Chapter 16
Sudut pandang Anna...
Setelah dia menarikku ke dalam dadanya, Aku meremas bajunya dan menyembunyikan wajahku kedalamnya dan mulai menangis lagi.
"Kenapa Ria meninggalkanku sendiri." Ucapku sambil terisak.
Bahu kanannya melingkari punggungku dan menggenggam tangan kananku di dekat bahunya dan menarikku ke arahnya. Genggamannya semakin erat, Tangan kirinya, dia letakkan di bawah daguku kemudian mengangkat wajahku sedikit.
aku tidak membuka mataku. Setelah beberapa detik, dia mengangkat wajahku sedikit lagi, aku belum membuka mataku. Setelah beberapa detik lagi, aku terkejut, karena aku bisa merasakan ciuman bibirnya di dahiku. Ciuman di dahi yang sudah dapat membuatku merasa aman dan ciuman yang seperti sebuah janji.
Perlahan aku membuka mataku, Mark sedang menunggu aku untuk melihatnya. Mata dan wajah Mark berwarna merah dan matanya sudah berkaca-kaca. Aku terus menatap matanya. Aku merasa seperti diriku telah tersesat didalam matanya..
“Kau akan aman bersamaku, aku akan selalu bersamamu !! jangan takut." Ucap Mark dengan lembut.
Aku merasa ada getaran yang tiba-tiba.
‘Apakah ini sebuah janji ?!’ Pikirku.
Kami berdua seperti tersesat di dalam kedua mata kami. Air matanya jatuh di pipinya dan jatuh menetes di bibirku, aku merasakan tetesan air matanya padaku.
‘Ini hangat, aku tidak akan membiarkan dia menangis lagi.’ ucapku dalam hati.
"Terima kasih." Jawabku sambil melihat matanya.
Mark teralihkan dengan ucapanku, kemudian dia perlahan melepaskan kedua tangannya padaku dan aku terduduk dengan tegak.
Tiba-tiba saja aku merasakan sakit di lengan kananku, Mark tidak menyadari bahwa dia telah menggenggam tanganku cukup keras.
Setelah dia melepaskan tangannya padaku, aku mengusap lengan kananku dengan tangan kiriku.
Kami berdua duduk terdiam selama beberapa menit, tidak ada kata-kata yang terucap hanya keheningan dan tak ada pemikiran apapun di benakku, entah kenapa Ini membuatku lega.
“Langit semakin gelap.” Ucap sebuah suara.
Kami berdua menoleh ke belakang mencari sumber suara.
Itu Nany. Dia memanggil kami berdua dari pintu yang tidak jauh dari tempat kami berdua duduk. Nany meminta kita untuk datang makan malam.
Kemudian kami berdua bangkit berdiri. Aku mengikuti Mark dari belakang, tiba-tiba Nany menanyakan tentang makan siangku, dia merasa khawatir.
“Aku bangun terlambat... Aku membuat kopi susu tadi.” Jawabku.
Nany memintaku untuk datang makan malam.
Sementara itu, Mark naik ke lantai atas menuju ke kamar Ria.
“Aku akan berada di ruang makan dalam sepuluh menit, Nany.” Ucapku.
aku pergi menuju ke kamarku, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci mukaku. Setelah itu aku mengikat rambutku yang sedari tadi kubiarkan tergerai begitu saja. Aku masih bisa merasakan sedikit rasa sakit di lenganku, aku penasaran dan memeriksa lenganku, kulit di area lengaku berubah menjadi kemerahan dengan empat jari yang tercetak di lenganku.
Aku tersenyum pada diriku sendiri, ini terlihat cukup jelas. Aku segera mengambil bedak dan menutupi lenganku agar tidak terlihat.
Perasaanku cukup tenang saat ini, tidak tahu apa alasannya tapi aku merasakan kebahagiaan di dalam hatiku.
‘Apakah ini hanya karena sebuah ciuman di dahiku atau janjinya atau… cerita masa kelam yang aku bagikan padanya ?!’
Saya memeriksa jam, sudah jam 7 malam dan mulai merasa lapar.
Aku segera keluar dari dalam kamarku dan turun ke lantai bawah untuk makan malam. Mark sudah berada disana dan duduk di ruang makan, dia duduk di seberang tangga dan kini dia sedang menatapku.
Aku merasa canggung, tanpa sadar aku menundukkan wajahku sambil berjalan menuju kursi yang sama dengan kursi yang aku duduki saat sarapan tadi pagi.
Nany meletakkan semangkuk sup jamur di hadapanku, Mark sedang memakan makanannya. Setelah itu Nany kemudian menyajikan sepiring pasta. Aku mulai memakan suapan pasta pertamaku.
Tiba-tiba saja Mark memecah keheningan.
Mark : “Jika Kau tidak keberatan Bolehkah aku tahu nama sekolah asramamu sebelum kau pindah ke sekolah khusus perempuan ?!”
Aku sangat terkejut mendengar pertanyaannya.
Aku memberitahu Mark nama sekolah dan lokasinya, sambil tertunduk melihat piringku. Aku tidak bertanya untuk apa dia menanyakan nama sekolahku dan Mark tidak bertanya apa-apa lagi.
Setelah Mark menyelesaikan makanannya dia segera naik ke atas dan aku juga ingin pergi ke kamarku, aku merasa sedikit lelah. Nany datang ke kamarku untuk menemaniku dan membantuku jika aku membutuhkan sesuatu saat tengah malam.
Pagi datang dengan cepat, aku terbangun pukul tujuh pagi. Nany sudah tidak ada di kamarku. aku mengangkat kedua tanganku untuk meregangkan tubuh kemudian bangkit dari tempat tidurku dan pergi ke kamar mandi untuk mandi air hangat. Tak lama, Nany datang dan masuk ke kamar mandi untuk membantuku mandi agar aku tidak menyentuh lukaku.
Nany : “Anna kenapa ini ?!”
Nany melihat pinggangku ada memar kecil di bagian pinggang kiriku.
‘Ahhh... aku mendapatkannya memar ini kemarin ketika aku berjuang melawan ketakutanku pada jarum, saat itu Mark mencengkram pinggangku dan menekannya dengan keras.
Aku tersenyum pada diriku sendiri dan menyadari ekspresiku, aku segera bersikap normal.
Anna : “A… aku tidak tahu !!”
Aku menjawabnya Nany dengan santai sambil memeriksa pinggangku..
Nany : “kau tidak tahu ?!”
Nany menyentuh memar itu dan melihatku.
Anna : “Ouchhh…”
Nany : “Mungkin, ini adalah reaksi dari obat yang kau konsumsi.”
Aku tersenyum pada diriku sendiri.
Anna : "Yeah, Mungkin saja."
Setelah beberapa saat aku sudah selesai mandi memakai bedak dan lipgloss tipis. Kemudian pergi ke ruang makan untuk sarapan.
Aku tidak melihat Mark di sana. Bahkan hingga aku menyelesaikan sarapanku aku tidak bertemu dengan Mark. Aku pergi ke kamarku setelah sarapan dan duduk di pinggir tempat tidur sambil memikirkan dia.
Tiba-tiba pintu diketuk. Dr.Mona dan Nany sudah berdiri di depan kamarku
Anna : “Selamat pagi Dr. Mona.”
Dr. Mona : “Selamat pagi Anna bagaimana perasaanmu ?!”
Anna : “Aku sudah merasa jauh lebih baik.”
Dr. Mona tersenyum dan membersihkan lukaku dengan hidrogen peroksida, seperti biasa Nany berada disampingku untuk memelukku.
Aku sudah tahu sekarang, Dr. Mona akan memberikan aku suntikan antibiotik. Detak jantungku berdetak cepat, tanganku mulai basah dan nafasku memburu. Tapi aku sudah lebih siap kali ini.
Dr. Mona : “Ambillah.”
Dr. Mona menyodorkan tangannya, dan memberikan aku obat bukan sebuah jarum suntik. Aku bingung dan merasa penasaran, namun aku mengurungkan niatku untuk bertanya pada Dr. Mona.
Namun saat Dr. Mona hendak meninggalkan kamarku, Nany berdiri.
Nany : “Apa tidak ada suntikan ?!”
Dr. Mona berbalik dan tersenyum lembut.
Dr. Mona : “Ini hadiah kecil dariku untuk Anna, tidak ada suntikan untukmu, Anna. Tapi pastikan kau rutin meminum obat itu. Berjanjilah !”
Dengan senyum yang mengembang di wajahku.
Anna : “Benarkah ?! Terima kasih Dr.Mona !!”
Aku bangun dan memeluknya.
Dr. Mona : “Simpan ucapan terima kasihmu untukku. lebih baik berterima kasihlah pada Mark
Dialah yang meyakinkanku untuk menghentikan suntikannya dan sebagai gantinya memberimu obat minum.”
Anna : “Benarkah ?! Baiklah. Tapi kapan dia memintamu untuk tidak memberiku suntikan ?!”
Aku bertanya dengan santai.
‘aku hanya penasaran ingin tahu apa Mark menghubungi Dr. Mona kemarin malam atau pagi ini ?! setelah mengetahui masa laluku.’ pikirku dengan senang karena aku merasa Mark mulai peduli terhadapku.
Dr. Mona : “kemarin pagi.” Jawab Dr. Mona sambil tersenyum.
Anna : “Apa ?!”
Dr. Mona : “Ya Anna, setelah selesai dengan lukamu, aku pergi ke kamarnya untuk membersihkan lukanya. Di sana dia meyakinkanku untuk memberikanmu obat bukan suntikan.”
Aku cukup terkejut dan bingung mendengar ucapan Dr. Mona.
‘Mark meyakinkan Dr. Mona kemarin pagi ?! Tapi Mark baru saja tahu ceritaku yang sebenarnya di sore hari, Huh ?! Apapun itu, Aku senang karena tidak ada suntikan lagi.’
Nany : “Memang lebih baik seperti itu. Anna mengalami alergi terhadap suntikan.”
Aku menatap Nany dengan wajah bingungku. Nany memberikan isyarat tentang memar kemerahan pada pinggangku.
Detak jantungku meningkat…
Mona: “Alergi ?! Dimana ?! Alergi seperti apa ?!”
Tanya Dr. Mona dengan kaget.
Nany mencoba mengangkat t-shirt yang aku pakai untuk menunjukkan memarku kepada Dr. Mona namun aku menarik tshirt ku ke bawah dan menoleh ke Dr. Mona.
Anna : "Itu hanya ruam kecil !! Bukan masalah besar. Hahaha…”
Dr. Mona mendekatiku.
Dr. Mona : “Biar aku periksa.”
Dr. Mona mengangkat TShirt ku, aku terus mencoba menahannya, tapi dia berhasil mengangkat Tshirt ku. Dia menatap Memar dipinggangku.
Dr. Mona : “Itu bukan reaksi medis Anna.”
Dr. Mona melihat wajahku yang sudah merah seperti tomat. aku gugup sambil menggigit bibir bawah dan menunudukkan wajahku, tidak berani menatap wajah Dr. Mona.
Setelah Dr. Mona melihatku, dia segera menyadarinya dan tersenyum tipis dan menoleh ke Nany.
Dr. Mona : “Ini tidak ada berbahaya Nany. Itu akan sembuh dengan sendirinya.”
Aku membuang nafas legaku. Aku lega karena Dr. Mona tidak menanyakan penyebabnya.
Dr. Mona : "Apakah ada memar lain di tubuh ?!”
Aku menggelengkan kepalaku sebagai tanda ‘tidak’.
Nany : "Ya..."
Mona menatapku sambil menyeringai, Sementara aku menatap Nany.
‘Apa yang akan terjadi sekarang ?!’ Gumamku.
Nany segera meraih tangan kananku. aku mencoba menahan tanganku.
‘What !! Bagaimana dia tahu tentang ini... tadi saat mandi dia bahkan tidak bertanya apa-apa padaku !!’ Teriakku didalam hati.
Mona mendekat dan memeriksa lenganku.
Nany : "Menurutku ini ruam yang lebih kecil dari yang di pinggang."
Aku menatap Nany dengan wajah memelas.
‘Kenapa dia harus melihat ini dan mengapa dia harus memberitahukannya pada Dr. Mona. Dr. Mona pasti akan melihat bekas tanda sidik jari Mark disana. jika dia bertanya kepadaku siapa yang melakukannya, apa yang harus aku katakan ?!’ Pikirku sambil menggigit bibir bawahku dengan gugup.
Sementara Dr. Mona memeriksa lenganku, tanganku menjadi semakin basah. Dr. Mona tersenyum dengan cara yang aneh di wajahnya dan memegang tangan ku lalu memandang ku tepat di mataku.
Dr. Mona : “Tidak apa-apa Anna tidak perlu khawatir dan kau juga tidak perlu khawatir Nany ini juga akan sembuh dengan sendirinya. beritahu aku jika kau menemukan memar yang lain.”
Dr. Mona tertawa dan menyipitkan sebelah matanya padaku dan kemudian dia pergi.
Aku membuang nafas legaku.