Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2. Penguntit Kurang Ajar

“Aww—” Dakota merintih kesakitan di kala tubuhnya dihempaskan ke ranjang oleh Dylan. Pria kurang ajar itu dengan berani menghempaskan tubuhnya. Shit! Dakota mengumpat dan merutuki Dylan dalam hatinya.

“Kau ingin seperti pelacur, Dakota?” Dylan mengambil botol wine yang ada di atas meja, menuangkan ke gelas berkaki tinggi kosong, dan menyesap wine itu perlahan.

Dakota bangkit dari ranjang, matanya menyalang tajam menatap Dylan. “Apa hakmu menghakimiku! Dan kenapa kau ikut campur urusanku, hah?!”

Dylan menggerak-gerakkan gelas berkaki tinggi di tangannya. “Kau hanya patah hati, kenapa kau seperti orang frustrasi? Lihat saja pakaian yang kau pakai memperlihatkan tubuhmu. Apa kau berniat ada yang menawarmu?”

Raut wajah Dakota berubah mendengar apa yang dikatakan oleh Dylan. Sepasang iris matanya menunjukkan jelas emosi, kemarahan, dan bingung. Siapa yang memberi tahu Dylan tentang dirinya patah hati? Tidak! Dakota tak ingin terlihat lemah. Dia harus memperjuangkan harga dirinya.

“Siapa yang kau maksud patah hati, hah?!” seru Dakota berpura-pura.

Dylan duduk dengan santai di sofa, terkekeh rendah mendengar ucapan Dakota. Penyangkalan yang dilakukan Dakota, membuat Dylan menjadi gemas. Padahal pria itu sudah tahu segalanya, tapi masih saja mendapatkan penyangkalan.

Tanpa banyak bicara, Dylan menarik tangan Dakota, hingga membuat wanita itu terduduk di pangkuannya. Sontak tindakan Dylan membuat Dakota terkejut. Berkali-kali Dakota berusaha untuk berontak, tapi malah Dylan melingkarkan tangannya ke pinggangnya—membuat Dakota terjerat.

“Berengsek! Lepaskan aku! Kau jangan macam-macam padaku, Dylan!” Dakota memukuli dada bidang Dylan susah payah. Namun, sayangnya meski dia sudah memukuli, tetap saja tidak bisa lepas.

“Dylan Caldwell! Lepaskan aku!” seru Dakota sedikit menaikan nadanya, menjadi satu oktaf lebih tinggi.

Dylan tersenyum samar melihat kemarahan Dakota. Terlihat sangatlah menggemaskan di matanya. Detik itu juga, tanpa permisi, Dylan menarik tengkuk leher Dakota—mencium dan melumat lembut bibir Dakota dengan agresif, tapi tetap lembut.

Mata Dakota melebar terkejut di kala mendapatkan ciuman Dylan. Wanita itu kembali memukuli dada bidang Dylan. Akan tetapi tenaganya tidak bisa sebanding dengan Dylan. Sekeras apa pun berusaha tetap saja tidak bisa.

Bibir Dylan terasa manis dan kenyal. Dakota tidak sama sekali munafik bahwa rasa ciuman itu begitu nikmat. Wanita itu terasa sangat lemah tak mampu berkutik. Akhirnya yang dilakukan Dakota hanya bisa pasrah.

Dylan tersenyum di kala Dakota sudah pasrah dengan ciuman yang diberikannnya. Meskipun Dakota tak membalas, tapi Dylan begitu menikmati bibir lembut Dakota. Pria iti tak menyia-nyiakan. Dia memperdalam ciuman Dakota dengan penuh kenikmatan.

Tanpa sadar, Dakota memejamkan mata, menikmati ciuman dahsyat itu. Rasa patah hati membuatnya menjadi lepas kendali. Persetan jika dianggap murahan. Hatinya sudah sangat lelah dengan semuanya. Ciuman ini mampu menenangkan dirinya yang hancur lebur.

Beberapa menit ciuman itu masih berlangsung. Sampai akhirnya Dylan yang lebih dulu melepaskan ciuman tersebut. Mata mereka saling beradu, menatap dalam satu sama lainnya. Tatapan yang seolah membawa mereka ke hutan yang sejuk.

Tiba-tiba Dakota menyadari bahwa tindakannya ini sudah gila. Raut wajahnya memerah. Kewarasan mulai muncul. Dia langsung melayangkan tamparan sedikit keras ke pipi kanan Dylan.

Plakkk

Dakota menampar Dylan. Pria itu mengusap sedikit pipinya. Rupanya tamparan dari wanita itu seperti kapas bagi Dylan. Tidak terasa sakit sama sekali. Malah sekarang, Dylan mengeluarkan senyuman samar di wajahnya.

“Menamparku, huh? Padahal tadi kau sangat menikmatinya,” ucap Dylan dengan senyuman di wajahnya.

Dakota salah tingkah. Dia bangkit berdiri dari pangkuan Dylan. “K-kau! K-kau kurang ajar, Dylan Caldwell!” serunya dengan nada kesal.

Dylan tersenyum samar. “Bibirmu manis, Dakota. Sayang sekali kekasihmu mengkhianatimu. Padahal dia sudah mendapatkan yang terbaik di antara yang terbaik.”

Pipi Dakota bersemu merah akibat mendengar ucapan Dylan. “Sudahku bilang aku—”

“Jangan menyangkal. Aku tahu kau diselingkuhi oleh kekasihmu yang sudah melamarmu. Kau marah dan frustrasi hingga menjadi seperti ini,” ucap Dylan santai dan tenang—tanpa beban sama sekali.

Napas Dakota memburu, berusaha untuk setenang mungkin. “Audrey yang memberitahumu?” tuduhnya. Feeling-nya berkata bahwa Audrey, sepupunya yang memberitahukan Dylan tentangnya.

Dylan menggeleng. “Nope, Audrey bukan tipe pengadu. Aku tahu sendiri.”

Kening Dakota mengerut dalam. “Bagaimana kau bisa tahu?”

Dylan bangkit berdiri melangkah mendekat ke arah Dakota. Refleks, Dakota memundurkan tubuhnya hingga menempel ke dinding. Tampak raut wajahnya sedikit memucat di kala tubuhnya dikungkung oleh Dylan. Entah kenapa jantungnya berdebar tak karuan.

“K-kau mau apa, Dylan?!” seru Dakota gelagapan di kala tubuhnya dalam kungkungan Dylan.

Dylan membelai pipi Dakota. “Aku tahu tentangmu, Dakota.”

Dakota bingung serta ketakutan. “K-kau jangan-jangan menguntitku?”

Dylan mengangkat bahunya. “Mungkin saja iya. Kenapa? Kau tidak mungkin marah, kan? Anggap saja aku melindungimu dari bahaya.”

Mata Dakota melebar. “K-kau penguntit!”

Dylan menarik dagu Dakota, memberikan kecupan di bibir wanita itu. “Apa pun sebutannya, aku tidak peduli. Bagiku yang terpenting aku tahu tentangmu. Tidurlah di kamar hotel ini. Aku sudah menyewa kamar hotel ini mahal.”

Tanpa berkata lagi, Dylan berbalik, dan melangkah pergi meninggalkan Dakota. Namun langkahnya terhenti di kala Dakota mengeluarkan suara …

“Kenapa kau menguntitku? Kenapa kau ingin tahu tentang kehidupanku? Jika tujuanmu hanyalah untuk mengasihaniku, lebih baik kau simpan rasa kasihanmu. Aku tidak suka ada orang yang mengasihani diriku!” Napas Dakota memburu kala mengatakan itu. Wanita berparas cantik itu paling tidak suka ada yang mengasihani dirinya. Dakota terbiasa selalu terlihat kuat di luar. Dia tidak mau rapuh.

Dylan menggelengkan kepalanya. “Jika dalam pikiranmu, aku menghasihanimu, maka kau salah besar. Aku sama sekali tidak mengasihanimu. Aku melakukan ini, karena aku ingin tahu tentangmu.”

“Ingin tahu tentangku? Untuk apa?” Dakota mendongakkan kepalanya, menatap dingin Dylan.

“Untuk lebih mengenal secara dalam wanita yang menarik perhatianku,” jawab Dylan tenang dan santai—sontak membuat Dakota terdiam membisu.

“Aku harus pergi. Ada beberapa pekerjaan yang aku urus. Kau tidurlah di sini. Besok pagi akan ada pelayan yang mengantarkanmu sarapan. Ingat, jika kau berani ke klub malam lagi, kau akan mendapatkan pelajaran berharga, Nona Spencer,” ucap Dylan dengan seringai di wajahnya.

Mata Dakota mendelik tajam tak suka. “Kau mengancamku?!”

“Nope. Aku sama sekali tidak mengancammu. Aku hanya memberitahumu saja. Good night, Nona Spencer.” Dylan kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan Dakota begitu saja.

Raut wajah Dakota berubah mendengar apa yang dikatakan oleh Dylan. Sorot mata menajam. Tangannya mengepal kuat. Dia tidak mengira Dylan berani mengeluarkan ancaman padanya. Seumur hidup, belum pernah ada yang berani mengancam Dakota Spencer.

“Sialan! Pria berengsek! Enyah kau!” umpat Dakota—dan tak digubris oleh Dylan. Sebab pria itu terus melanjutkan langkahnya. Namun umpatan Dakota terdengar di telinganya. Hanya saja yang dilakukan pria tampan itu hanya melukiskan senyuman samar.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel