Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. KESEDIHAN DEWI

Via menatap mata Adrian, merasakan kejujuran dalam kata-katanya. "Aku juga merasa begitu, Adrian. Kamu telah membuatku merasakan cinta yang sebenarnya."

Adrian meraih tangan Via dan menggenggamnya erat. "Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku ingin kita tetap bersama. Aku siap menghadapi apa pun demi kita."

Via merasa hatinya berdebar-debar. Kata-kata Adrian membuatnya semakin yakin bahwa perasaan mereka adalah sesuatu yang nyata dan berharga. "Aku juga ingin kita tetap bersama, Adrian. Tapi bagaimana dengan Dewi?"

Adrian menghela napas panjang. "Aku tahu aku harus jujur padanya. Aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan. Tapi aku juga tidak ingin kehilanganmu, Via."

Via merasakan air mata menggenang di matanya. Ia tahu bahwa mereka berada dalam situasi yang sulit, tetapi cinta yang mereka rasakan membuatnya yakin bahwa mereka bisa mengatasinya bersama-sama.

Malam itu, mereka berbicara hingga larut malam, merencanakan masa depan mereka dan mencari cara untuk menghadapi semua rintangan. Meski ada ketakutan dan ketidakpastian, mereka berdua merasa yakin bahwa cinta mereka akan mampu mengatasi segalanya.

"Kamu tidak perlu khawatir, Via. Aku pasti bisa mengurus istriku," ujar Adrian tersenyum meyakinkan.

Hari-hari berikutnya, jadwal penerbangan yang padat semakin mempererat hubungan mereka. Setiap penerbangan menjadi kesempatan untuk berbagi momen-momen intim dan memperkuat ikatan yang telah mereka bangun. Adrian tidak lagi memikirkan Dewi. Semua perasaannya hanya untuk Via, wanita yang telah mengisi kekosongan dalam hidupnya.

Di sisi lain, Via semakin tenggelam dalam cinta yang mendalam terhadap Adrian. Ia merasa bahwa Adrian adalah segalanya baginya, pria yang mampu membuatnya merasa dicintai dan dihargai. Meski rasa bersalah masih menghantui, Via tidak bisa menahan diri untuk terus mencintai Adrian

Suatu malam, setelah penerbangan panjang, mereka berdua menginap di sebuah vila mewah di pinggiran kota. Adrian telah mempersiapkan kejutan untuk Via—makan malam romantis di tepi kolam renang, dengan lilin yang berkelip-kelip dan musik lembut yang mengalun.

"Adrian, ini indah sekali," kata Via dengan mata yang berbinar-binar.

Adrian tersenyum dan meraih tangan Via. "Aku ingin malam ini menjadi malam yang spesial, Via. Aku ingin kita melupakan semua masalah dan hanya menikmati momen ini."

Mereka duduk di tepi kolam renang, menikmati makan malam yang lezat sambil berbicara tentang impian dan harapan mereka. Setelah makan malam, mereka duduk berdekatan, menikmati keheningan malam dan bintang-bintang yang berkelip di langit.

"Via, aku mencintaimu," kata Adrian dengan suara lembut. "Kamu telah mengubah hidupku dan membuatku merasa bahagia. Aku ingin kita tetap bersama, apa pun yang terjadi."

Via menatap mata Adrian, merasakan cinta yang begitu kuat. "Aku juga mencintaimu, Adrian. Kamu adalah segalanya bagiku."

Mereka berdua merasa bahwa malam itu adalah malam yang istimewa, momen di mana mereka benar-benar merasakan cinta yang tulus dan mendalam. Di bawah langit malam yang indah, mereka berjanji untuk tetap bersama dan menghadapi segala rintangan bersama-sama.

Namun, meski cinta mereka begitu kuat, bayang-bayang masa depan yang penuh ketidakpastian masih menghantui mereka. Adrian tahu bahwa ia harus menghadapi kenyataan dan membuat keputusan yang sulit. Via, di sisi lain, bertekad untuk tetap mencintai Adrian dan menghadapi segala konsekuensi dari pilihan mereka.

**

Sementara Adrian dan Via menikmati kebahagiaan dan keintiman di langit dan di hotel-hotel mewah, Dewi, istri Adrian, tenggelam dalam kesedihan di rumah mereka yang sepi. Pernikahan yang telah berjalan selama dua tahun, yang seharusnya dipenuhi dengan kebahagiaan dan harapan, kini terasa seperti beban yang menghancurkan.

