Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Tawaran Pernikahan

"Tenang, Neena. Ini aku Albirru. Aku datang untuk menemuimu. Sini, peluk aku." Albi merentangkan kedua tangannya.

"Al-Albirru?" Neena menatap tajam wajah pria yang duduk di sebelahnya. Albi mengangguk.

Neena langsung memeluknya dengan erat. "Al, aku sudah berakhir. Aku sudah tidak suci." Wanita itu menangis tersedu-sedu.

"Sssttt! Jangan menangis. Aku ada di sini. Aku tidak akan meninggalkanmu seperti calon suamimu itu. Percayalah." Albi mengelus punggung dan rambut Neena.

Albirru mencoba menenangkannya. "Siapa yang akan menerima wanita ternoda sepertiku, Albi? Tidak ada." Tangis kembali terdengar. Tak peduli siapa sosok yang kini dipeluknya erat tanpa malu.

"Aku akan menerimamu. Aku akan berada di sisimu dalam suka dan duka. Aku siap menikahimu demi menyembunyikan rasa malu keluarga ini, asal kau juga mau menerimaku," ujarnya. Neena seketika melepaskan pelukan.

Pria di depannya mau menerima hanya untuk menutupi malu? "Tidak, tidak! Aku tidak mau diperlakukan seolah-olah menderita."

"Cobalah mengerti, Neena. Aku tulus membantu." Albirru berusaha meyakinkan.

"Kau tahu aku adalah teman baikmu, kan? Percayalah! Aku akan menjagamu, Neena. Setujulah menikah denganku. Pikirkan tawaran ini. Ini demi kebaikan bersama. Aku mohon." Albi memeluk Neena dengan erat.

Dia menjelaskan tidak punya tujuan lain, selain ingin menjaga Neena. Albi hanya meminta Neena menerimanya dengan sepenuh hati sebagai ganti dia yang sanggup menerima keadaan Neena.

"Atau kau mau kita menikah kontrak? Sementara saja sampai kondisi terkendali? Aku tidak keberatan kalau itu pilihanmu," imbuhnya.

Namun, apa yang akan dipikirkan keluarga Albirru nanti? Apa mereka juga akan menolak seperti Khanza yang terang-terangan menolak?

"Kau keturunan orang kaya, Al." Neena mengingatkan bahwa pria keturunan Arab-Indonesia itu bukan orang biasa. Mana mungkin akan menerima desainer yang hidupnya bermasalah?

"Aku akan membicarakan ini dengan mereka, jangan khawatir. Pikirkanlah ini dulu, jangan buru-buru." Albi menarik napas dalam-dalam.

Ia berpamitan pulang, dan akan menunggu jawaban Neena. Apa pun jawabannya, Albi akan terima tanpa ada rasa benci andai ditolak.

Begitu Albi pulang, Neena menceritakan perihal tawaran Albi untuk menikah, dengan syarat hanya setuju untuk menerima Albi sepenuh hati. Sheila dan Yudha tak banyak memberi komentar. Mereka sepenuhnya percaya pada pilihan Neena.

Ada kalanya ia bimbang dengan keadaan ini. Kalau dia setuju, bagiamana keluarga Albi akan menanggapinya? Akankah mereka mau memiliki menantu bekas orang?***

Dua hari berlalu dengan cepat. Neena masih mengurung diri di kamar, meratapi nasibnya. Ia hanya menatap pantulan wajahnya di cermin.

Sesak terasa begitu mengingat hal buruk yang sudah terjadi. Ditambah kemarin Khanza menelpon, dan memintanya untuk melupakan tentang pria itu.

"Kita sudah selesai! Baik kau maupun aku, kita sama-sama menjadi orang asing seperti semula!" Kalimat itu terngiang-ngiang di telinganya.

"Semudah itu Khanza menyerah? Sedangkan di sisi lain, seorang pria menyebut dirinya teman baik, dan bersedia menerima. Kenapa Albi mau?" Neena memikirkannya.

Selama dua hari pula, Albi selalu datang untuk menemuinya. Albi memang belum mengatakan apa pun pada keluarga, tapi dia tidak begitu ambil pusing. Toh, dia sudah dewasa. Sudah berumur 27 tahun.

"Kau jangan khawatir. Aku setia menunggu," ujar Albi. Ditatapnya wajah wanita yang memiliki mata berkilau itu. Mata yang sungguh menghipnotis banyak kaum pria.

Neena menarik napas dalam-dalam. Dibawanya kaki melangkah mendekati jendela. Bagaimana bisa sosok itu menaiki pohon di sebelah kamar? Apa dia atlet? Ah, tidak mungkin ada atlet yang jahat menodai wanita.

"Apa alasanmu sebenarnya, Albi? Bukankah kau bisa mendapatkan wanita yang jauh lebih baik daripada wanita kotor dan hina ini?" Neena bertanya tanpa menoleh.

"Wanita kotor dan hina?" Albi menggeleng cepat. Baginya, kebaikan dan perhatian Neena selama mereka berteman, sedikit banyak membuatnya tersentuh. Tak bisa dipungkiri, mungkin dia menyukai wanita di depannya kini.

"Bisa saja aku mencari yang lebih darimu, tapi yang tabah dalam menghadapi cobaan setegar kamu, aku rasa sulit." Albi mengatakan banyak hal yang membuat Neena tersenyum.

Pria itu mirip seperti sikap Khanza dulu. Selalu menenangkan. Teringat Khanza, Neena memalingkan wajah. Gara-gara sosok misterius itu, kini dia harus merelakan kekasihnya pergi.

"Aku akan membantumu mencari pelakunya, Neena. Mari, kita cari bersama. Aku tidak minta apa pun sebagai balasan. Cukup kau mau menerimaku, menjadi bagian hidupku." Albi menggenggam tangan Neena.

Sorot matanya meneduhkan, membuat Neena memeluknya erat sembari terisak. Andai Khanza setulus Albi, pasti saat ini mereka sudah bersama. Namun, kenyatannya sudah lain. Mereka berjalan di jalur yang berbeda.

"Aku akan segera memikirkannya. Entahlah, Al. Aku takut kalau lapor polisi, malah publik tahu dan mengira aku wanita rendahan. Tidak! Aku tidak mau." Neena melepaskan pelukan.

Albi sekali lagi mencoba menjelaskan bahwa mereka tidak perlu melibatkan polisi. Dia yakin bisa menanganinya sendiri. Toh, Albi punya banyak teman yang bisa membantunya.

Setelah mengatakan akan memikirkan tawaran itu, Albi pun segera pulang. Ia berpesan agar tidak mengizinkan siapa pun masuk ke kamar itu, kecuali keluarga dan sahabat.***

Seminggu kemudian ....

"Neena! Mama masuk, ya? Ada temanmu yang ingin bertemu. Dia ... mengatakan ingin ... me-la-mar-mu." Sheila terbata-bata bicara di depan pintu.

Karena tak kunjung ada suara, Sheila membuka pintu perlahan. Diajaknya pria dan wanita yang mengatakan ingin melamar Neena.

Begitu masuk, mereka mendapati Neena memeluk bantal, menatap rinai hujan. "Nak, ini Bella, teman Mama. Dia datang untuk menawarkan pernikahan," ujar Sheila.

"Menawarkan pernikahan?" Neena tersenyum hambar, jijik mendengar itu.

"Betul. Kami datang untuk melamarmu. Ini Anakku, Farel Setiawan. Dia bilang setuju menikah meski kamu ... bukan perawan," kata Bella, sedikit mengingatkan.

Wajah Neena langsung pucat.

"Beraninya kau menghinaku di rumahku! Aku menolak!" sanggahnya.

"Neena, dengarkan mereka dulu." Sheila mendekat, duduk di sebelahnya.

"Iya, Neena. Aku tidak keberatan menjadi suamimu, asal kalau kau hamil, gugurkan saja. Aku bisa menjadi suami yang baik untuk wanita sepertimu." Farel mencoba membujuk.

"Memang kenapa wanita sepertiku?" Neena bangkit, meletakkan bantal dengan kasar.

"Ya ... kami bersimpati dan kasihan pada apa yang menimpamu. Lagi pula, aku sudah lama naksir kamu meski tak saling kenal." Farel mendekat. Pria berjas hitam itu tak memedulikan Bella yang mencegah.

"Bersimpati? Kasihan? Aku tidak semenderita itu sampai butuh dikasihani. Kalau kalian datang hanya untuk menghina, enyah dari hadapanku!" Neena mengambil gelas, lantas membantingnya ke lantai.

Semua orang terkejut. "Eh! Kurang ajar! Kami jauh-jauh datang membawa kesepakatan, malah diperlakukan dengan buruk. Sudah, kita pulang saja!" Bella menarik tangan anaknya.

"Tunggu dulu, Ma. Aku akan menerima Neena," ujar Farel.

"Mama tidak setuju! Kita batalkan saja rencana ini!" Bella bergegas menariknya keluar.

"Tunggu, tunggu dulu." Sheila berusaha mencegah untuk meminta maaf.

"Pergi saja sana! Aku tidak butuh kalian! Lebih baik aku menikah dengan Albi daripada pria macam kau!" kecam Neena.

Sheila tertegun di ambang pintu, membiarkan tamunya pergi dengan marah.****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel