Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

HMT 2 - SEKOLAH BARU

"Kak, aku ..." Alice ingin menolaknya tapi dia tak sanggup menatap mata Martin yang sedang merongos padanya.

"Kenapa? Lo nggak mau, gitu?!" gertak Martin sampai membuat Alice terperanjak kaget. Untuk pertama kalinya ada orang yang berkata sangat lantang padanya.

"I-iya, Kak," lirih Alice dengan sorot mata memelas berharap Martin mengasihaninya.

"Udah pake sana, lelet banget sih!" Martin lembali mendorong bahu Alice.

Gadis itu hanya bisa menggeleng dengan air matanya yang ingin segera ditumpahkan.

"Kak.."

"Jangan nangis di depan gue. Cepat pake itu! Gue tunggu di luar." Martin segera berbalik badan.

Alice hanya menelan salivanya sambil mengusap kedua pipinya yang basah. Tak ada pilihan, gadis itu terlalu takut pada Martin.

Beberapa saat kemudian..

Alice baru saja keluar dari ruang ganti. Kedua tangannya tak henti menarik-narik tepi lingerie itu yang memang sangat pendek hingga kulit putihnya terlihat jelas. Wajah gadis itu menunduk dengan pipinya yang bersemu merah. Sungguh dia sangat malu dan tidak nyaman mengenakan pakaian minim itu.

Wajar saja, karena selama ini Alice tidak pernah mengenakan pakaian seperti itu. Bahkan sang bunda selalu melarangnya memakai pakaian yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Alice mengusap pipinya teringat itu.

Martin menatapnya dengan aneh seperti lelaki hidung belang yang sedang melihat seorang pelacur.

Alice mulai takut sampai jantungnya berdegup kencang.

"Bagus. Ayo ikut gue!" tangan Martin meraih lengan Alice dan menyeretnya berjalan cepat menuju teras belakang dimana terlihat beberapa orang pemuda seumuran Martin yang sedang minum miras sambil tertawa tak jelas. Tampaknya mereka sudah mabuk.

"Wah, ada cewek cantik. Dapet dimana lo, Mart?" mata seorang lelaki langsung terbelalak melihat Alice yang kelihatan sangat seksi dengan lingerie hitam itu.

Alice hanya menunduk dengan tangannya yang berusaha menarik-narik tepi lingerinya.

"Ini Adek gue, namanya Alice. Lo semua boleh seneng-seneng sama dia," ucapan Martin membuat Alice langsung menoleh padanya.

Adik? Ya, dia senang lelaki itu mengakuinya. Tapi kenapa kalimat kedua membuatnya sangat kaget. Boleh senang-senang? Apa maksudnya?

"Hai, Alice!"

"Hei, cantik. Sini!"

"Wah, cantik banget!"

Suara-suara itu seolah membuat Alice seperti sedang dijual oleh kakaknya. Tatapan mereka begitu liar seperti seekor singa yang ingin segera menerkam. Alice ingin segera pergi, dia tak mau ada di sini.

"Sana, layani mereka!" Martin mendorong punggung Alice membuat dia benar-benar ketakutan.

Gadis itu melangkah sangat lamban menuju teras dimana semua lelaki itu sedang tersenyum seringai padanya.

"Lelet banget sih!" tangan Martin menarik lengan Alice dan langsung menyeretnya ke depan semua temannya itu.

Alice yang gemetaran tak berani menatap mereka. Tatapan semua lelaki itu seperti sedang menelanjanginya.

"Hei, cantik! Sini temani gue!" perintah Rio salah satu dari mereka yang sedari tadi menatapnya dengan aneh.

Alice menoleh pada Martin. Akan tetapi lelaki itu malah membuang wajahnya seolah tak mau tahu. Astaga, bagaimana ini? Alice merasa diperlakukan seperti wanita penghibur.

"Bagus. Tambah lagi minumnya, Sayang," pinta yang lainnya.

Alice sudah tak tahan lagi. Dia ingin segera lari ke kamarnya sekarang juga daripada harus meladeni semua lelaki mabuk itu.

"Alice, lo cantik banget. Mau nggak kalo gue ajak seneng-seneng malam ini?" ucapan Rio sambil menjawil dagunya membuat Alice segera menjauh dari lelaki itu.

Apa ini? Memangnya dia pelacur! Lelaki itu berani melecehkannya.

"Heh, jangan sok jual mahal begitu. Martin udah cerita banyak sama gue. Lo anaknya istri kedua Ayahnya Martin, 'kan? Udah jelas kalo Nyokap lo juga pasti cewek murahan," ucapan Rio seenak hati. Tentu saja membuat Alice sangat tersinggung.

"Jangan ngomong sembarangan ya, Kak. Bunda aku bukan wanita seperti itu!" Alice langsung memasang wajah penuh emosi pada lelaki di depannya itu.

Rio tersenyum tipis melihatnya lalu berkata, "Tambah cantik aja kalo lagi marah. Ayo, sini!" dia segera meraih lengan Alice sampai menariknya ke pelukannya.

"Lepasin! Kak Martin!" Alice berteriak sambil berusaha berontak dari Rio yang ingin melecehkannya.

Memang, Martin ada di sana, tapi pemuda itu masa bodoh dan tidak perduli melihat Rio yang sedang kurang ajar pada adiknya itu. Dia malah pergi menuju teras balkon bersama dua temannya yang lain.

Alice mulai menangis ketakutan, dia harus melawan lelaki brengsek ini sendiri.

Dak!

Alice menendang perut Rio dan langsung kabur menunju kamarnya. Sial! Lelaki itu mengejarnya sampai membabi buta. Alice segera masuk dan langsung mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. Astaga, jantungnya seakan mau copot ketakutan.

"Alice! Buka pintunya, Sayang!"

Suara Rio dari balik pintu membuatnya sangat gemetaran.

Alice bersandar di pintu sambil menangis. Dia harus bagaimana? Kenapa Martin tidak menolongnya?

Beberapa saat kemudian suara Rio sudah tidak terdengar lagi. Alice menarik sofa untuk menahan pintu, dia takut Rio akan datang lagi. Gadis itu segera ganti baju dan langsung naik ke atas ranjang, lantas menarik selimut sampai ke lehernya. Jantungnya masih berdebar kencang di tambah tubuhnya yang gemetaran. Dia benar-benar sangat ketakutan.

Hari mulai pagi saat Martin mengetuk pintu kamarnya. Alice baru saja terjaga dan melihat jarum jam sudah pukul enam pagi. Ya ampun, dia sudah kesiangan karena semalam tidak bisa tidur memikirkan Rio yang menunggunya di depan pintu kamarnya semalaman.

"Alice! Buka pintunya!"

Suara Martin sangat lantang membuat jantungnya hampir copot. Alice segera bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menuju pintu

"Lama banget, sih?! Cepat mandi sana! Gue mesti antar lo ke sekolah baru lo, ngerti?" ucapan Martin tampak begitu marah padanya. Pasalnya, lelaki itu sudah hampir lima belas menit mengetuk pintu kamarnya sedari tadi.

"Iya, Kak."

"Cepat!"

Martin segera pergi setelah Alice kembali menutup pintu.

Gadis itu mulai mandi lalu bersiap untuk ke sekolah barunya. Alice senang karena Martin masih mengijinkan dia bersekolah. Ya, bagaimanapun lelaki galak itu adalah kakaknya, bukan?

"Cepat masuk mobil! Jangan gara-gara elo, gue telat datang ke kampus." Martin tak henti mengomel membuat Alice tersenyum tipis.

Dia segera memasuki mobil.

Martin langsung melajukan mobilnya menuju SMA Gumilang School.

Di mana Alice akan mulai sekolah dan menemukan teman-teman barunya di Jakarta.

Setelah tiba di sekolah Martin langsung menemui kepala sekolah dan mengurus semuanya agar Alice bisa segera mengikuti pelajaran.

"Kak mau kemana?" tanya Alice karena melihat Martin yang akan segera pergi

"Ke kampus, lah!" jawab pemuda itu sinis tanpa menatap wajah cantik sang adik yang sedang tersenyum padanya

"Makasih ya, Kak." Alice meraih tangan Martin lalu diciumnya.

"Hm.."

Martin segera menarik tangannya dan berlalu meninggalkan Alice yang masih berdiri memperhatikan punggungnya yang tidak pernah akan menoleh sedetik pun padanya. Martin, lelaki tampan berkulit putih itu adalah kakaknya. Dan dia sudah menunjukan itu sekarang.

"Hai, kamu Alicia, ya? Murid baru itu?" sapa seorang wanita dewasa berpakaian batik membuat Alice tersentak dari fantasinya.

"Hm, iya Bu."

"Cantiknya. Ayo ikut Ibu ke kelas. Ibu mau kenalin kamu sama murid-murid lainnya," ucapan wanita itu sambil tersenyum padanya.

Alice mengangguk sambil tersenyum kemudian mengikutinya menuju kelas.

Setibanya di kelas Ibu Renita yang tadi mengajaknya menuju kelas langsung memperkenalkan Alice pada semua murid yang menyambutnya dengan hangat. Apa lagi para murid laki-laki, mereka sampai berebut ingin berjabat tangan dengan gadis manis itu.

"Hai, Alice! Kenalin, gue Chelsea. Mulai sekarang kita berteman, ya?" sapa seorang gadis berambut pirang dengan kawat giginya yang warna-warni menyodorkan tangannya sambil tersenyum.

"Hai juga, Chelsea," balas Alice sambil tersenyum

"Minggir lo!" Chelsea mengusir seorang siswi yang kelihatan culun dengan kacamata besarnya juga dua kepang rambutnya yang tampak norak. Tadinya dia duduk di samping Alice dan sangat senang punya teman sebangku yang cantik.

Tapi sial! Chelsea mengusirnya seperti mengusir seekor ayam. Gadis culun itu tidak melawan dan langsung pindah ke belakang sambil menyeret tasnya. Memangnya siapa yang berani pada Chelsea Renata Gumilang? Puteri pengusaha properti nomer satu di Asia Tenggara itu. Bahkan yayasan tempat mereka sekolah pun adalah milik ayahnya. Alice agak kaget melihat sikap kasar Chelsea barusan.

"Alice, gue mau duduk di sini sama lo." Chelsea kembali menunjukan kawat giginya.

Alice hanya tersenyum simpul.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel