Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 8 - PESTA GANJA

Theresa terpelanting saat Aaron mendorongnya yang ingin memaksa berciuman. Tidak seperti wanita itu yang tidak waras dan putus urat malunya, tentu saja Aaron tidak sudi mengikuti kehendak gila Theresa padanya.

Tersungkur pada tepi meja, Theresa bergegas menoleh pada pria yang berdiri di belangkangnya. Aaron sedang menatap dengan wajah marah dan kedua bahu yang naik turun.

Meski sudah dikasari olehnya, Theresa yang tidak tahu malu itu tetap melempar senyuman binalnya pada Aaron. Dia lantas bangkit dan berjalan mendekat pada pria itu.

"Kau menolakku? Apa kau yakin?" tanya Theresa setelah mencapai Aaron.

Dengan percaya diri penuh, wanita itu menatap penuh kagum. Pria muda, gagah, tampan dan Macho macam inilah yang seharusnya menjadi suaminya. Bukan pria tua dan sakit-sakitan seperti Nigel!

Theresa masih meliarkan mata laparnya ke wajah Aaron. Wajah yang dipahat sedemikian rupa tampan oleh Tuhan. Jantungnya selalu berdegup kencang saat pria itu membasahi bibirnya.

Bibir yang lebih pantas dimiliki wanita. Merah dan tebal. Sungguh sensasional! Entah seberapa nikmat rasa yang dapat dia teguk dari bibir itu. Sungguh maha sempurna Tuhan menciptakan Aaron. Theresa tak henti-henti akan rasa takjubnya.

Dipandangi seperti seonggok daging segar oleh Theresa, tentu saja membuat Aaron muak dan kesal. Ini bukan kali pertama ibu mertuanya memandang seperti itu.

Bahkan sejak pertama Emily mengajaknya ke mansion ayahnya. Theresa selalu melihatnya seperti remaja yang sedang mengagumi seorang idol. Meski tahu seperti itu, Aaron tidak pernah mengatakan hal ini pada Emily.

Theresa, ibu sambung Emily. Sikapnya akan menantu laki-laki di rumah suaminya sungguh tidak patut diceritakan pada siapa pun. Amat sangat memalukan!

Di malam pertama Emily dan Aaron dua bulan yang lalu, Theresa diam-diam memasang kamera pengintai yang dia taruh pada vas bunga di kamar Emily.

Sepanjang malam dia menonton adegan panas yang direkamnya. Permainan panas Aaron membuatnya semakin penasaran akan pria itu dan amat menginginkannya.

"Aku tidak menyukai wanita tua. Percuma kau menggodaku, aku sama sekali tidak nafsu padamu."

Sepasang manik cokelat hazel Theresa membulat penuh mendenagr penuturan Aaron. Bahkan pria itu mengatakannya dengan sinis. Theresa jadi tersinggung.

"Tua katamu?"

Aaron mengangguk cepat. "Baiknya kau lihat wajahmu di cermin, kau lebih tua dari ibuku," pungkasnya lantas tersenyum remeh.

Bagai disambar petir di siang hari. Ucapan Aaron sungguh menohok hatinya yang terdalam. Melihat pria itu hendak pergi, Theresa bergegas menghadang Aaron lalu mencekal lengan pria itu.

Aaron yang sudah muak menatap dengan geram. "Lepaskan aku! Dasar wanita tidak tahu malu!" ucapnya dan dengan kasar dia segera menarik paksa lengannya dari Theresa.

Lagi, wanita itu terpelanting sampai terjerembam. Aaron segera menolehkan kepala tidak peduli. Dia lantas berlalu pergi. Theresa menatap punggung pria itu dengan mata yang penuh dendam.

"Kau menolakku? Dasar pria sombong! Lihat saja nanti. Aku akan membuatmu tak berdaya, Aaron Dalbert!" raungnya frustasi.

Aaron berjalan cepat meninggalkan penthouse George. Sial! Tubuhnya terasa tidak baik-baik saja sejak tadi. Ini bukan efek dari minuman atau ganja, tapi obat horny.

Aaron yakin, pasti ada orang yang memcampur winenya dengan obat perangsang. Dari setadi dia berusaha mati-matian melawan gejolak gila yang sedang menguasai jiwanya.

Theresa, pasti ini perbuatan wanita itu!

Sambil mengemudikan mobilnya menuju pulang, Aaron berusaha keras mengimabangi gejolak yang sedang mendera jiwa. Dia harus segera tiba di rumah dan melampiaskan semuanya pada Emily.

*

Malam yang sudah menuju pagi. Emily tampak gelisah seorang diri di kamarnya. Kemana Aaron? Mengapa suaminya belum pulang juga? Matanya turun pada layar ponsel dalam genggaman. Bahkan nomor Aaron tidak aktif!

"Ya Tuhan ... apa yang terjadi pada Aaron?" gumam Emily penuh rasa cemas.

Hingga saat terdengar suara ketukan pintu, wanita itu langsung bangkit dari sofa. Berjalan setengah berlari menuju pintu. Dia sangat lega saat melihat suaminya di sana.

"Aku hampir mati memikirkanmu, tahu! Mengapa baru pulang? Bahkan kau tidak mengabariku, nomormu juga tidak aktif. Mengapa kau lakukan ini padaku?!" Emily marah-marah pada Aaron karena kuatir padanya.

Pria di ambang pintu hanya tersenyum tipis menanggapi. Emily nyaris tidak percaya. Aaron segera masuk dan langsung meraih pipi Emily. Wanita itu dibuat tercengang saat Aaron mencium bibirnya dengan rakus.

"Jangan marah-marah lagi, aku sudah kembali," bisik Aaron usai menyudahi ciumannya. Mata yang berkabut gairah itu menatap Emily dengan lembut.

Sorot mata Emily meredup. Kedua tangan Aaron masih merangkum pipinya. Dengan lirih ia menjawab, "Aku takut kehilanganmu."

Aaron tersenyum gemas. "Itu tidak akan terjadi," ucapnya dan langsung mendekatkan wajahnya lagi ke wajah Emily. Dia melumat bibir ranum wanitanya lebih liar dari sebelumnya.

Hasrat yang sudah memanas sejak di penthouse tadi, Aaron segera melepaskan semuanya pada Emily. Di atas ranjang yang luas dengan tubuh yang sudah polos, keduanya menyatu dan saling berbagi kenikmatan.

Desahan dan erangan tak henti Emily gaungkan. Suaminya amat perkasa malam ini. Dia sangat menyukainya. Emily menyerahkan segalanya pada Aaron.

Namun, setelah semuanya berakhir. Emily yang masih terjaga tiba-tiba teringat akan pria tampan yang tadi menolongnya di basement bar. Sean Caldwell, nama pria itu.

Dia baik dan lucu. Senyuman sipu terbit di bibirnya tanpa ia sadari. Sementara Aaron sudah pulas tidur. Dia tidak bercerita pada Emily pasal insident yang terjadi di penthouse George.

Rasa lelah membuai mereka dalam mimpi. Sepanjang malam Emily bergelung dalam dekapan Aaron.

Sementara itu di penthouse Geoge sedang terjadi masalah besar. Para polisi menyatroni tempat itu setelah mendapat laporan dari seseorang jika di penthouse mewah itu sedang berlangsung pesta narkoba.

Para polisi menyisir semua ruangan. Mereka berhasil menangkap empat pasangan mesum dan menemukan banyak ganja kering. George sempat kabur. Namun para polisi berhasil meringkusnya setelah melepaskan satu tembakan.

"Lepaskan aku!" George meronta-ronta saat para polisi menyeretnya menuju mobil.

Orang-orang berkerumun menyaksikan kejadian itu. Sambil menahan sakit di betis kirinya, George berusaha menutupi wajahnya dari inacaran kamera para reporter.

Sementara Theresa sudah pergi setelah diberi tahu oleh anak buahnya jika para polisi sedang menuju ke penthouse George. Alpa hitam menjemputnya di belakang penthouse, Theresa segera kembali ke mansion Nigel.

"Selamat pagi, Tuan Muda. Di luar ada petugas polisi yang ingin menemui Anda."

Semua orang di meja makan sangat terkjeut saat seorang pelayan mengatakan hal itu pada Aaron. Emily dan Nigel yang tidak paham segera menoleh ke arah pria itu.

Aaron tampak gugup. Namun dia tetap berusaha tenang di depan istri dan ayah mertuanya.

Lain dengan Theresa yang juga berada di antara mereka. Wanita itu hanya tersenyum tipis sambil menikmati sarapannya.

"Polisi? Mau apa mereka mencarimu?" Emily yang langsung panik segera bertanya pada suaminya.

Sedang Nigel masih menyimak dengan wajah penasaran. Dia pun ingin mendengar jawaban Aaron.

Aaron tersenyum tipis. "Mungkin ada masalah dengan pengiriman barang di pelabuhan. Aku akan menemui mereka," ucapnya lantas bangkit.

Emily hanya mengangguk, dan Aaron pun berlalu pergi. Mata Theresa diam-diam memperhatikan pria itu.

"Ada apa mencariku?"

Dua orang petugas polisi bergegas memutar tubuhnya setelah mendengar saura itu. Wajah tampan Aaron dipenuhi tanda tanya. Mereka segera maju pada pria dengan stelan jaas hitam di sana.

"Selamat pagi, Tuan Dalbert. Kami dapat laporan jika Anda terlibat pesta ganja di penthouse Tuan George tadi malam. Pesta itu melibtakan beberapa gadis di bawah umur, kau ditangkap."

Aaron sangat terkejut mendengar penuturan polisi padanya. Belum juga dia sempat berkata apa-apa, dua orang polisi segera memborgol pergelangan tangannya.

"Hentikan! Apa-apaan ini? Mengapa menangkap suamiku tanpa bukti yang jelas?!" Emily yang baru keluar segera berteriak melihat suaminya mau dibawa oleh para polisi.

Aaron menoleh pada istrinya. Emily tampak sangat panik. Sementara Nigel hanya menatapnya heran.

"Lepaskan suamiku! Beraninya kalian membawanya!' Emily marah-marah pada para petugas polisi. Kemudian dia langsung memeluk Aaron sambil menangis.

Aaron menghela napas panjang sambil memejamkan matanya. "Emily, tak apa. Aku akan selesaikan semuanya, jangan cemas. Oke?" ucapnya kemudian.

Mata Emily terangkat ke wajah Aaron. "Ini tidak benar 'kan? Kau tidak terlibat dengan pesta ganja itu 'kan?" tanyanya penuh harap.

Aaron memalingkan wajah sesaat sebelum membalas tatapan istrinya. "Emily, semalam aku memang berada di sana," ucapnya.

"Apa?"

Emily menatap dengan wajah tidak percaya. Dia segera melepaskan Aaron lalu mundur dari hadapan suaminya.

Aaron menolehkan kepala padanya, dan para polisi segera menggiring pria itu masuk mobil.

Dari dalam mobil Aaron melihat Emily yang tampak sangat kecewa padanya. Sementara dari teras balkon, Theresa sedang menonton sambil menikmati secangkir espresso panas. Bibirnya tersenyum puas melihat semua itu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel