HMT 3 - SIAPA PEMUDA ITU
Jam istirahat pun tiba. Chelsea mengajak Alice jajan di kantin, dan hari ini Chelsea ingin mengtraktirnya. Awalnya Alice menolak karena dia juga membawa uang jajan dari Martin tadi. Ya ... meski nilainya hanya cukup untuk beli bakso dan es teh manis saja.
Chelsea tak suka Alice menolak, dia kukuh ingin menggunakan uangnya.
"Alice, lo tinggal sama siapa di sini?" tanya Chelsea usai menyesap lemon tea di depannya.
"Gue tinggal sama Kak Martin. Kakak gue yang tinggal di Jakarta."
"Kak Martin? Martin Richard Prahadie?!"
"Iya. Jadi elo kenal sama Kak Martin?"
"Kenal laah, Kak Martin temannya Kakak gue."
"Ooo ..." Alice manggut-manggut
"Kakak lo siapa namanya? lanjut Alice agak was-was. Dia curiga kalau kakaknya Chelsea adalah Rio, lelaki brengsek yang semalam kurang ajar padanya. Wajahnya sangat antusias menunggu jawaban Chelsea.
"Kakak gue namanya Devan. Devan Adipati Gumilang. Ganteng lho! Nanti gue kenalin sama lo, ya!" jawaban Chelsea membuat Alice lega. Syukurlah, ternyata nama yang disebutkan Chelsea barusan tidak termasuk nama-nama lelaki yang semalam pesta miras di rumah Martin. Mungkin kakaknya Chelsea itu pemuda baik-baik.
"Kenapa bengong?" suara Chelsea membuat Alice tersentak.
"Enggak. Hm, kita masuk aja, yuk!" ajak Alice.
Chelsea mengangguk dan langsung beranjak dari bangkunya, kemudian dia segera merangkul bahu Alice. Mereka mulai berjalan menuju kelas sambil mengobrol seru.
***
Waktu menunjukan pukul dua sore saat Alice sedang berdiri di tepi gerbang sekolahnya. Benar, dia sedang menunggu Martin yang katanya akan menjemputnya. Tapi sepertinya itu bohong karena sudah hampir dua puluh menit lelaki itu belum juga kelihatan batang hidungnya.
"Alice!" terdengar suara Chelsea memanggilnya.
Alice menoleh dan melihat gadis itu di dalam mobil sport warna orange yang menepi di seberang sana.
Chelsea segera melajukan mobilnya dan menepi di depan Alice.
"Lo belum pulang? Gimana kalo gue yang antar lo pulang?" ajak Chelsea dengan senyuman penuh harap.
Alice masih terdiam, dia bingung. Sebenarnya dia memang tak punya uang lagi untuk menaiki angkutan umum, dan Martin juga belum tentu menjemputnya.
"Ayolah, jangan sungkan."
Chelsea masih setia menunggunya.
Tak ada pilihan, kalau jalan kaki tidak mungkin karena cukup jauh juga. Alice mengangguk sambil tersenyum kemudian segera memasuki mobil Chelsea. Mereka segera berlalu meninggalkan SMA Gumilang School. Selama perjalanan mereka mengobrol banyak dan merasa sama-sama cocok.
"Makasih, ya? Udah antar gue pulang," ucap Alice saat berdiri di samping mobil Chelsea yang sudah menepi di depan gerbang rumah Martin.
"Santai aja, sekarang 'kan kita temenan." Chelsea tersenyum pada Alice dan langsung melajukan mobilnya.
Alice membalasnya dengan senyuman dan segera memasuki halaman rumah Martin. Dia melihat ada mobil Jeep warna putih terparkir di samping mobil Martin. Jantungnya mulai berdebar kencang. Dia takut Martin mengundang teman-temannya lagi untuk pesta miras.
Alice menutup pintu dari dalam, langkahnya sangat cepat. Dia ingin segera masuk kamarnya. Namun tiba-tiba dia menambrak tubuh yang cukup tinggi sampai-sampai dia terhempas ke lantai.
Aduuh!
Alice memegang pinggangnya dan menanggah pada lelaki yang sedang berdiri di depannya. Sepertinya lelaki itu yang ditabraknya tadi.
"Kamu nggak ap-pa?" suara yang sangat lembut dengan bibir kemerahan dan sorot mata yang begitu bening. Lelaki itu sangat tampan.
Alice sampai terpukau melihatnya.
"Hei, kok malah bengong begitu?" tanya lelaki itu tampak heran
Alice segera bangkit dengan matanya yang tak ingin berpaling dari pemuda itu. Pipinya bersemu merah karena malu.
"Maaf, Kak. Permisi." Alice segera berlalu dengan jantungnya yang berdebar-debar. 'Siapa pemuda tampan itu? Apakah sahabat Kak Martin?' Alice bertanya-tanya dalam hati.
Lelaki itu hanya tersenyum menunjukkan dua lesung pipitnya yang semakin menegaskan ketampanan wajahnya.
Lelaki tampan dan kaya raya itu, namanya Devan Adipati Gumilang. Dia adalah kakaknya Celsea dan juga putra pengusaha kaya raya yang sangat disegani di Jakarta.
Devan memang bukan pemuda baik-baik, sangat berbeda dengan wajahnya yang terkesan kalem. Devan sering menyalah-gunakan kekuasaan sang ayah untuk memperdaya seseorang, termasuk Martin yang sudah sering berhutang padanya.
"Heh, bro! Gue lihat ada cewek cakep di dalam tadi. Siapa sih?" Devan bertanya pada Martin yang sedang duduk sambil menikmati batang rokoknya di teras belakang rumah.
"Adek gue," jawab Martin singkat tanpa menoleh pada lelaki itu.
"Masa? Kok gue baru lihat?" Devan masih ingin membahas tentang gadis yang dilihatnya tadi.
"Do'i tinggal di Bandung dan baru kemarin gue ajak ke sini," jawab Martin masih enggan menoleh pada Devan yang sedang duduk di sampingnya.
Devan tersenyum miring mendengar itu. Entah apa yang ada di otaknya sekarang.
***
Pagi menjelang siang. Hujan kecil tak juga berhenti mengguyur kota Jakarta dari semalam. Alice merasa haus setelah seharian di dalam kamar guna mengerjakan tugas sekolahnya.
Dia berjalan menuju dapur dan mengambil air putih dari dalam kulkas. Rumah kelihatan sepi karena Martin tidak pulang dari semalam. Benar, ini hari minggu, mungkin Martin masih berada di tempat nongkrongnya.
Perut Alice mulai minta diisi, langkahnya terayun menuju dapur. Bibirnya mengulas senyum melihat kompor yang kelihatan sangat bersih padahal sebelumnya tidak ada sentuhan tangan wanita di sini. Ya, Martin memang cinta kebersihan. Itu yang Alice mulai tahu tentang kakaknya.
Karena hanya ada telur dan mie instan di lemari es, Alice mencoba memasaknya meski dia sebelumnya tak pernah masuk dapur apa lagi memasak mie sendiri. Ya, dulu hidupnya memang enak. Dia seperti seorang putri raja yang serba dilayani. Tapi sekarang dia harus mandiri karena semuanya sudah berubah. Tidak, dia tak boleh cengeng. Beruntung dia masih memiliki kakak meski Martin tak pernah mengharapkannya.
Alice mulai menyalakan kompor berlahan hingga api kebiruan itu terlihat, dia kaget sampai loncat karenanya. Astaga, mau membuat mie saja butuh perjuangan. Alice mulai membuka kemasan mie instan-nya. Tapi tiba-tiba ada suara dari luar dan langkah kaki yang menuju dapur. Siapa itu? Apakah Rio? Alice mulai ketakutan dan segera bersembunyi di balik pintu dapur.
Suara langkah kaki itu semakin mendekat. Alice mendekap sendok yang sedang dipegangnya di dada. Matanya terpejam sembari berdoa dalam hati. Astaga, jantungnya hampir copot ketakutan.
"Martin ..."
Suara seorang wanita? Alice kaget dan langsung keluar dari balik pintu. Benar, dia melihat seorang wanita sekitar umur 23 tahun sedang berdiri sambil menatapnya heran.
"Hei, kamu siapa?" tanya wanita itu sambil menatap pada Alice.
"Aku Alice, Kak. Adiknya Kak Martin," jawaban Alice membuat wanita itu tersenyum manis padanya
"Wah, kamu Alice Adiknya Martin yang dari Bandung itu, ya?" ucapnya mendekat sambil meraih lengannya. Alice mengangguk sambil tersenyum
"Kamu cantik banget, sih?"
"Makasih, Kak."
"Kenalin, aku Pingkan. Temannya Martin," ucapan wanita itu tampak tersipu.
Alice bisa menebak kalaulah wanita cantik di hadapannya ini adalah pacar kakaknya.
"Kamu lagi ngapain, sih?" tanya Pingkan sambil menoleh pada kompor yang masih menyala.
"Sebenarnya aku mau bikin mie, tapi aku nggak ngerti gimana caranya." Alice tampak malu-malu sambil menggaruk kepalanya.
Pingkan tertawa kecil melihat gelagat gadis itu, "Astaga, sini biar Kakak aja yang bikinin. Dasar." Pingkan langsung mulai persiapan dan mengajari Alice cara memasak mie.
"Udah jadi. Kamu makan dulu sana, nanti kena magh lho!" ucapan Pingkan setelah selesai memasak mie membuat Alice merasa menemukan sosok ibu lagi.
Dia tampak terharu sampai memeluk wanita berkulit putih itu dengan erat. Pingkan hanya tersenyum, dia paham betul perasaan Alice, karena dia sudah mendengar cerita Martin selama ini. Alice tidak bersalah tapi kenapa Martin sangat membencinya.
"Lho kok malah nangis?" Pingkan mengusap kedua pipi Alice yang baru saja melepaskan pelukannya.
Gadis itu tersenyum manis padanya.
"Nggak Kak, aku cuma lagi ingat sama Bunda," jawab Alice sambil berusaha menahan tangisnya.
Pingkan tersenyum mendengar ucapan polos gadis itu.