Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 05 - Hasrat Yang Terpendam

Pergerakan lidahnya yang lincah, bibirnya yang basah dan panas, memberikan sensasi yang membuatku menggeliat tak terkendali. Setiap jilatan, setiap isapan dalam, mengirimkan gelombang kenikmatan dahsyat yang menjalar ke seluruh tubuhku. Ereksiku yang tadinya masih malu-malu, kini berdiri tegak sempurna, siap untuk dibebaskan. Urat-urat di batangnya menegang, terasa berdenyut selaras dengan jantungku yang berdebar kencang.

Merasakan perubahan pada diriku, ia mengangkat wajahnya. Matanya yang indah, dibingkai bulu mata lentik, menatapku dengan sorot menggoda yang membakar hasrat. Bibirnya yang penuh sedikit basah dan merekah karena aktivitasnya, membentuk senyum nakal yang membuatku semakin liar.

“Udah bangun, sayang?” bisiknya dengan suara serak dan dalam yang menusuk tulang sumsumku, setelah melepaskan kejantananku dari mulutnya. Sensasi dingin udara pagi menyentuh kulitku yang basah bekas bibirnya, kontras dengan panas yang baru saja kurasakan.

Aku masih membeku, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Otakku berputar cepat, mencoba mencerna kenyataan yang terlalu indah untuk dipercaya ini. Kehadirannya di sini terasa seperti mimpi basah yang menjadi nyata.

Kemudian, dengan gerakan anggun yang membuatku semakin terangsang, dia menggeser tubuhnya ke atas, menindihku sepenuhnya. Sensasi kulit telanjangnya yang panas dan mulus menempel di tubuhku seperti sengatan listrik yang membangkitkan semua sarafku. Payudaranya yang ranum, meskipun tidak terlalu besar, menekan dadaku dengan lembut namun pasti, putingnya yang menegang terasa menggelitik kulitku.

Bagian bawah tubuhnya terasa jauh lebih intens. Lembah kehangatannya yang basah dan panas langsung menyambut kejantananku yang menegang, memaksanya menekuk ke arah perutku. Ada sedikit rasa sakit bercampur nikmat yang membuatku mendesah tertahan.

Perlahan, dia mulai bergerak, menggiling pinggulnya dengan liar di atasku. Setiap gesekan membuatku semakin tegang, setiap sentuhan vaginanya di batangnya membuatku ingin berteriak. Payudaranya ikut bergoyang, memberikan pijatan lembut yang membuatku ingin meraih dan meremasnya. Tanpa sadar, tanganku bergerak, memegang dan meremas kedua belahan pantatnya yang montok dan kenyal. Kulitnya halus seperti sutra, terasa sempurna dalam genggamanku. Jemariku nakal menelusuri lekuk pantatnya, dari pinggang hingga ke celah di antara kedua belahannya yang basah.

“Mmmhhh… sayang…” desahnya pelan, matanya terpejam sesaat, kepalanya mendongak, bibirnya digigit kecil menahan nikmat. Reaksi spontannya itu membuatku semakin menggila. Aku mengangkat sedikit pinggulku, berusaha mencari posisi yang lebih pas, ingin merasakan sentuhan vaginanya lebih dalam lagi.

“Kamu… kok bisa ada di sini?” akhirnya aku bisa mengeluarkan suara, meskipun masih terdengar sedikit tercekat. “Darimana kamu tahu alamat kostku? Bagaimana kamu bisa masuk, padahal pintunya selalu kukunci?”

Dia membuka matanya, menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kerinduan yang dalam, ada hasrat yang membara, tapi juga ada sesuatu yang misterius. “Apa aku nggak boleh di sini, Han?” tanyanya balik, masih menggesekkan vaginanya di atas kejantananku, menciptakan gesekan neraka dan surga dalam satu waktu. “Apa kamu lupa janji kita sebelum kamu pergi meninggalkan semua yang di sana untuk memulai hidup baru di sini?”

Tanpa sadar, bibir kami berdua mengucapkan kalimat yang sama persis, seolah sudah dilatih ribuan kali: “Aku akan selalu mengawasimu, ke mana pun kamu pergi.”

Tapi sebelum aku sempat mencerna keajaiban sinkronisasi itu, sensasi lembut tiba-tiba memutus alur pikiranku. Bibirnya, yang kuhafal betul setiap lekuknya, mendarat di bibirku. Bukan sekadar kecupan singkat, tapi ciuman yang langsung membangkitkan gairah. Lidahnya menerobos masuk, mengajak lidahku berdansa dalam gerakan yang liar namun terkoordinasi. Ia menyesap bibir atasku, lalu bawahku, seolah sedang menikmati madu terlezat. Desahannya tertahan di sela ciuman kami, membuat bulu kudukku meremang.

“Kamu ini, dasar bawel,” bisiknya setelah ciuman itu berakhir, senyum nakalnya menguar. “Bukannya ini ritual pagi kita? Dan kamu selalu ketagihan, kan?” Matanya menantang, tahu betul efek ucapannya padaku.

Sentuhan tangannya di rambutku terasa seperti aliran listrik yang menyenangkan. Jari-jarinya bermain di antara helai rambut, menarik-nariknya pelan, membuat kepalaku mendongak. “Aku kangen kamu, banget. Kapan kamu balik?” tanyanya lirih, ada nada putus asa dalam suaranya. Kerinduan yang sama persis yang kurasakan.

Tubuhnya merapat, tanpa celah. Lekuk tubuhnya yang menggoda terasa jelas menempel di tubuhku. Di antara pahanya, aku bisa merasakan denyutan basah vaginanya. Ia menciumi leherku, tepat di bawah telinga, tempat favoritku. Kulitku meremang hebat. Tanganku tanpa sadar meremas pantatnya yang montok, menikmati setiap inci kelembutan dan kelenturannya. Ia mendesah lebih keras saat remasanku semakin kuat.

Ia tersenyum nakal, seolah bisa membaca pikiranku yang sedang mengagumi asetnya itu. Sekarang, ia tidak hanya menggesekkan vaginanya, tapi mulai mengangkat dan menurunkan pinggulnya dengan ritme yang provokatif. Setiap gesekan membuat penisku di balik celana semakin berdenyut. Payudaranya yang padat bergerak naik turun di dadaku, putingnya yang menegang terasa menusuk lembut. Aku ingin sekali meraihnya dengan mulutku, menghisap putingnya hingga memerah, tapi hasrat itu masih tertahan.

Tiba-tiba, dengan gerakan anggun, ia mengangkat sedikit tubuhnya, menduduki pangkuanku. Matanya berbinar penuh gairah. Jari-jarinya yang lentik, yang sering membuatku merinding saat menyentuhku, meraih penisku yang sudah tegang maksimal. Dengan gerakan lambat yang menyiksa, ia mengarahkan ujungnya yang keras ke gerbang vaginanya yang sudah basah dan terbuka lebar.

Napasnya tercekat, matanya terpejam rapat saat ujung penisku menyentuh bibir vaginanya yang basah dan panas. Perlahan, sangat perlahan, ia mendorong dirinya ke bawah. Aku bisa merasakan sensasi menggelitik yang menjalar ke seluruh tubuh saat kepalaku perlahan memasuki lorongnya yang sempit dan hangat. Desahannya yang tertahan membuatku semakin menggila. “Ahhhhh… sayang…” lirihnya, suaranya bergetar.

Setengah bagian penisku sudah berada di dalam dirinya. Sensasinya luar biasa, perpaduan antara cengkeraman otot-otot vaginanya yang kuat dan kehangatan yang menjalar ke setiap serat sarafku. Matanya terbuka, menatapku dalam-dalam, penuh cinta dan hasrat. Ia mulai bergerak, pinggulnya berputar perlahan, menyesuaikan diri dengan kehadiranku di dalam dirinya.

Hingga akhirnya…

“KRRIIIIIIIIIIIIIIIIIINGGGGGGGGGGGGGGGGGGG”

Tubuhku tersentak hebat, terbangun dari mimpi indah yang terasa begitu nyata. Alarm sialan itu berbunyi nyaring, menghancurkan atmosfer penuh gairah yang baru saja kurasakan.

“Kampret, cuma mimpi…” desahku frustasi, napas masih terengah-engah seperti habis berlari maraton. Jantungku berdegup kencang.

Aku terbangun dengan tubuh penuh keringat dingin, kaos yang kupakai basah di bagian dada dan punggung. Kulihat sekeliling kamar kostku yang remang-remang. AC mati, pasti karena token listrik habis lagi. “Sialan!” umpatku dalam hati, rasa kecewa dan frustasi bercampur aduk.

Kurebahkan kembali tubuhku di kasur yang berantakan, mencoba mengumpulkan kepingan-kepingan mimpiku yang baru saja buyar. Kenapa dia muncul lagi di mimpiku? Sentuhannya, ciumannya, desahannya… semuanya terasa begitu nyata. Apa karena aku terlalu merindukannya? Atau karena sudah hampir dua bulan aku tidak merasakan kehangatan seorang wanita? Atau mungkin, jujur pada diriku sendiri, aku merindukan sentuhannya, ciumannya, desahannya secara spesifik? Aku tersenyum getir memikirkan kemungkinan terakhir itu.

Gelombang hasrat yang tadi sempat memuncak dalam mimpi kini kembali menerjang tanpa permisi. Perut bagian bawahku terasa mengencang, penisku kembali berdenyut kencang, menuntut perhatian. "Oke, fix, aku butuh sex," pikirku dalam hati, sebuah deklarasi yang mutlak. Keinginan itu menjalar nakal, dari selangkangan naik ke dada, membuat napasku sedikit tercekat. Sudah terlalu lama. Jelas, sudah terlalu lama aku menahan diri.

Dengan tekad yang membara, aku bangkit dari kasur. Langkahku mantap menuju kamar mandi. Sial, lampu mati lagi. Tapi kali ini aku sudah siap. Sinar dari layar ponselku menjadi penerang dadakan di kegelapan subuh ini. Hari ini adalah hari pertamaku bekerja di tempat baru. Tidak boleh ada kata terlambat di hari penting ini. Penampilan harus prima, apalagi di lingkungan kerja yang baru. Tapi jujur, sekarang yang ada di pikiranku hanyalah bagaimana caranya meredakan hasrat yang membakar ini secepat mungkin. Mungkin mandi air dingin bisa sedikit membantu. Atau mungkin… aku menghela napas panjang. Mungkin aku hanya perlu menyelesaikan “urusan”ku sendiri sebelum berangkat.

DI TEMPAT LAIN

>>POV Puspita
Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel