Bab 02 - Senyuman yang Menggetarkan
Debu jalanan masih terasa menempel di jaketku. Napas sedikit tersengal, bukan karena lari, tapi lebih karena jantung yang berdegup lebih kencang dari biasanya. "Fiuhhh..." Aku menghela napas lega, akhirnya sampai juga. Di depan mata berdiri sebuah gedung megah, tempat acara reuni SMP angkatanku diadakan. Nyaris saja tadi di perempatan aku jadi korban serempetan motor. Sedikit lagi, mungkin aku sudah gagal nostalgila.
Aku lihat bayanganku di kaca spion motor. Rambut sedikit berantakan disapu angin, langsung kurapikan dengan jari. Semprotan parfum andalan kulayangkan ke badan, berusaha menutupi aroma asap knalpot dan debu jalanan yang mungkin masih menempel. Penting ini, kesan pertama bertemu teman lama.
Melewati gerbang masuk, gedung ini memang cukup besar. Mata langsung menyapu sekeliling. Di sisi kanan dan kiri berjejer meja bundar dengan kursi-kursi yang sudah diduduki beberapa peserta reuni. Di dekat dinding, meja panjang penuh dengan hidangan prasmanan, mengingatkanku pada acara pernikahan. Di ujung ruangan, panggung dengan set alat musik lengkap menjadi pusat perhatian. Seorang DJ cowok tampak asyik di belakang turntable, alunan musiknya menggema di seluruh penjuru ruangan melalui speaker yang tersebar. Lumayan juga seleranya, pikirku.
Sepertinya aku memang telat. Suara riuh rendah obrolan dan tawa mengindikasikan acara sudah berlangsung cukup lama. Aku yakin ini sesi terakhir, sesi ramah tamah. Tidak masalah, yang penting bisa bertemu teman-teman lama.
Tiba-tiba, ada sensasi aneh menyergap. Seperti ada mata yang mengawasiku. Bukan rasa takut, lebih ke insting. Insting manusia yang entah bagaimana bisa merasakan sorot mata orang lain, mirip adegan di film-film thriller itu. Aku menoleh ke kanan dan kiri, mencoba mencari sumber tatapan misterius itu.
Kupandangi satu per satu wajah para peserta reuni. Ada yang khusyuk menikmati hidangan, ada yang bergerombol sambil bercengkrama dengan gelas minuman di tangan, sesekali pecah tawa bersama. Di tengah pengamatan, mataku menangkap sosok yang familiar. Aksan. Dia sedang berjalan menuju meja makanan. Tanpa sadar, kakiku melangkah mengikutinya.
Aksan. Teman seperjuanganku melewati masa-masa SMP yang penuh warna, atau mungkin lebih tepatnya, penuh ke-cupu-an. Asal kalian tahu, hampir 80% masa SMP-ku kuhabiskan di sekolah hanya berdua dengannya. Dulu, kami berdua bagaikan magnet dengan kutub yang berlawanan, selalu bersama sejak hari pertama masuk sekolah hingga akhirnya lulus. Istirahat berdua, ke perpustakaan berdua, bukan karena kami anti sosial, tapi lebih karena lingkungan yang seolah mengotak-kotakkan kami. Setiap berpapasan dengan anak-anak lain, tatapan aneh seolah sudah menjadi makanan sehari-hari. Bahkan saat pelajaran olahraga, aku dan Aksan hanya bisa duduk di pinggir lapangan, menyaksikan teman-teman cowok lain bermain bola dengan lincah. Dulu, kami dicap sebagai duo cupu yang ke mana-mana selalu berdua.
Dan siapa lagi yang bersusah payah menghubungiku, membujukku untuk datang ke acara reuni ini, kalau bukan Aksan?
"Woi, San!" sapaku, berusaha menetralkan kegugupan yang tiba-tiba menyerang.
Aksan tersentak, reflek menoleh ke belakang. Matanya menyipit, meneliti penampilanku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Cukup lama dia terdiam, seolah ada memori yang sedang diproses di otaknya.
"Firhan?" Akhirnya, nama itu terlontar dari bibirnya, terdengar ragu tapi penuh keheranan.
Aku hanya tersenyum lebar sebagai jawaban. Detik berikutnya, Aksan sudah menggenggam kedua lenganku erat.
"Ini beneran Firhan? Ya ampun, sudah lama sekali!" serunya, kemudian menarikku ke dalam pelukan hangat. Pelukan persahabatan yang kurindukan.
"Yap, sudah lebih dari 10 tahun. Bagaimana kabarmu?" tanyaku, setelah pelukannya mengendur.
"Ya, begini-begini saja keadaanku, tetap seperti yang dulu," jawabnya sambil tertawa kecil. "Kamu yang berubah drastis. Bahkan sekarang kau lebih tinggi dariku! Hahaha. Oh iya, mana kacamatamu?"
"Ah, bisa saja kamu, San," balasku sambil terkekeh. "Aku sudah tidak pakai kacamata lagi."
Obrolan kami mengalir deras, menembus batas waktu yang telah berlalu. Mulai dari cerita masa SMA, pengalaman kuliah yang berbeda, pekerjaan yang kini kami geluti, hingga tempat tinggal masing-masing. Aku membiarkan Aksan menikmati makanannya yang sudah diambil, sementara aku melangkah menuju meja minuman. Tenggorokanku terasa kering setelah perjalanan tadi.
"Oh, sial..." batinku. Meja minuman ternyata ada di seberang ruangan. Mau tidak mau, aku harus melewati gerombolan teman-teman lain yang sedang asyik bercengkrama. Rasanya seperti memasuki sarang lebah.
Kulewati satu per satu kelompok kecil itu. Saat mata mereka bertemu denganku, aku hanya melemparkan senyum tipis. Tatapan itu lagi. Tatapan penuh tanya, seolah bertanya-tanya siapa gerangan orang asing yang melintas di hadapan mereka. Beberapa wajah tampak familiar, tapi sayangnya, nama mereka menguap begitu saja dari ingatanku.
Otakku hanya mampu merekam nama-nama yang dulu populer di sekolah, yang dikagumi banyak orang karena paras menawan. Seperti wanita yang berdiri beberapa langkah di depanku ini.
Puspita Damayanti. Nama itu terlintas begitu saja di benakku.
Dia juga sedang mengambil minuman. Kuperhatikan dari samping. Meskipun kini berhijab, wajah imut dan cantiknya tidak banyak berubah. Masih sama seperti yang kuingat. Tanpa sadar, aku cukup lama memperhatikannya.
Dulu, saat SMP, Puspita adalah salah satu siswi yang diam-diam kukagumi. Selain cantik, dia juga sangat ramah pada semua orang. Keramahannya membuat banyak siswa terpesona, termasuk aku. Kuingat jelas, dulu setiap kali dia memergokiku sedang mencuri pandang, dia akan membalasnya dengan senyuman manis. Senyuman yang bisa membuat jantung berdebar kencang dan lutut lemas. Saking gugupnya, pernah sekali aku salah tingkah dan menabrak tembok kelas. Tentu saja, kejadian itu mengundang tawa seisi kelas. Senyuman itulah yang pertama kali membuatku merasakan jatuh cinta, meskipun hanya cinta monyet ala anak SMP.
"Firhan?"
Lamunanku tentang kenangan masa lalu buyar seketika saat suara lembut itu menyapa. "Oh, sial. Aku melamun lagi," gerutuku dalam hati. Aku tidak salah dengar, kan? Dia barusan memanggil namaku. Di saat hampir semua orang di sini tidak mengenaliku, bahkan sahabat karibku, Aksan pun nyaris tidak mengenaliku, kenapa Puspita bisa mengenaliku?
"I... iya," jawabku gugup, berusaha menyembunyikan keterkejutan.
"Hai... Apa kabar?" sapa Puspita lagi, sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
Seketika, aku menyambut uluran tangannya. Sentuhan yang terasa familiar sekaligus asing.
"Eh, iya, baik. Kalau kamu bagaimana?" balasku, berusaha terdengar normal.
"Alhamdulillah, baik," jawab Puspita dengan senyum ramahnya. "Tumben kamu datang? Biasanya tidak pernah kelihatan di acara reuni atau kegiatan lain." Nada bicaranya terdengar penasaran.
Apa? Apakah Puspita setiap ada acara kumpul-kumpul selalu mencariku? Tidak mungkin, ini pasti hanya perasaanku saja.
"Iya, semenjak lulus SMP, keluargaku pindah ke kota sebelah. Jadi, tidak pernah bisa datang di setiap acara," jelasku.
"Oh, jadi begitu..." Puspita mengangguk-angguk mengerti.
"Kamu... masih ingat aku?" Pertanyaan bodoh itu terlontar begitu saja. Aku benar-benar tidak bisa menahannya.
Fuckkk, pertanyaan macam apa itu? pikirku dalam hati. Rasanya bodoh sekali menanyakan hal itu. Tentu saja dia ingat, kami sekelas selama tiga tahun SMP. Namun, kegugupan dan kerinduan yang tiba-tiba memuncak membuatku kehilangan kendali atas kata-kataku.
“Aku selalu ingat tatapanmu kepadaku Firhan pada waktu dulu, persis yang kamu lakukan tadi,” kemudian dia tersenyum, lebih lebar dari sebelumnya.
(speechless). Kata-kata seperti tersangkut di tenggorokanku. Pipiku terasa panas. Apakah dia menyadari tatapanku yang dulu selalu mencuri-curi pandang ke arahnya? Rasanya malu sekaligus sedikit senang.
Senyuman itu lagi, masih sama seperti yang dulu. Senyuman manis dari bibir tipisnya yang selalu berhasil membuat jantungku berdebar kencang. Aku tidak menyangka kalau dia masih mengingatku, apalagi detail kecil seperti tatapanku. Aku yang dulu cupu, dengan kacamata tebal dan gaya berpakaian yang kurang modis, masih diingat oleh Puspita. Bahkan saat sekarang aku sudah berubah, mencoba tampil lebih percaya diri dan jauh dari kesan anak culun. Puspita memang juara di hatiku, entah sejak kapan gelar itu disandangnya.
“Pit…” sebuah suara memanggil dari arah belakang kami.
Seseorang menghampiri kami dan memanggil Puspita. Ternyata yang datang adalah Meilani, dulu waktu SMP dia adalah teman dekat Puspita. Tak kusangka sampai sekarang sepertinya mereka tetap dekat. Biasanya persahabatan sesama cewek tidak bertahan lama. Meilani adalah wanita yang menarik. Tinggi badannya tidak lebih tinggi dari Puspita, namun posturnya lebih berisi. Malam ini, ia mengenakan blus ungu yang memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan bawahan celana jeans ketat. Rambutnya yang panjang dan lurus terurai indah di punggungnya.
"Ditungguin dari tadi katanya mau ambil minuman, eh ternyata di sini lagi ngobrol dengan …. eh dia siapa?" Meilani bertanya, sambil berbisik ke Puspita. Matanya menelisik penampilanku dari atas sampai bawah, seolah mencari tanda-tanda familiar.
"Ini si Firhan. Inget gak?" Puspita menjawab, mencoba mengingatkan Meilani.
"Firhan? Firhan..Firhan.." Meilani melirik ke atas, khas orang yang sedang menelusuri ingatan masa lalu. Dahinya sedikit berkerut, mencoba memastikan.
"Ohhhh, Firhan yang dulu CUPU itu yah?" Meilani berkata dengan sangat keras dan lantang, tepat saat pergantian lagu. Reflek saja, semua orang di ruangan itu menoleh ke arah asal suara. Beberapa pasang mata melihat ke arah kami dengan rasa ingin tahu.