Dewi sering duduk sendirian di kamar tidur mereka, menatap foto-foto pernikahan yang tergantung di dinding. Setiap senyum yang terbingkai dalam foto-foto itu sekarang terasa seperti ejekan yang menyakitkan. Kenangan indah yang pernah mereka bagi bersama kini tampak seperti bayangan suram yang tidak lagi bisa ia gapai.

Salah satu hal yang paling menyakitkan bagi Dewi adalah kenyataan bahwa ia belum juga mendapatkan momongan. Setiap kali ia memikirkan kemungkinan bahwa ia mandul, hatinya terasa semakin hancur. Ia merasa bahwa mungkin itulah alasan Adrian berpaling darinya. Meski Adrian tidak pernah secara langsung menyalahkannya, Dewi tidak bisa menghilangkan perasaan bersalah dan ketidakberdayaan itu.

Dewi hanya tinggal dengan seorang pembantu bernama Sri dan seorang sopir bernama Joe. Meski mereka berdua setia dan selalu siap membantu, Dewi merasa kesepian. Tidak ada yang bisa menggantikan kehadiran dan perhatian suaminya.

Pada suatu sore, Dewi tidak bisa menahan kesedihannya lagi. Ia memanggil Sri ke ruang tamu, berharap bisa mencurahkan isi hatinya kepada seseorang yang bisa memahami.

"Mbak Sri," kata Dewi dengan suara serak, "bisakah kita bicara sebentar?"

Sri, seorang wanita paruh baya yang telah bekerja di rumah Dewi selama beberapa tahun, mengangguk dengan lembut. "Tentu, Ibu. Apa yang ingin Ibu bicarakan?"

Dewi duduk di sofa, menghela napas panjang sebelum mulai berbicara. "Aku merasa sangat tertekan, Mbak. Pernikahanku dengan Adrian sudah berjalan dua tahun, tetapi sekarang aku merasa semuanya hancur."

Sri menatap Dewi dengan penuh empati. "Apa yang terjadi, Ibu? Apakah ada masalah dengan Pak Adrian?"

Dewi merasa air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku merasa Adrian tidak lagi memperhatikanku. Dia sering pergi, bekerja sepanjang waktu, dan ketika dia pulang, dia selalu tampak jauh dan dingin. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi."

Sri mengangguk, mencoba memahami situasi yang dihadapi Dewi. "Apakah Ibu sudah berbicara dengan Pak Adrian tentang perasaan Ibu?"

Dewi menggeleng pelan. "Aku sudah mencoba, Mbak, tapi dia selalu menghindar. Aku takut dia... dia mungkin selingkuh."

Sri terkejut mendengar kata-kata Dewi. "Selingkuh? Apakah Ibu yakin?"

Dewi menghela napas panjang. "Aku tidak yakin, tapi aku merasa ada yang tidak beres. Dia selalu sibuk dengan pekerjaannya, dan aku merasa semakin jauh darinya. Ditambah lagi, aku belum bisa memberikan anak untuknya. Aku takut mungkin itulah alasan dia berpaling."

Sri merasakan simpati yang mendalam terhadap Dewi. "Ibu, jangan menyalahkan diri sendiri. Belum tentu masalahnya ada pada Ibu. Mungkin Pak Adrian sedang menghadapi tekanan di tempat kerja."

Dewi terisak, merasakan kesedihan yang semakin mendalam. "Aku ingin percaya itu, Mbak, tapi sulit rasanya. Aku merasa begitu tidak berdaya."

Sri meraih tangan Dewi, mencoba memberikan dukungan. "Ibu, apapun yang terjadi, Ibu harus kuat. Jangan biarkan perasaan bersalah menghancurkan Ibu. Kita akan mencari cara untuk memperbaiki semuanya."

Dewi mengangguk, merasakan sedikit ketenangan dari kata-kata Sri. "Terima kasih, Mbak Sri. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan tanpa bantuanmu."

Di saat yang sama, Joe, sopir mereka, yang juga merasakan ketegangan di rumah itu, mendekat ke ruang tamu. "Permisi, Ibu Dewi. Apakah ada yang bisa saya bantu?"

Dewi tersenyum lemah. "Terima kasih, Joe. Aku hanya butuh waktu untuk merenung. Tapi aku berterima kasih atas tawaranmu."

Joe mengangguk hormat. "Jika Ibu butuh sesuatu, jangan ragu untuk memberi tahu saya."

"Iya,Joe. Terima kasih," balas Dewi merasa mendapatkan dorongan semangat.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel