Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4. Desakan Hadir di Jamuan Makan Malam

“Thanks, sudah mengantarku. Sekarang kau pulanglah.” Dakota membuka seat-belt, hendak turun dari mobil Dylan. Mobil Dylan sudah berhenti di lobby apartemen di mana unit penthouse-nya berada.

“Ucapan terima kasihmu tidak aku terima. Bukan seperti itu cara berterima kasih, Nona Spencer,” jawab Dylan seraya menatap Dakota yang sudah bersiap untuk turun dari mobil.

Dakota menatap Dylan seraya mengerutkan keningnya. “Apa maksud ucapanmu?” tanyanya tak mengerti. Dia merasa sudah terima kasih, tapi malah Dylan mengatakan bukan seperti itu cara berterima kasih.

“Kau terlalu polos, Nona Spencer. Begini caranya.” Dylan menarik dagu Dakota, mencium dan melumat bibir wanita itu. Tampak mata Dakota melebar terkejut mendapatkan ciuman dari Dylan.

“Kau boleh turun sekarang. Bibirmu selalu manis, Nona Spencer,” bisik Dylan serak.

Dakota tersadar bahwa Dylan telah melampui batas kurang ajar. “Berengsek kau!”

Dylan tersenyum samar. “Jangan terlalu banyak mengumpat, Nona Spencer. Wanita cantik sepertimu tidak baik mengumpat.”

Dakota berdecak kesal. Lama-lama dia bisa darah tinggi karena bicara dengan Dylan. Detik selanjutnya, tanpa mau bicara dia segera turun dari mobil, dan melangkah masuk ke dalam lobby apartemen—menuju lift. Tinggal di penthouse artinya tinggal di lantai paling tinggi di gedung apartemen yang terkenal di Roma. Tak berlama-lama, Dylan melajukan mobilnya meninggalkan lobby apartemen.

***

Dakota menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Kejadian tadi malam adalah kejadian yang benar menjengkelkan. Dia tidak mengira Dylan malah membuntutinya. Padahal dia sedang ingin hidup bebas, menjalani apa yang dia inginkan.

Dakota mengambil bantal, memeluk dan berusaha memejamkan mata. Namun, tiba-tiba saja terdengar dering ponsel. Refleks, Dakota mengambil ponselnya yang ada di atas nakas, dan melihat ke layar tertera nomor ibunya di sana.

Dakota mengembuskan napas kasar. Dia ingin sekali tidak menjawab telepon dari ibunya. Sebab, dia sudah tahu apa yang akan ibunya katakan padanya. Namun, dia tak mungkin tak menjawab telepon ibunya itu. Mau tidak mau, Dakota membalas panggilan telepon itu.

“Hallo, Mom?” sapa Dakota kala panggilan terhubung.

“Dakota, kau di mana?” tanya Helen, ibu Dakota, dari seberang sana.

“Aku di penthouse-ku, Mom.”

“Okay, sekarang Mommy mau malam ini kau harus ikut.”

“Ikut ke mana, Mom?”

“Ada jamuan malam malam di rekan bisnis Daddy-mu. Mommy ingin mengenalkanmu pada anak dari teman Daddy. Banyak pria tampan, Sayang. Kau harus dandan yang cantik.”

Dakota menghela napas kasar mendengar ucapan sang ibu. Ada saja ide gila ibunya agar dirinya punya kekasih. Usia sudah di atas 30 tahun membuat Dakota kerap dipaksa untuk segera memiliki kekasih dan menikah. Bukan tak ingin menikah, tapi dia masih trauma dengan kisah cintanya yang buruk.

“Mom, nanti malam aku ada meeting dengan client-ku. Aku tidak bisa ikut.”

“Meeting dengan client di malam hari? Meeting apa itu, Dakota?”

“Mom—”

“Dakota dengarkan Mommy baik-baik. Adikmu saja sudah memiliki kekasih, tapi kau belum menunjukkan tanda-tanda memiliki kekasih. Lalu Audrey, sepupumu sudah menikah dan memiliki anak. Kau kapan, Dakota?”

“Mom, aku akan menikah di waktu dan cara yang tepat. Jangan diburu-buru, Mom.”

“Bukan diburu-buru, tapi sampai dunia kiamat pun kau tidak akan memiliki kekasih, jika kau tidak berusaha mencari.”

Dakota memijat keningnya. “Oke, fine. Aku akan datang.”

“Good. Kau gunakan gaun terbaikmu. Kau harus tampil cantik dan sempurna. Buat para pria mengagumimu.”

“Ya, Mom.”

Panggilan tertutup. Dakota meletakan ponselnya ke tempat semula, dia mengambil bantal menutup kepalanya yang terasa sangat pusing. Dia kesal karena ibunya terus menerus menanyakan dirinya kapan menikah. Oh God! Rasanya setiap kali ditanya ingin sekali Dakota menjatuhkan diri ke jurang.

***

Jam dinding menunjukkan pukul empat sore. Dakota memutuskan untuk pergi ke butik yang letaknya tidak jauh dari apartemennya. Dia memilih beberapa gaun untuk nanti malam. Entah gaun mana yang paling indah. Hari ini dia memborong lebih dari sepuluh gaun. Bukan karena dia ingin tampil cantik, tapi dia tidak ingin mendapatkan omelan ibunya jika dirinya memakai gaun biasa. Hal itu yang membuat Dakota langsung sendiri pergi ke butik tanpa meminta bantuan sang asisten.

Saat bermaksud ingin membayar sepuluh gaun itu, tatapan Dakota teralih pada sebuah gaun berwarna emerald terpasang di patung. Dia melangkah bermaksud menyentuh gaun itu. Tepat di kala Dakota menyentuh, ada seorang wanita berambut merah yang juga menyentuh gaun itu.

“Nona, gaun ini milikku,” ucap wanita berambut merah itu angkuh.

Dakota kesal dengan sikap angkuh wanita berambut merah itu. “Aku yang lebih dulu menyentuh gaun itu, Nona.”

Wanita berambut merah itu tak terima dengan ucapan Dakota. “Gaun ini pasti harganya mahal! Aku yakin uangmu tidak mampu untuk membeli gaun ini.”

Dakota tersinggung telah direndahkan. Dia menunjuk sepuluh gaun yang dia beli sambil berkata, “Aku sudah memilih sepuluh gaun terbaik di butik ini. Hanya satu gaun saja, mana mungkin aku tidak mampu. Bahkan membeli butik ini saja aku mampu!”

“Kau—” Wanita itu ingin sekali memukul Dakota, tapi tatapannya teralih pada pria yang menjadi teman kencannya yang datang. “Sayang, aku ingin gaun itu, tapi ada wanita angkuh yang ingin merebut gaun yang aku suka.”

Tatapan Dakota menatap malas pria yang bersama dengan wanita berambut merah. Tampak seketika mata Dakota melebar terkejut. Ternyata pria yang sedang bersama wanita berambut merah itu adalah Dylan.

Dylan menyunggingkan senyumannya ke hadapan Dakota. “Berikan gaun itu padanya. Kau bisa memilih gaun lain.”

Wanita cantik berambut merah itu kesal. “Sayang! Kenapa kau malah membiarkan gaun itu dimilikinya?! Aku yang lebih dulu melihat gaun itu.”

Dylan mengecup bibir teman kencannya di depan Dakota. “Kau bisa memilih gaun yang lain.”

Dakota berdecih melihat Dylan mencium bibir wanita berambut merah di depannya. Bukan cemburu, malah dia merasa sangatlah jijik. “Tidak usah! Aku bisa memilih gaun lain!”

Dakota berbalik, dan hendak meninggalkan Dylan serta wanita berambut merah, tapi tiba-tiba…

“Gaun yang kau pilih sangat cantik dipakaimu, Nona Spencer. Kau bisa memiliki gaun itu. Aku akan membayarnya,” jawab Dylan dengan senyuman samar di wajahnya.

Dakota berbalik, menatap tajam Dylan. “Tidak perlu! Aku tidak miskin! Aku memiliki uang untuk membeli gaun yang aku inginkan. Lebih baik kau urus saja pelacurmu.”

“Hey! Aku bukan pelacur!” Wanita berambut merah itu tak terima dikatakan sebagai pelacur. Dia bermaksud ingin menyerang Dakota, tapi sayangnya Dylan menahan lengannya.

“Jangan membuat keributan,” ucap Dylan mengingatkan.

Bibir wanita berambut merah itu tertekuk. “Dia duluan yang mencari keributan.”

Dakota tersenyum sinis. “Aku tidak memiliki waktu meladeni drama murahan.”

Tanpa berkata lagi, Dakota membayar tagihan untuk sepuluh gaunnya, dan melangkah pergi meninggalkan butik itu. Tampak tatapan mata Dylan tak lepas menatap Dakota yang mulai lenyap dari pandangannya.

“Kau mengenal dia?” tanya wanita cantik rambut merah.

Dylan menyeringai. “Tentu saja. Aku sangat mengenalnya. Dia wanita cantik, galak, dan seksi yang pernah aku temui di muka bumi ini.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel