BAB 8_AYO PERGI!
Yuni mengangkat kakinya di atas sofa, sembari menatap sinis pada Dahlia yang sedang membersihkan beberapa hiasan dinding dengan kemoceng. Gadis itu pun seolah tak peduli, majikannya sedang memperhatikan dirinya dengan cermat. Kedua mata Yuni menelisik ke jemari tangan Dahlia. Tidak ada cincin. Sejak gadis itu sampai, tak ada ucapan apapun dari mulutnya juga dari mulut Dahlia. Hanya salam saja ketika dia baru sampai pukul enam pagi tadi.
"Bel! Sudah jam delapan ini! Gak takut telat kamu, ha?!"
Yuni menegur anak gadisnya yang baru keluar kamar. Tampak Belinda masih menggunakan baju tidur.
"Santai, Ma. Aku hanya nemenin boss meeting nanti jam sepuluh," jawab Belinda dari dalam kamarnya.
Dahlia sama sekali tak menoleh apalagi menyapa nona rumah itu seperti biasa. Ingin rasanya gadis itu mengumpat dua wanita penghuni rumah itu. Hatinya makin dongkol. Bagaimana bisa, cangkir tamu kemarin siang masih di tempat semula? Sekedar membawa kembali ke dapur, mereka tidak punya kemampuan. Terlihat sekali, mereka menunggunya untuk melanjutkan pekerjaannya kemarin.
"Eeeh datang juga dia," seloroh Belinda.
Ia cukup terkejut dengan hadirnya Dahlia yang sedang sibuk membereskan bekas tamu kemarin.
"Kan Nyonya dan Nona yang datangi rumah saya dan mengadu pada kedua orang tua saya. Lalu saya bisa apa kalau udah gitu?"
Tanpa melihat lawan bicaranya, Dahlia terus melangkah ke belakang membawa cangkir. Saat dia kembali, Belinda sudah duduk di sofa menatapnya bengis.
"Permisi, Nyah," ujar Dahlia datar saat dia menggosok meja di depan Yuni duduk.
"Tau diri gak punya apa-apa, jangan sok makanya," ketus Belinda.
Dahlia hanya diam saja. Belinda adalah teman satu sekolah masa sekolah dasar. Usia mereka sama. Dua puluh delapan tahun. Mereka dulu berteman hingga masa SD usai. Akan tetapi, makin tumbuh dewasa, Belinda mulai membatasi diri bahkan tak sungkan menghinanya.
"Biasalah. Baru dirayu dengan cincin imitasi aja langsung luluh. Heran. Harga dirimu jadi perempuan kok rendah sekali, sih?!"
Yuni menambahkan sindirannya.
Gagang pel di tangan Dahlia semakin erat di genggamannya. Gadis itu menahan segala rasa sakit hati setiap ucapan yang keluar dari kedua majikannya itu. Orang tak akan tahu apa yang sebenarnya terjadi jika tidak mengalaminya langsung.
"Pel yang bersih," ujar Belinda sengaja menuang susu uht instan yang sedang diminumnya di lantai. Gadis berambut blonde itu menyeringai puas.
Dahlia tak punya pilihan kecuali terus melanjutkan pekerjaannya. Bahkan ketika kotak susu itu digeletakkan begitu saja, Dahlia sabar memungutnya. Kedua ibu dan anak itu tersenyum lepas.
"Berhenti!" perintah Belinda ketika Dahlia melanjutkan kegiatan pel-nya. Dahlia langsung bergeming.
"Beri tahu aku, kemarin kamu ke mana saja sama Aditya?"
Dahlia tetap diam.
"Kenapa diam?!! Wajar lah aku nanya. Kalian berangkat dari rumahku."
"Kami hanya pergi ke toko jam," jawab Dahlia.
Belinda mengernyitkan dahinya.
"Buat apa kalian ke sana?" tanya Yuni penasaran.
"Jual jam tangan laki-laki itu."
Sontak kedua ibu dan anak itu makin tertawa terbahak-bahak. Dahlia memalingkan wajah. Ia tak suka kedua wanita sombong di depannya itu. Tapi ia tak punya pilihan, ia menganggapnya sebagai bagian dari resiko.
"Ma, gila si ini. Bener kata Mama, cowok itu tak bermodal sampe jual jam tangan murahannya. Ya ampun, sakit perutku ketawa!" seru Belinda memegang perutnya dan mendongak ke atas. Ia masih ingat, jam tangan yang ada di atas meja kerja Aditya. Jam itu selalu terpajang di sana, menggantung di antara banyak memo. Pastilah jam itu yang dijual Aditya.
"Hahaha. Iya, Bel. Gak bisa dibayangkan kalau kamu nikah sama dia, lama-lama kolornya yang dijual!"
"Menghayal pula bilang dirinya pemimpin perusahaan. Hahahaha. Kalau dia pemimpin, aku owner foundernya, Ma!" lanjut Belinda terus memegangi perutnya karena tertawa terus-menerus.
Merasa harus mengabaikan kedua majikannya, Dahlia memilih hanya perlu diam. Ia pun tak ingin Belinda tahu, Aditya menjual jam tangan dengan harga yang sangat mahal. Empat puluh juta.
'Bisa jadi, ucapan laki-laki itu benar, Bel. Lalu kamu akan memasukkan dirimu dalam lubang paling dalam karena menyesal telah menolaknya' batin Dahlia.
"Ngomong-ngomong ya Bel, ternyata Dahlia ini gampangan sekali. Begitu mudahnya dia dibawa sama laki-laki. Kebayang kalau gitu, bisa saja kemarin itu dia juga habis jualan yang lain," ujar Yuni mencebik.
"Tolong jangan berkata begitu, Nyah. Tidak seperti yang kalian pikirkan," lirih Dahlia sendu. Ada kesedihan yang mengalir bersama suaranya. Begitu rendah sekali dia di mata dua wanita itu.
"Jangan ngeles deh, Sayang. Kami dah membuktikan diri kamu itu sangat murah. Padahal kamu wanita berhijab lo. Buktinya kamu mau aja dibawa laki-laki asing pas lihat mobil. Kaget ya, ada laki-laki tampan tiba-tiba dekati kamu. Satu hal yang harus kamu ingat, meskipun Aditya bukan selevelku tapi bukan berarti dia selevelan sama kamu!" sambung Belinda memberang.
Dahlia menggeleng. Sudut matanya basah.
"Tidak seperti itu. Saya kemarin hanya ...."
"Kami kemarin hanya menentukan hari pertunangan!"
Terdengar suara Aditya dari pintu rumah itu. Membelalak kedua mata Belinda dan ibunya.
"A-aaditya. Ng-ngapain kamu ke sini?!"
Belinda langsung bangun dari sofanya dengan suara terbata karena terkejut.
"Mau jemput calon istriku lah! Kamu pasti yang nyuruh dia kembali ke sini. Aku sudah suruh kamu buat pecat dia. Kenapa lagi dia masih di sini," omel Aditya masuk.
Belum sempat Belinda menimpali, Aditya sudah berada di depan Dahlia.
"Lepaskan alat pel itu! Dasar gadis bodoh. Apa kamu tuli? Kemarin, sudah kubilang, kamu sudah tak bekerja di sini lagi. Kenapa masih pekak! Cepat. Ambil barang-barangmu yang di sini. Jangan sampai ada yang tersisa, karena kamu tak akan kembali ke sini lagi."
Dahlia menegak salivanya perlahan, menahan rasa keterkejutannya. Seperti dihipnotis, gadis itu langsung berbalik dan berjalan ke belakang .
"Eeeeh apa kamu gak punya sopan santun? Datang ke rumah orang seperti ini. Tanpa salam, tanpa izin. Kamu gak berhak membawa gadis itu dari sini. Dia sedang bekerja dan aku sebagai majikannya, tak mengizinkannya!" seru Yuni berkacak pinggang .
"Kan kemarin Ibu sendiri yang pecat dia," timpal Adit tanpa rasa takut.
"Ya. Dia sendiri yang datang," kilah Yuni berbohong.
"Lain kali, usir aja dia kalau dia datang lagi ke sini," jawab Aditya sembari melirik ke arah lorong belakang.
Pemuda itu sedang menunggu Dahlia kembali dan detik terasa sangat lambat.
"Kamu jangan lebai kayak gini, dong Mas! Bukannya berusaha supaya bisa nikahin aku malah mau ngembat pembantuku. Kenapa selera kamu itu rendah sekali? Mikir pakai otak, jangan karena emosi sesaat. Nanti itu yang buat kamu nyesel seumur hidup!" oceh Belinda tepat di depan wajah Aditya.
"Kamu sendiri yang sarankan aku nikahin siapa saja. Sekarang kamu jangan campuri urusanku."
"Tapi bukan berarti sama pembantuku, Mas!" pekik Belinda kesal.
Aditya abai, sama sekali tak peduli. Dia justru melangkah melewati Belinda, berniat menuju lorong tempat Dahlia menghilang. Namun tiba-tiba gadis itu muncul dengan membawa plastik.
"Eeh apa itu?! Jangan sampai kamu bawa barang curian dari rumah ini!" teriak Yuni mendekati Dahlia.
Gadis itu meletakkan plastik hijau ukuran tanggung di depan Yuni. Dengan ekspresi datar, Dahlia lalu menuangkan isinya. Ada mukenah, perlengkapan mandi dan juga beberapa helai jilbab dan bajunya. Ia sudah empat tahun menjadi pembantu di rumah Yuni. Datang pukul enam pagi, pulang sore hari. Yuni hanya mendekus melihat barang-barang Dahlia yang nampak lusuh.
Dahlia berjongkok, kembali memasukkan barang-barang itu ke dalam plastik hijau.
"Tak perlu membayar gaji saya bulan ini. Kalian sudah membayarnya dengan ucapan-ucapan kalian yang tak berperasaan," ujar Dahlia dingin yang membuat Belinda dan ibunya melongo.
Dahlia bangkit dan melangkah, mendekati Aditya dan berdiri tepat di depan pemuda itu.
"Ayo Mas, kita pergi!" lanjut gadis berhijab coklat muda itu terdengar tegas dan yakin.