Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 03 - Jari-jari Nackal

Melihat temannya bicara tanpa filter, Puspita spontan membekap mulut Meilani dengan tangannya. "Ihh mulutmu Lin, selalu deh!" kata Puspita sambil melepaskan bekapan tangannya. Suara tawa kecil keluar dari bibir Puspita, sedangkan Meilani hanya terkikik di balik telapak tangan Puspita.

"Aku..iya, gpp kok," jawabku sambil tersenyum kecut. Meskipun berusaha bersikap santai, ada sedikit rasa malu yang menyelinap. Ucapan Meilani memang blak-blakan, namun entah mengapa tidak terasa menyakitkan. Mungkin karena aku sendiri menyadari perubahan penampilanku yang drastis.

"Gila, kamu kelihatan beda sekali sekarang, tinggi, berisi, dan…" Meilani melanjutkan, sebelum tiba-tiba terpotong oleh suara lain yang memanggil.

"Meilaniiiii, Puspitaaaa…" suara itu terdengar. Sontak kami bertiga menoleh ke arah asal suara. Ternyata yang memanggil adalah Azaliya, panggilannya Lia.

Wajah oriental Lia dengan mata yang sedikit sipit dan hidung mancung terlihat menawan dalam balutan mini dress berwarna merah menyala. Rambutnya yang lurus sangat panjang berwarna hitam legam, kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Bisa kurasakan aroma parfumnya yang kuat namun tidak menyengat. Sore itu, Lia tampak seperti magnet, menarik perhatian banyak orang.

"Liaaaaa…" Meilani dan Puspita berpelukan bergantian dengan Lia. Wajah mereka tampak bahagia, seperti menemukan kawan lama yang sangat dirindukan.

"Katanya nggak bisa datang?" Meilani bertanya, penasaran.

"Aku izin ke atasanku nggak ikut ketemu klien demi bisa datang ke sini," Lia menjawab dengan senyum menawan.

"Oh ya? Bosmu gak marah?" Meilani bertanya lagi, tertawa kecil.

"Udah deh biarin aja, kalau dia marah, tinggal disenyumin aja dia pasti lunak," Lia berkata sambil tertawa renyah, diikuti tawa Meilani. Puspita hanya tersenyum tipis, terlihat lebih pendiam di antara kedua temannya yang lebih ekspresif. Tampaknya, yang paling akrab dengan Lia adalah Meilani.

"Btw, ini siapa?" Lia bertanya, sambil menunjuk ke arahku dengan jari lentiknya.

"Ini si Firhan, dulu satu kelas sama aku dan Puspita," Meilani menjawab tanpa ragu.

"Kok aku gak pernah lihat dia yah di sekolah?" Lia bertanya dengan nada heran.

"Dia dulu gak seperti ini, aku aja yang sekelas, pangling ketemu dia," Meilani menjelaskan.

Dasar wanita, enteng banget ya ngomongin orang di depan orangnya, pikirku sambil tersenyum simpul. Memang dulu Lia tidak sekelas denganku. Sedangkan Puspita dan Meilani mengenal Lia karena mereka adalah anggota OSIS, bahkan Lia di tahun ajaran kedua menjadi ketua OSIS. Popularitas Lia di sekolah memang tak tertandingi.

Tak lama setelah mengobrol berbagai macam hal, kami berempat berpencar untuk berbaur dengan teman-teman yang lain. Sebelum berpisah, kami sempat saling bertukar nomor telepon dan berjanji akan bertemu lagi di lain waktu. Entah kenapa, pertemuan singkat ini meninggalkan kesan yang mendalam. Melihat Puspita lagi, setelah sekian lama, membangkitkan kembali perasaan yang dulu kupendam rapat-rapat. Ucapan Meilani yang ceplas-ceplos justru membuatku tersadar betapa jauh aku telah berubah. Dan kehadiran Lia, sang primadona sekolah, menambah warna dalam pertemuan yang tak terduga ini.

"Han, next time ikut gabung hangout sama kita ya," ajak Meilani dengan senyum ramahnya. "Kita bertiga sering keluar bareng, kamu ajak pasanganmu juga nggak apa-apa."

"Eh iya," jawabku spontan, sebelum menyadari implikasinya. "Aku belum punya pasangan kok," lanjutku sedikit kikuk.

Tawa renyah Meilani pecah. "Hahaha, polos banget sih kamu, Han!" celetuknya yang membuatku tersipu malu.

Sisa malam kuhabiskan dengan mengobrol dengan Aksan dan teman-teman lainnya, namun bayang-bayang Puspita tetap menggelayut dalam benak. Saat acara reuni usai, kulihat Puspita, Meilani, dan Lia masih asyik berbincang di luar gedung. Lia berpamitan duluan, meluncur pergi dengan mobilnya sendiri. Tak lama, sebuah mobil sedan berhenti di dekat Puspita dan Meilani. Seorang pria keluar, menghampiri mereka dan mengecup pipi Meilani sekilas. Jadi, itu pacarnya, pikirku. Puspita berdiri sendirian sejenak, menatap ke arah jalan. Sebuah taksi akhirnya datang, dan ia pun masuk ke dalamnya.

Sesampainya di kost, tubuhku langsung ambruk di kasur. Pikiranku kembali memutar momen-momen tadi, terutama saat berpapasan dengan Puspita. Bisa melihat senyumnya lagi saja sudah membuat hatiku menghangat. Aku berharap bisa bertemu dengannya lagi, tapi pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan. Apakah dia sudah punya pacar? Atau bahkan sudah menikah? Entah kenapa, pikiranku melayang pada anggapan umum bahwa wanita berhijab biasanya setelah menikah. Ah, sudahlah, biarkan waktu yang menjawabnya. Besok adalah hari pertama magangku. Rasa gugup bercampur semangat membuatku segera memejamkan mata, berharap bisa tampil prima di hari pertama kerja.

>>POV Meilani
Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel