HMT 4 - KEBENCIAN MARTIN
Pingkan menemani Alice menyantap mie rebus buatannya tadi di teras belakang rumah. Alice banyak cerita tentang dirinya sewaktu di Bandung dulu. Begitu pun Pingkan, dia menceritakan tentang hubungannya dengan Martin, juga seperti apa sipat Martin yang sebenarnya.
Alice sangat senang mendengar cerita Pingkan tentang kakaknya itu. Ternyata Martin tak seburuk yang dia pikir. Menurut cerita Pingkan, Martin hanya depresi karena di tinggal ibunya sewaktu kecil, dan harus menjalani hidupnya seorang diri selama ini. Pingkan juga berkata, kalau Martin sangatlah menginginkan seorang adik perempuan. Bahkan ibunya Martin sempat mengandung seorang bayi perempuan. Namun bayi itu tak sempat di lahirkan karena ibunya mengalami pendarahan hebat hingga meninggal.
Alice terharu mendengar semua cerita Pingkan. Bahkan dia merasa bersalah karena sudah bahagia di atas penderitaan Martin selama ini. Ya, dia merasa bersalah pada Martin. Namun ini semua bukan keinginannya. Dia tak pernah tahu jika ayahnya memiliki dua istri. Wajar saja jika kini Martin sangat membencinya.
"Pingkan? Kamu ngapain di situ?" suara Martin mengagetkan keduanya.
Pingkan dan Alice menoleh serempak. Rupanya Martin sudah pulang. Pemuda itu tampak tidak suka melihat Pingkan bersama Alice.
"Martin, kamu udah pulang? Aku lagi ngobrol sama Alice. Sini!" ucap Pingkan masih duduk di samping Alice.
Martin menoleh sinis pada Alice. Dia segera mendekat lalu meraih lengan gadis itu, kemudian menyeretnya dengan kasar. Pingkan sangat kaget melihatnya.
"Sini kamu!" tukas Martin sambil menyeret Alice menuju gudang di belakang rumah.
Alice tidak berontak meski Martin cukup kasar padanya. Sementara Pingkan segera menyusul mereka. Ada apa ini? Kenapa Martin terlihat sangat marah? Pingkan sangat heran karena selama ini dia tak pernah melihat Martin semarah itu.
"Masuk!" perintah Martin pada Alice setelah membuka pintu gudang yang ada di belakang rumah.
Alice melihat ruangan itu yang tampak sangat gelap. Dia menggelengkan kepalanya sambil menatap nanar pada Martin.
"Gue bilang, masuk!" lagi-lagi Martin berteriak padanya.
Alice mulai menjatuhkan air matanya. Dia sangat ketakutan dan tak berani lagi menatap sorot mata lelaki di depannya itu. Martin memejamkan matanya sejenak untuk menahan emosi. Sialan! Gadis itu malah menangis. Dia tak tahan lagi melihatnya.
"Cepat masuk!" Martin menarik lengan Alice dan melempar gadis itu ke dalam gudang.
Alice terjatuh sampai menubruk sebuah tumpukan karton bekas.
"Kak, Martin," lirih Alice sembari menggelengkan kepalanya. Dia tak mau berada di ruangan gelap itu. Dia takut akan kegelapan.
Namun itu bukan urusan Martin.
"Malam ini lo tidur disini. Mengerti?!" Martin menunjuk Alice yang masih bersandar pada tumpukan karton berdebu di belakangnya. Tanpa menunggu jawaban Alice, lelaki itu segera menutup puntu.
Gelap menyelimuti ruangan. Alice mulai ketakutan.
"Kak Martin, buka! Aku takut, Kak!" raung Alice sambil kemukul-mukul pintu.
Martin hanya tersenyum tipis dan hendak meninggalkan area gudang. Namun Pingkan sudah berdiri di depannya sambil memasang wajah penuh emosi pada Martin.
"Udah gila kamu, ya! Kamu tega kurung Adik kamu sendiri di gudang. Nggak waras kamu, Martin!" Pingkan berkata sambil mendongkak pada Martin. Mata gadis itu menegaskan rasa kecewanya pada sang pacar.
Martin terdiam sejenak sambil menggenggam kunci pintu gudang dengan erat. Sialan! Alice sudah membuat Pingkan simpati padanya, pikirnya kesal
"Ini bukan urusan kamu, Ping. Aku nggak mau ribut sama kamu. Ayo pergi," ucap Martin sambil merangkul bahu Pingkan.
Namun gadis itu menepisnya. Dia kembali menatap tajam pada Martin
"Alice itu Adik kamu, Martin. Apa pantas kamu perlakukan dia seperti ini? Dimana hati kamu?! Aku kecewa sama kamu!" kesal Pingkan sambil menunjuk wajah Martin.
Martin memalingkan wajahnya. Bagaimana ini? Pingkan tampak sangat marah padanya, dan ini semua karena anak haram ayahnya itu.
"Mesti berapa kali aku bilang sama kamu. Dia itu bukan Adiku!" Martin mulai berteriak.
Pingkan membulatkan matanya pada lelaki itu. Dia sangat kesal sampai ingin menampar mulut Martin sekarang juga.
"Bukan Adik kamu? Lantas, Alice itu siapa? Anak Ayah kamu dari wanita lain, begitu? Pake otak kamu. Alice itu Adik kamu, darah daging kamu, Martin!" Pingkan semakin emosi, begitu pun dengan Martin.
"DIA BUKAN ADIKKU!"
Teriak Martin dan langsung meraih sebuah guci yang berdiri di sampingnya. Dibantingnya guci berukuran sedang itu sampai berserakkan di lantai
PRAANGG!!
Jantung Pingkan hampir copot melihat emosi Martin, begitu pun Alice. Dia mendengar semuanya. Dia merasa bersalah karena membuat Pingkan dan Martin bertengkar. Dan ucapan Martin juga sangat melukai hatinya. BUKAN! Dia bukan adiknya. Begitu menurut Martin.
"Jadi begini diri kamu yang sebenarnya, Martin? Aku kecewa sama kamu!" tukas Pingkan segera meraih tangan Martin dan merebut kunci yang di genggamnya. Pingkan memalingkan wajahnya dari Martin dan segera berjalan menuju pintu gudang.
Ugh!
Martin melepaskan tinjunya pada dinding di sampingnya. Sungguh emosinya tak bisa ditahan lagi. Dia sangat membenci Alice, begitulah adanya. Dia tak sudih melihat Alice dekat dengan pacarnya. Bahkan dia sangat menyesal sudah membawa gadis itu bersamanya. Sungguh kebodohan yang tak bisa ditimbang lagi. Menerima anak dari hubungan terkutuk ayahnya. Sial! Martin tak habis pikir dia bisa sebodoh ini.
Krieeett ...!
Alice menoleh ke arah pintu saat Pingkan sedang berdiri di sana. Wanita itu menatapnya penuh rasa kasihan. Alice hanya menunduk dengan pipinya yang basah, dia sangat malu dan sedih karena sudah membuat Pingkan dan Martin bertengkar.
Pingkan melangkah menuju gadis yang sedang menangis itu. Hatinya sangat sedih. Dia sangat mengerti perasaan Alice. Tidak, ini bukan salah Alice. Pingkan segera berjongkok dan meraih bahu Alice dalam pelukannya. Bukannya berhenti, justru pelukan itu membuat tangis Alice semakin menjadi.
"Maafkan aku, Kak. Karena aku, kalian jadi ribut," lirih Alice tanpa melepaskan pelukannya dari Pingkan.
Pingkan mengangguk sembari menepuk punggung Alice sesekali,
"Nggak, Sayang. Ini bukan salah kamu. Mulai sekarang kamu jangan takut lagi, ya? Kakak akan selalu ada buat kamu," tukasnya usai melepaskan pelukan itu. Dia menyeka kedua pipi Alice dan menatapnya lembut.
Alice mengangguk dan kembali memeluknya erat,
"Makasih, Kak." Alice mulai menangis lagi. Ini terlalu berat untuknya. Kebencian Martin sungguh membuatnya sangat terpukul.
Meski dia bisa mengerti seperti apa perasaan Martin saat ini, namun dia tak memiliki stok kesabaran yang mungkin cukup untuk menghadapi kebencian kakaknya itu.
Mau bagaimana lagi? Tak ada pilihan. Dia harus tetap bersama Martin, sebagaimana pesan terakhir ayahnya. Dia tak boleh meninggalkan Martin, apa pun yang terjadi.
Tak perduli seberapa besar kebencian Martin padanya, Alice akan tetap menemani Martin. Ya, dia yakin suatu hari pasti Martin akan bisa menerimanya sebagai adiknya. Adik kandungnya.