HMT 5 - SENTUHAN DI BIBIR
Alice baru saja keluar dari kamarnya. Dia sangat tergesa-gesa karena jarum jam sudah menunjuk angka tujuh. Astaga, Martin juga sudah pergi. Bagaimana ini? Dia hanya punya sedikit uang untuk naik angkot tapi pasti dia akan terlambat sampai sekolah.
Apa boleh buat!
Alice sedang berdiri di tepi jalan. Mobil angkot yang sedang ditunggunya belum juga kelihatan. Lama sekali! Dia kelihatan sangat gelisah sampai tak bisa berdiri dengan tenang.
"Alice ..."
Mobil Jeep putih menepi di depannya dan terlihat sebuah senyuman manis menghiasi wajah pemuda yang tertutup kacamata hitamnya.
Siapa pemuda itu? Alice hanya tersenyum tipis.
"Kamu mau berangkat sekolah, ya? Gimana kalo aku antar aja?" tanya pemuda itu.
Alice masih kelihatan ragu, tapi dia sudah hampir terlambat dan bagaimana kalau gerbang sekolahnya sudah terkunci.
"Ayo naik!" pemuda itu membuka pintu mobilnya dari dalam untuk Alice.
Gadis itu hanya tersenyum tipis sambil mengangguk. Tidak perduli pemuda itu siapa, pokonya dia harus berangkat ke sekolah sekarang!
Pemuda itu tersenyum padanya dan mulai melajukan mobilnya.
Alice terdiam sambil memalingkan wajahnya ke arah jendela mobil, dia tahu pemuda di sampingnya itu sedang memperhatikannya. Jantungnya berdebar kencang. Dia memang sedang ketakutan, tapi tidak ada pilihan lagi daripada dia tidak mengikuti pelajaran hari ini. Itu lebih buruk lagi.
"Kenapa kamu diam aja? Apa kamu nggak kenal sama aku?" tanya pemuda itu sambil tersenyum.
Alice hanya mengangguk satu kali.
"Gimana kalo aku mau menculik kamu? Apa kamu nggak takut?" lanjut lelaki itu lagi membuat jantung Alice hampir copot.
Benar juga! Astagah, gimana ini? Alice semakin ketakutan dan itu bisa dilihat oleh lelaki di sampingnya itu.
"Haha, aku cuma bercanda kok! Aku Devan, temannya Martin. Aku tahu kalo kamu Adiknya Martin."
Fuuhh..
Alice mulai lega mendengar itu, tapi bukankah semua teman kakaknya itu brengsek? Astaga, sepertinya dia memang sedang dalam masalah sekarang.
"Jangan takut, aku bakal antar kamu ke sekolah. Tenang aja," ucap pemuda itu seolah bisa menebak apa yang ada di hati Alice.
"Makasih, Kak."
Alice tersenyum tipis pada lelaki yang baru saja mengantarnya ke sekolah. Akhirnya dia datang tepat waktu. Lelaki itu membuka kacamatanya dan tersenyum padanya. Alice membulatkan sepasang netranya. Ya, dia bisa mengingatnya. Lelaki itu adalah orang yang ditabraknya tempo hari di rumah Martin. Dia sangat tampan.
"Sekolah yang benar, ya!" ucapan bijak lelaki itu sambil melempar senyumnya.
Alice sampai tersenyum sipu mendengarnya, kemudian mobil Jeep putih itu segera berlalu. Apa ini? Kenapa jantungnya sangat berdebar dan pipinya juga memerah.
Ya ampun!
"Ngapain lo bengong begitu?" suara Chelsea cukup membuatnya kaget. Alice segera menoleh pada gadis itu.
"Heh, kenapa lo? Kaya abis lihat V BTS aja lo. Ya ampun, pipi lo sampai merah begitu." Chelsea sedang menggodanya membuat Alice semakin merasa malu.
Dia hanya tersenyum sipu sambil menutup kedua pipinya dengan telapak tangannya, kemudian mereka segera berjalan menuju kelas sambil bercanda riang.
***
Waktu menunjukan pukul dua sore. Semua murid sudah meninggalkan kelas, hanya Alice dan Chelsea yang masih sibuk merapikan buku-buku ke lemari di kelas mereka sampai kemudian datang tiga orang siswa dari kelas sebelah.
"Hai, Chel!"
Suara Galang cukup membuat keduanya kaget. Mereka langsung menoleh serempak ke arah pemuda yang sedang tersenyum manis sembari mengusap belakang lehernya.Galang tampak salah tingkah.
Chelsea menyenggol lengan Alice yang masih sibuk merapikan buku-buku. Ya, Chelsea tahu karena kedatangan Galang sengaja ingin menemui Alice. Bahkan pemuda itu sudah berkata padanya kalau dia menyukai Alice.
"Hai Alice, kamu pulang sama siapa? Gimana kalo aku antar?" Galang berusaha percaya diri di depan Alice.
"Maaf, aku dijemput sama Kakak aku," jawaban Alice membuat Galang tampak kecewa.
Alice putuskan untuk berbohong saja. Lagi pula Martin belum tentu tidak marah kalau melihatnya pulang dengam pemuda itu.
Chelsea hanya tersenyum tipis. Dia tahu persis Alice tak akan mau pulang dengan sembarang orang, kecuali keadaanya sangat mendesak.
"Oh, iya? Sayang banget. Padahal aku mau ajak kamu makan siang sekalian jalan." Galang masih berusaha tapi itu tidak membuat Alice berubah pikiran.
"Maaf, aku nggak bisa. Lain kali aja, ya?" ucapan terakhir Alice sebelum dia meninggalkan ruang kelasnya.
Chelsea segera menyusulnya sembari tersenyum kecut pada Galang yang masih tampak kecewa.
***
Mobil angkot berhenti di depan jalan besar. Alice merogoh saku jas sekolahnya lantas segera memberikan beberapa lembar uang receh pada si sopir. Kemudian dia turun dan langsung berjalan menuju rumah Martin yang tak jauh dari situ.
Meski sudah sore, namun terik matahari cukup panas menerpa kulit putihnya. Dia segera mempercepat langkahnya sampai tiba di depan gerbang rumah besar itu.
Alice merasa tenggorokkannya sangat kering, dia sangat kehausan. Alice segera memasuki rumah tanpa melihat ada mobil Jeep putih yang terparkir di halaman.
Alice menenggak botol berisikan air mineral yang diambilnya dari dalam lemari es. Air dingin mulai menjalar tenggorokannya yang kering. Segar yang kini ia rasakan.
"Kayaknya kamu aus banget."
Alice segera mencari sumber suara itu. Dia langsung terbatuk-batuk melihat Devan yang sedang berdiri di belakangnya. Lelaki itu tersenyum gemas melihatnya.
"Ka-kak Devan?" sebisa mungkin Alice mencoba menenangkan dirinya sampai ibu jari lelaki itu menyentuh bibirnya secara tiba - tiba.
"Pelan-pelan aja minumnya," tukas Devan sambil menyeka bibir pink Alice.
Mata gadis itu menatap wajah Devan dengan lekat. Namun dia segera tersadar dan langsung menepis tangan pemuda itu darinya.
"Maaf, Kak. Permisi." Alice memilih segera pergi daripada lelaki itu mulai kurang ajar padanya nanti. Jantungnya berdegup sangat cepat. Perlakuan Devan tadi sungguh membuatnya sangan berdebar-debar.
Devan tersenyum tipis sambil memandangi punggung Alice yang sudah meninggalkan dapur. Gadis itu terlihat sangat menggemaskan di matanya. Gadis belia dengan postur tubuh langsing namun berisi di beberapa titik. Devan menggelengkan kepalanya sebelum berlalu.
Bruk!
Alice segera menutup pintu kamarnya dan bersandar di sana. Sial! Kenapa pipinya sangat merah setiap kali bertemu dengan pemuda itu? Alice menyentuh bibirnya dengan jemarinya. Kenapa sentuhan Devan terasa sangat intim di bibirnya tadi. Alice segera menggelengkan kepalanya.
Ah, nggak bisa begini!
Dia tak boleh memiliki perasaan seperti itu! Fokus sekolah, bekerja, dan segera meninggalkan rumah ini. Itu yang harus dia pikirkan sekarang!
Perasaan apalah itu, dia tak boleh merasakannya! Apa lagi pada pemuda tadi. Pasti Devan juga sama brengseknya dengan Rio. Astaga, jantungnya hampir meledak sekarang. Bagaimana ini?
"Alice!"
Terdengar suara Martin memanggilnya dari balik pintu. Alice segera memutar tubuhnya dan langsung membuka pintu. Ternyata Martin datang bersama Devan. Keduanya berdiri bersisian di depan pintu. Jantung Alice kembali terguncang. Apa yang diinginkan kakaknya itu? Apakah ada hubungannya dengan Devan? Alice berpikir.
"Ada apa, Kak?"
"Ada apa. Makan dulu nih! Gue mau langsung pergi." Martin menyodorkan sebungkus nasi dalam kantung plastik lengkap dengan kerupuk.
Alice lega, dia pikir Martin menyuruhnya untuk menemani Devan minum. Ya ampun, kenapa dia sampai berpikiran sejauh itu. Alice merutuki dalam hati.
"Makasih, Kak." dia segera meraih bungkusan itu sambil tersenyum masam.
Martin tak menjawab, lelaki itu cuma mengangguk dan langsung melangkah pergi.
Devan menunjukkan dua lesung pipitnya sebelum menyusul Martin. Deg! Jantung Alice berdegup sangat kencang karenanya. Dia segera membanting pintu. Ya ampun, Alice memejamkan matanya erat.
Usai makan dan mandi, Alice segera mengunci pintu kamarnya. Ya, dia ketakutan karena cuma sendiri di rumah. Alice memiringkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri kemudian terlentang. Sial! Kenapa matanya tak juga mau terpejam? Sorot mata Devan selalu mengganggunya.
"Tidur Alice, nggak boleh banyak pikirin yang nggak-nggak!" Alice menasehati dirinya sendiri sambil berusaha merapatkan kelopak matanya.