8. Ketahuan Arsel?
Katya melamun sambil mengusap perlahan bibirnya yang terasa bengkak dan perih, setelah sesi "pelunasan hutang"-nya yang pertama kepada Gaffandra.
"Aarrghh!! Bodoh!!"
Gadis itu menggeram kesal sembari mengacak-acak rambutnya, membuat semua orang yang berada di dalam lift menatapnya heran.
Suara denting pelan itu diiringi dengan terbukanya pintu ganda yang bergeser ke samping, dan Katya pun cepat-cepat melangkah keluar.
Ia bahkan setengah berlari menuju ke arah lobby depan, ingin segera keluar dari gedung Adhyatama Corp. dan mengayuh sepedanya sejauh mungkin dari sana.
"Ini baru satu kali, gimana nanti-nanti?" gumannya risau, ketika mengambil sepeda yang ia titipkan pada petugas parkir gedung.
Sambil mengayuh, Katya kembali memikirkan semua masalah keuangan yang ujung-ujungnya malah ia harus membayar dengan cara yang tidak biasa.
Satu sisi kata hatinya seolah menolak dengan tegas pelunasan hutang dengan cara "satu ciuman untuk seratus' juta ala Gaffandra, namun satu sisi logikanya seolah memberikan semangat untuk melakukannya.
Mungkin nanti sesampainya di rumah sakit, kepalanya harus diguyur dengan air dingin supaya bisa berpikir dengan lebih jernih.
"Katya!!"
Suara yang memanggilnya itu membuat Katya menoleh, dan gadis itu pun sontak mengerem laju sepedanya saat melihat sosok di atas motor yang berada di sampingnya.
"Arsel!" seru Katya gembira melihat sahabat yang sudah beberapa hari ini tak ada kabarnya.
Arsel tersenyum, lalu ikut mengerem motornya agar sejajar dengan posisi sepeda Katya yang berhenti di pinggir jalan. Pria muda itu membuka helmnya sebelum melemparkan tatapan memicing kesal kepada Katya.
"Kamu apa kabarnya sih? Kenapa pesanku nggak pernah dibalas?? Masa cuma di-read aja."
Katya meringis mendengar gerutuan pria itu. Sejujurnya akhir-akhir ini dengan masalah yang datang bertubi-tubi, membuat Katya pusing dan jarang sekali membalas aplikasi pesan di ponselnya.
"Maaf," ucap Katya. "Ada banyak banget urusan yang harus kuselesaikan, Sel. Ini juga sekarang mau ke Rumah Sakit. Ririn dan Bayu harus dioperasi," tutur Katya, dan mengalirlah kisah panjang yang melatarbelakanginya dari bibir Katya.
Rasanya cukup melegakan juga setelah menceritakan semua permasalannya kepada Arsel, sahabat tempatnya berkeluh-kesah sejak dulu.
Hampir semua ia tumpahkan kepada pria itu, tanpa menyinggung tentang hutangnya kepada Gaffandra, tentu saja.
Setelah mendengar semuanya, Arsel pun terdiam. Namun beberapa saat kemudian ia tersenyum dan menepuk pelan puncak kepala Katya.
"Ayo kuantar ke Rumah Sakit," ucap Arsel. "Sepeda kamu bisa dilipat, kan? Taruh aja di depan biar kamu nggak repot megangin."
"Tapi... kamu sebenarnya mau kemana, Sel?" Tanya Katya, yang baru sadar jika Arsel sedang mengenakan seragam biru muda bertuliskan sebuah perusahaan logistik di bagian atas sakunya.
"Kamu sudah bekerja ya? Waah... kerja dimana??" Cetus Katya antusias.
Arsel melirik pandangan Katya yang tertuju ke arah saku seragamnya. "Iya, aku kerja di perusahaan kecil," sahutnya merendah. "Udah jangan kelamaan ngobrol, bukannya Ririn mau dioperasi?"
Katya mengangguk, namun wajahnya terlihat sangsi. "Sel, ini masih jam kerja loh. Memangnya kamu nggak akan kena masalah kalau ninggalin kantor?"
"Nggak apa-apa. Kebetulan tadi baru aja selesai tugas survey ke proyek, jadi aku bisa minta ijin satu atau dua jam setelahnya," balas Arsel.
"Beneran? Ini nggak bakal bikin kamu jadi bermasalah di kerjaan kan?" Sergah Katya.
"Iyaa~ bawel! Udah cepetan naik!" Arsel pun turun dari motornya tanpa menghentikan mesinnya, lalu memaksa Katya untuk turun juga dari sepedanya, agar dia bisa melipat sepeda itu menjadi formasi yang lebih kecil.
Setelah menaruh alat transportasi itu di bagian depan motornya, tak lama kemudian Katya pun sudah berada di bagian penumpang belakang motor pria itu.
"Arsel."
"Apa?"
Katya mengeratkan pelukannya di pinggang Arsel sambil mendesah pelan. "Makasih ya."
"Apaan sih, Ka? Aku cuma boncengin kamu ke Rumah Sakit aja loh, bukan beliin kamu Menara Eiffel," sahut Arsel sambil mendengus pelan. "Nggak usah berlebihan gitu."
"Ck. Maksud aku bukan cuma anterin ke Rumah Sakit, tapi... ya pokoknya makasih aja deh. Cuma cerita sama kamu aja rasanya udah bikin aku lumayan lega, tahu."
"Ya salah sendiri telepon aku nggak pernah diangkat, pesan aku juga nggak pernah dibalas!" sahut ketus Arsel.
"Iyaa~ maaf ya, Sel."
"Dimaafin. Jangan diulang."
Katya tersenyum mendengar nada ketus ciri khas Arsel yang sebenarnya cuma di luar saja. Arsel sebenarnya sangat baik, meskipun dibungkus dengan wajah lempeng dan ucapan sinis yang singkat-singkat.
Bagaimanapun, Katya merasa harus mengucapkan syukur untuk hari ini.
Ririn dan Bayu sudah mendapatkan pertolongan untuk biaya operasi yang mahal, meskipun Katya harus membayar dengan cara yang kurang wajar.
Tapi setidaknya Katya tidak harus mengorbankan kesuciannya sebagai wanita dan menjadi teman tidur pria itu.
Lalu pertemuannya dengan Arsel, tempatnya bersandar yang membuat Katya merasa tidak sendirian menghadapi semua ini.
Seorang teman satu-satunya yang ia miliki, yang sejak dulu tidak peduli dengan dirinya yang yatim piatu dan miskin.
Sosok yang sangat berharga, yang ia sayangi seperti menyayangi Bu Sadna dan adik-adik asuhnya di asrama yatim piatu.
Katya pun berjanji bahwa mulai saat ini, tidak akan pernah mengabaikan pesan dan telepon dari Arsel lagi.
***
Operasi Ririn berjalan dengan lancar dan sukses. Pendarahan di otaknya telah disedot dan dibersihkan melalui prosedur operasi yang disebut dekompresi otak, dan memakan waktu sekitar hampir 3 jam.
Katya dan Bu Sadna saling berpelukan melepas rasa khawatir yang dipenuhi kelegaan, saat mendapatkan kabar dari perawat bahwa operasinya berhasil dan pasien dalam keadaan baik-baik saja walaupun belum sadar karena efek obat bius.
Karena Ririn masih dalam tahap pengawasan ketat dan belum boleh dijenguk, Arsel mengajak Katya dan Bu Sadna untuk makan di kantin rumah sakit sembari menunggu.
"Kalian berdua saja yang makan, Ibu belum lapar," tolak Bu Sadna halus sambil tersenyum kepada Arsel dan Katya.
"Ibu mau dibelikan camilan dan minuman?" Tawar Katya.
"Boleh, air mineral saja. Terima kasih, Katya."
Katya pun mengangguk dan pamit sebelum berlalu bersama Arsel menuju ke kantin.
"Kamu nggak apa-apa, Ka? Kok tangan kamu gemetar gitu?" Tanya Arsel yang heran melihat tangan Katya.
"Nggak apa-apa, Sel. Aku cuma masih terlalu gembira aja mendengar kabar Ririn," sahut gadis itu sambil nyengir.
Arsel mengangguk paham. "Beruntung banget Ririn cepat ditolong ya? Apa biaya operasinya dari para donatur?"
"Uumm... i-iya," sahut Katya cepat tapi sayangnya sedikit gelagapan.
Ia memang tidak menceritakan kalau Gaffandra-lah yang membayar semua biayanya karena takut Arsel akan bertanya-tanya lagi lebih lanjut.
"Kamu mau makan apa? Biar aku yang traktir, Sel. Sebagai ucapan terima kasih karena sudah dianterin ke rumah sakit sekaligus sudah ikut menunggu operasi Ririn."
"Nggak. Justru aku yang seharusnya traktir kamu karena dapat kerjaan baru," elak Arsel. "Sekarang kamu boleh makan sepuasnya, biar aku yang traktir. Sekalian juga beliin Bu Sadna makanan kesukaannya."
Katya tersenyum sambil menatap Arsel yang berjalan di sampingnya. "Thanks, Arsel. Jangan menyesal kalau aku makannya banyak, mumpung ditraktir!" seloroh Katya sembari tertawa, yang kali ini membuat Arsel gantian menatapnya.
"Seneng lihat ketawa kamu lagi," ucap pria muda itu dengan satu tangannya yang mengacak rambut Katya.
"Arseeelll!!" Katya menjerit kecil karena rambutnya yang kini jadi berantakan seperti singa, akibat perbuatan iseng Arsel yang langsung berlari kabur menuju kantin sebelum Katya sempat membalasnya.
***
"Aku mau ambil makanan buat Bu Sadna dulu." Katya berdiri dari kursinya menuju booth soto lamongan, makanan kesukaan ibu asuhnya itu.
"Titip es jeruk satu ya. Nanti bilang aja dibayar semuanya di kasir," pesan Arsel yang dijawab dengan acungan jempol dari Katya.
Mereka telah selesai makan dan sekarang sedang menikmati sepiring rujak buah untuk dimakan berdua, ketika Katya baru ingat kalau tadi ia pesan soto yang dibungkus untuk dibawa.
Arsel sedang asyik mengunyah potongan buah jambu yang dicocol dengan saus rujak kacang, ketika ia mendengar nada denting pelan dari ponsel Katya yang tertinggal di atas meja.
Layarnya yang otomatis menyala, membuatnya dapat membaca sekilas sebagian dari isi notifikasi pesan yang masuk.
"Dari Gaffandra?" Arsel mengguman pelan dengan heran, saat tak sengaja melihat sederet nama yang ia kenal.
Ini... Gaffandra Adhyatama bukan? Si Ketua Yayasan Universitas yang kemarin pidato di wisuda mereka??
Karena penasaran, Arsel meraih ponsel Katya dan membuka kuncinya yang hanya berupa usapan biasa. Kebiasaan Katya memang tidak pernah memberikan kunci yang ribet-ribet untuk ponselnya.
"Aku dengar operasi Arini berjalan sukses ya? Syukurlah. Untuk operasi Bayu akan dijadwakan besok. Jangan khawatir, aku sudah meminta pelayanan dan dokter terbaik untuk menangani mereka. Dan jangan lupa pelunasan hutangmu yang kedua, malam ini juga. Aku jemput jam tujuh malam. Dandan yang cantik, dan kamu harus berusaha lebih keras lagi untuk membuatku puas dibandingkan sebelumnya."
"Udah dapat nih soto untuk Bu Sadna sama es jeruknya. Yuk balik, Sel." Katya yang baru saja kembali ke meja berucap dengan riang sambil menenteng kantong plastik bening berisi makanan.
"Apa ini, Ka?" Arsel menatap tajam Katya, sembari menunjukkan layar ponsel gadis itu yang berisi pesan dari Gaffandra.
"Jadi ternyata si Gaffandra itu yang membayar operasi Ririn ya? Lalu kamu melunasi hutang dengan menjual diri kamu, begitu?"
Katya mengerjap kaget, lalu tangannya terangkat untuk meraih ponsel yang dipegang Arsel. Namun sayangnya ia kalah cepat, karena Arsel keburu menjauhkan alat komunikasi itu.
"Balikin ponselku, Sel!" Sergah Katya kesal sambil melotot kepada Arsel.
"Jawab dulu pertanyaanku!" Cetus Arsel tak kalah ngotot. "Apa benar kamu jual diri kepada Gaffandra?!"
"Enggak! Aku nggak jual diri, Sel! Aku cuma... cumaa..."
"Apa? Cuma apa? Kamu cuma bikin dia 'puas'?!!
Katya pun seketika terdiam mendengar perkataan menohok dari Arsel. "Bukan... ini bukan seperti yang kamu kira, Sel. Ini..."
Katya kembali terdiam tak tahu harus berkata apa. Seluruh tubuhnya serasa lemas, malu karena Arsel membaca pesan dari Gaffandra yang seolah-olah menempatkan dirinya sebagai wanita* tuna susiila.
Aaarghh... dasar Gaffandra sialan! Ngapain juga dia mengirimkan pesan yang menjurus begitu sih??
"Jadi kamu ngga ada niat buat menjelaskan?" Guman Arsel pelan, namun masih terdengar jelas oleh Katya. "Aku masih menunggu pernjelasan kamu, Ka."
Katya menggigit bibirnya dan menggeleng. "Maaf, aku cuma minta kamu percaya sama aku, Sel. Tolong percaya, kalau aku nggak seperti yang kamu pikirin setelah membaca pesan itu. Aku nggak peduli kalau seluruh dunia memandang aku hina, asal bukan kamu."
"Kenapa? Kenapa kamu sangat peduli dengan pendapatku?" Desak Arsel.
"Karena kamu satu-satunya sahabat yang aku miliki, dan aku sayang sama kamu," jawab jujur Katya dengan manik coklatnya yang mulai berkaca-kaca.
Arsel pun tertawa pelan mendengar jawaban Katya yang terdengar egois baginya.
"Mungkin sekarang kamu sudah tidak membutuhkan aku lagi, Ka. Bukannya ada Gaffandra yang lebih kaya dan bisa memberi kamu segalanya?" sindirnya.
"Apalagi yang perlu kamu lakukan hanya memberinya 'kepuasan' sebagai timbal baliknya kan?"
Cairan yang mulai mengumpul di dalam manik Katya kini mulai luruh menitik. Tudingan Arsel itu membuat hatinya sakit, namun ia tidak bisa menampik bahwa apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu adalah benar.
Meskipun hanya berupa ciuman, tapi Katya baru bisa melunasi setiap seratus juta hutangnya jika Gaffandra merasa terpuaskan.
"Sel, aku..." Katya terkejut ketika Arsel tiba-tiba saja mengembalikan ponsel ke tangannya.
"Sorry, Ka. Aku kayaknya nggak bisa ketemu kamu lagi." Arsel menatap Katya dengan sorot dingin tak terbaca yang berbayang di matanya.
"Kenapa?" bisik Katya lirih. "Apa sekarang kamu jijik sama aku?"
"Karena kamu egois," sahut Arsel tiba-tiba, yang membuat Katya mengernyit bingung.
"Setiap ada masalah, kamu nggak pernah melibatkan aku. Kamu terlalu egois dan bodoh karena berusaha menyelesaikannya sendiri. Kamu seolah nggak pernah anggap aku bisa bantu kamu, Ka."
"Sel... aku cuma nggak mau ngerepotin kamu."
"Tapi aku ingin direpotkan sama kamu!" bentak Arsel tanpa sadar, yang membuat semua orang di kantin mendadak menatap mereka.
"Arseel..."
"Selamat tinggal, Ka. Sampaikan salam untuk Bu Sadna dan Ririn. Aku pergi dulu."
Katya tak bisa menahan lagi air matanya melihat kepergian Arsel dengan ekspresinya yang kecewa. Ia sungguh tidak ingin kehilangan sosok sahabat yang membuatnya nyaman, namun ia juga tak bisa berkata jujur kepadanya.
Mungkin ini yang terbaik. Mungkin memang Katya sebaiknya tidak memiliki teman. Mungkin... anak yatim piatu dan miskin sepertinya memang ditakdirkan untuk hidup sendiri.
***
Katya menghela napas gusar ketika kembali ke tempat Bu Sadna menunggu, dan malah menemukan sosok yang saat ini paling tidak ingin dia temui di seluruh duni sedang berbincang dengan ibu asuhnya itu.
"Ck. Ngapain sih pembuat onar itu ke sini??" guman Katya sambil cemberut menatap tajam Gaffandra yang belum menyadari kedatangannya.
Hih, kalau saja ini dunia paralel, mungkin itu cowok udah dia cekek sampai megap-megap. Ngeselin sih. Katya masih merasa dendam karena isi pesan Gaffandra yang membuatnya kehilangan Arsel sahabatnya.
"Katya? Mana Arsel?"
Gadis itu tersenyum kepada Bu Sadna yang barusan menyapanya dan menanyakan keberadaan sahabatnya.
"Uummh... tadi mendadak dia harus pergi karena ada urusan penting. Arsel titip salam saja buat ibu dan dia membelikan ini." Katya mengangkat satu tangannya yang memegang plastik berisi soto, nasi, mangkuk platik dan sendok garpu sekali pakai.
"Ibu makan dulu, biar aku yang gantian jagain Ririn." Katya menyerahkan plastiknya kepada Bu Sadna, yang disambut oleh wanita itu dengan wajah sumringah saat menghirup aroma soto lamongan kesukaannya.
"Kalau begitu ibu makan dulu ya? Maaf saya permisi dulu, Pak Gaffandra. Katya, bisa temani Pak Gaffandra dulu kan?"
Bu Sadna meminta kepada Katya karena mengira bahwa Gaffandra adalah sosok malaikat berwujud manusia yang banyak membantu mereka, tanpa tahu bahwa pria itu telah meminta bayaran kepada Katya untuk semua kebaikannya.
"Kamu.... habis nangis?"
Katya terkejut mendengar pertanyaan Gaffandra yang diutarakan setelah kepergian Bu Sadna.
Tunggu, darimana dia bisa tahu kalau Katya habis menangis?
Padahal Bu Sadna yang telah mengenalnya sejak lahir saja tidak sadar, apalagi tadi Katya juga sudah membasuh air matanya dengan air dingin di wastafel toilet, agar tidak terlihat seperti habis menangis.
"Nggak," sahut Katya sambil mendelik. "Siapa yang nangis? Jangan ngarang deh, Pak!"
Gaffandra pun terdiam sambil menatap lekat wajah Katya, lalu tiba-tiba saja tangannya terulur untuk meraih pergelangan tangan Katya.
"Ikut aku ke suatu tempat," titahnya.
"Nggak bisa, nanti kalau Ririn sudah sadar dan mencari-cari aku atau Bu Sadna, gimana?" sergah Katya.
"Dokter akan menghubungi ponselku kalau Arini sudah sadar. Sekarang kamu ikut aku dulu, Katya."
Dan Katya pun akhirnya hanya bisa pasrah saat Gaffandra menyeretnya masuk ke dalam lift menuju ke lantai paling atas. Hei, dia bahkan tidak tahu kalau ada tombol lift yang diberi nama 'rooftop'!
Ternyata benar dugaan Katya, Gaffandra membawanya ke bagian rooftop rumah sakit yang ternyata ada landasan untuk helikopternya.
"Coba sekarang cerita kenapa kamu menangis."
Katya menepuk keningnya mendengar perkataan Gaffandra yang seolah mengabaikan jawabannya sebelumnya.
"Aku enggak nangis, Pak Gaffandra Adhyatama yang terhormat! Ngeyel banget sih dibilangin."
"Okay. Aku akan hitung sampai lima, dan akan ciium bibir kamu kalau masih juga nggak mau ngaku," cetus Gaffandra tiba-tiba yang membuat Katya semakin melotot horor.
Apa-apaan si Gaffandra ini??
"Dan sebagai info, ciuman ini tidak masuk dalam hitungan pelunasan hutang, Katya. Jadi jangan salahkan kalau durasinya akan sangaat panjang, dan tidak menutup kemungkinan... malah membuat kamu jadi menginginkan lebih," bisik Gaffandra di telinga Katya dengan nada seduktif, dan dengan sengaja pria itu meniup telinga Katya hingga membuat gadis itu merinding.
***