menyuruh dia untuk segera datang ke Salazar Cafe.
Cepi: Kalau mau, kaloau tidak mau juga tak papa
Cepi: Tak ada yg memaksamu
Llaki-laki itu mendengus, jika dia pergi maka Ocha sendirian di rumah. Kalau ada maling atau penjahat masuk, Ocha pasti celaka karena tidak bisa melawan. Ares tidak mau hal itu terjadi.
Ares ikut terluka jika Ocha terluka.
"Jadi tidak kencannya? Oh atau kamu mau ikut aku ke Salazar Cafe. Katanya menu es krimnya enak-enak, lho."
Ocha menoleh. "Es Krim?"
Ares mengangguk semangat, harusnya dari tadi dia memubujuk Ocha dengan es krim saja biar persoalannya gampang. "Banyak sekali. Ikut?"
Tanpa berpikir dua kali Ocha mengangguk. "Oke, tunggu bentar," kata Ocha seraya beranjak pergi ke kamar.
Ares terkekeh, sambil menunggu Ocha mengganti pakaian, dia pergi keluar rumah. Ketika dia hendak memanaskan mesin motor, tiba-tiba Nero berjalan melewatinya lalu masuk ke dalam rumah.
Gerakan Ares sontak terhenti, menatap punggung Nero yang menghilang di balik pintu. Setelah sekian lama tidak bertemu, Nero sama sekali tidak mau menyapanya? Dasar kecoak busuk, umpat Ares lalu menghidupkan mesin motor.
"Tapi kenapa wajahnya pucat sekali? Kurang makan dia?" gumam Ares, kembali menatap pintu rumah penasaran. "Ahh, untuk apa juga aku mikirin dia! tidak berfaedah sekali."
"Res, ayo! Nanti keburu tutup kafenya!" teriak Ocha berlari menghampiri Ares.
Pandangan Ares tertuju pada pintu rumah, kemungkinan besar Nero mendengar teriakan Ocha, biasanya laki-laki itu langsung keluar lalu menyapa Ocha sambil menggombal sana-sini. Namun kenapa pintu itu masih tertutup? Apa Nero mulai bosan pada Ocha? Mendadak senyum Ares melebar.
"Res, kamu oke 'kan? Dari tadi senyum-senyum tidak jelas." Ocha membuyarkan lamuman Ares.
laki-laki itu terkesiap lantas tersenyum. "Oke, kok. Pergi sekarang? Ayo!" Ares menaiki motor diikuti oleh Ocha.
Nero berdiri di balik kaca rumah menatap kepergian Ares dengan pandangan datar.
***
"Saya mau Patbingsu satu, porsi besar," ujar Ocha semangat.
Pelayan mencatat pesanan Ocha dan Ares lantas berlalu pergi. Ocha melihat pelayan itu dengan tatapan kagum, benar-benar suka dengan kafe bernuansa hijau gelap ini. Kafenya dibuat sangat mirip dengan asrama Slytherin di cerita Harry Potter. Para pegawainya pun memakai jubah penyihir minus topi kerucut. Berada di sini, Ocha merasa seperti benar-benar berada di asrama Slytherin. Hanya saja dia bukan penyihir.
"Bagus, kan?" Ares menatap Ocha, meminta pendapat.
Ocha mengangguk setuju. "Hem, bagus sekali, kayaknya kamu benar. Pemilik kafe ini ngefans sama Salazar dan keluarga. Liat, whoah, kafenya ... berasa kayak di asrama Slytherin, cuma dindingnya dinding biasa tapi dicat bukan batu bata kayak di Hogwarts."
"Susahlah kalau pake bata kayak di Hogwarts. Modalnya pasti gede sekali."
"Iya juga sih. Menunya juga tidak kayak makanan di Harry Potter."
Ares memutar bola mata. "Kalau sama, kamu mau daging steaknya bukan daging sapi tapi daging naga?"
"Emangnya ada?"
"Yaelah, Cha. Mana ada."
Ocha mengangguk setuju, meski dalam hati dia lebih suka Someday Cafe. Di sana, suasananya terasa begitu hangat dan menyenangkan.
"Oii, kamu di sini rupanya." Tiba-tiba Cepi datang, tampa permisi duduk di samping Ares. "Eh, Ocha 'kan? Pacar kamu, Res?"
Tidak banyak orang yang tahu kalau Ares dan Ocha bersahabat. Ocha sengaja meminta Ares merahasiakan persahabatan mereka karena Ocha takut perempuan yang menjadi fans Ares mengganggunya, seperti para mantan Nero yang membullynya.
"Maunya gitu." Ares menjawab jujur, tidak memedulikan tatapan tajam yang dilayangkan oleh Ocha. "Tapi sayang, Ocha tidak pernah mau nerima perasaan gue."
"Wajar sekali kalau Ocha tidak mau nerima kamu, bodoh." Cepi nyengir lebar, ingin berkenalan dengan Ocha tapi dilarang Ares.
"Jangan coba-coba ganggu dia!"
Cepi langsung menarik tangan lantas menggoda Ares. Sementara Ocha sibuk menghabiskan bingsunya sambil sesekali melihat ke sekitar, berusaha mengabaikan teman-teman Ares yang tiba-tiba datang.
Ketika Ares sibuk dengan teman-temannya, Ocha menyelinap keluar. Senang akhirnya bisa terbebas dari asap rokok dan obrolan sinting para laki-laki.
"Eh, kamu Ocha 'kan?" Tiba-tiba seseorang yang sedang duduk di bangku luar kafe bertanya, menatap Ocha penasaran. "Bener kamu Ocha, pacarnya Nero!"
Ocha langsung menoleh, rupanya Tian yang berseru.
"tidak suka di dalem, ya?" Tian terkekeh saat Ocha diam saja. "Nero sekali. Dia juga tidak suka ngumpul. Kalau kalian jadian, pasti cocok sekali."
Ocha tetap diam. Kesal karena semua orang tahu tentangnya.
"Kamu pasti heran kenapa aku tau kamu." Tian mengangkat bahu. "Dari sekian banyak perempuan yang deket sama Nero, cuma kamu satu-satunya perempuan yang Nero perhatiin. Makanya aku inget terus sama kamu waktu Nero nanya tentang kamu."
Ocha mulai tertarik.
Tian terkekeh, "Kamu pasti tidak nyaman deket Nero. Gimana pun juga tuh anak tidak punya pengalaman soal perempuan."
Tidak punya pengalaman katanya?! Apa Tian sedang bercanda, mana ada laki-laki tidak berpengalaman tapi punya banyak pacar.
"Aku serius! Nero itu playboy karena dia itu terlalu baik. Tiap ada perempuan yang nembak langsung dia terima. Meski akhirnya putus karena Nero tidak pernah ngeladenin mereka, bahkan dia tidak pernah balas chat atau ngangkat telepon mereka."
"Bukan terlalu baik, tapi Nero jahat suka ngasih harepan ke banyak perempuan."
"Ish, salah mereka sendiri malah nembak Nero. Tau tuh laki-laki kayak gimana kelakuannya." Tian menelengkan kepala. "Makanya aku heran, liat isi chat Nero. Gombalannya itu tidak sekali. Lain kali aku harus ajarin dia ngegombal."
Ocha mendesah, tidak mau lagi mendengar perkataan Tian. Dia memilih melangkah pergi, tidak memedulikan seruan Tian untuk tidak pergi dahulu. Sekarang pikiran Ocha penuh tentang Nero yang ternyata tidak pernah menyatakan perasaan pada perempuan dan minim pengalaman.
Pantas saja kelakuan Nero aneh sekali, pikir Ocha.
Ada banyak panggilan dan chat dari Ares, meminta maaf karena mengabaikan keberadaan Ocha saat di kafe. Ocha tidak peduli, dia melempar hape ke atas ranjang lantas mengambil dompet. Dia berniat membeli beberapa camilan di mini market depan.
"Mau ke mana Neng Ocha malam-malam begini?" tanya Pak Dodi, satpam komplek yang selalu ronda setiap malan.
Ocha melihat jam tangan, baru sadar kalau ini sudah pukul sebelas malam. "Mau ke mini market, Pak."
"Oh, hati-hati ya Neng."
Ocha mengangguk bergegas pergi. Seharusnya dia melihat jam dahulu bukannya langsung pergi saja.
Langkah Ocha seketika terhenti saat melihat sosok laki-laki sedang duduk di bangku depan mini market sambil mendengarkan musik di headset, ada berbagai bungkus makanan dan rokok di meja.
"Nero?"