Bab 06 - Serangan Fajar
Aku berdiri di depan lemari pakaian yang pintunya sekaligus berfungsi sebagai cermin besar. Piyama tidurku sudah terasa gerah. Kancing demi kancing kubuka perlahan, merasakan kain katun yang lembut itu meluncur turun dari tubuhku. Bra berwarna krem yang menopang payudaraku menyusul kemudian, membebaskan mereka dari kurungan kain. Terakhir, celana dalamku juga ikut melorot, jatuh mengumpul di sekitar pergelangan kakiku.
Cukup lama aku terpaku menatap bayangan telanjangku di cermin. Setiap lekuk tubuh ini rasanya begitu familiar, tapi entah kenapa, pagi ini terasa lebih… menarik. Aku memutar tubuhku, membiarkan mataku menelusuri kontur pinggangku yang melengkung, lalu turun ke paha dan betis. Tiba-tiba, bayangan Meilani muncul di benakku. Aku masih ingat jelas momen saat kami berdua berdiri telanjang di depan cermin yang sama di kamar kosnya dulu. Payudara Meilani… astaga. Besar, penuh, montok. Pemandangan yang selalu berhasil membuatku sedikit tertegun, sekaligus menimbulkan rasa iri yang lucu. Ke mana pun dia pergi, dadanya itu selalu jadi pusat gravitasi mata para pria.
Entah apa yang merasukiku, tiba-tiba tanganku terangkat, menyentuh payudaraku sendiri. Jemariku mengusap lembut, merasakan kulit yang halus dan hangat. Sentuhan itu mengirimkan sengatan geli yang menjalar ke seluruh tubuhku, membuat bulu kudukku meremang. Napas kuhela sedikit lebih berat. Putih telur di ujung payudaraku terasa sedikit menegang, merespon sentuhan ringan itu.
Pikiranku langsung melayang ke malam-malam saat Meilani dengan blak-blakan menceritakan bagaimana pacarnya menjilati, menghisap, dan meremas payudaranya. Aku selalu menutup telinga, tapi entah kenapa, gambaran itu tetap saja menari-nari di otakku. Sensasi aneh menggelitik di antara kedua pahaku.
Tanpa sadar, tanganku yang lain ikut terangkat, ikut bergabung membelai payudaraku. Kupusatkan perhatian pada putingku yang mulai terasa mengeras. Sentuhan ringan berubah menjadi sedikit tekanan, lalu sedikit cubitan gemas. Sensasi yang menjalar semakin kuat, membuat perutku terasa seperti ada kupu-kupu yang beterbangan.
"Astagaaa…" Desahku tertahan, sedikit malu dengan kebodohan spontanku ini. Tapi rasa malu itu kalah dengan rasa penasaran dan sedikit… nikmat. Aku terus membelai diriku sendiri, sesekali memijat lembut, sesekali mencubit gemas. Pikiranku dipenuhi bayangan tentang sentuhan-sentuhan yang pernah diceritakan Meilani. Bagaimana rasanya bibir seseorang menyesap putingku? Bagaimana rasanya telapak tangan seseorang meremas payudaraku dengan kuat?
Rasa penasaran itu semakin menjadi-jadi. Aku menunduk, mengamati payudaraku dengan lebih seksama. Meskipun tidak sebesar milik Meilani, tapi kurasa cukup indah. Putingku berwarna merah muda pucat, dengan puting kecil yang kini menonjol karena rangsangan.
Kembali ke cermin, aku mengamati diriku dari samping. Perutku yang rata, lekukan pinggangku, dan bokongku yang menurutku cukup berisi. Aku masih ingat bagaimana Meilani pernah bercerita kalau Jimmy sangat suka memukul pelan bokongnya saat bercinta. Bayangan itu kembali memicu sensasi aneh di antara kedua pahaku. Kali ini terasa lebih kuat, lebih… nyata.
Nafasku mulai tidak beraturan. Tanganku turun, menyentuh perutku yang sedikit bergetar. Lalu, tanpa bisa dicegah, jariku menyelinap turun, ke bagian tubuhku yang paling intim. Sentuhan awal terasa sedikit basah. Aku memejamkan mata, menikmati sensasi geli yang menjalar. Ini bukan pertama kalinya aku melakukan ini, tapi entah kenapa, pagi ini terasa berbeda. Mungkin karena bayangan Meilani dan cerita-cerita seksnya masih segar diingatan.
Jari-jariku bergerak semakin berani, mengusap lembut, lalu sedikit menekan. Desahan kecil lolos dari bibirku. Sensasi yang kurasakan semakin intens, membuatku sedikit kehilangan kendali. Pikiranku kosong, hanya ada rasa nikmat yang menjalar di seluruh tubuhku.
"Sial…" bisikku tertahan, saat puncak kenikmatan itu akhirnya datang. Tubuhku mengejang sesaat, lalu lemas. Napas terengah-engah, jantung berdegup kencang.
Setelah beberapa saat, aku membuka mata. Kulihat bayanganku di cermin, rambut sedikit berantakan, bibir sedikit bengkak, dan rona merah di pipi. Aku merasa sedikit malu, tapi juga sedikit… puas. Rasa penasaran yang tadi mengganggu pikiranku seolah menghilang, digantikan oleh rasa lega yang aneh.
Dengan cepat, aku meraih handuk dan masuk ke kamar mandi. Air hangat yang menyiram tubuhku terasa menenangkan. Aku menggosok kulitku dengan sabun beraroma lavender, mencoba menghilangkan jejak-jejak kebodohan pagiku. Tapi jauh di lubuk hatiku, aku tahu, sensasi tadi akan terus membekas. Dan mungkin, sedikit kerinduan akan sentuhan yang lebih nyata akan terus menghantuiku.
Selesai mandi, aku membuka lemari pakaian, memilih setelan kerja yang menurutku paling menarik. Hari ini, entah kenapa, aku ingin tampil sedikit berbeda. Mungkin, ini efek dari kebodohan pagi tadi. Atau mungkin, aku hanya ingin merasa sedikit lebih… menggoda. Siapa tahu, kan? Mungkin di tempat lain, ada seseorang yang sedang memikirkanku, sama seperti aku memikirkan Meilani dan cerita-cerita seksnya.
DI TEMPAT LAIN
>>POV Meilani