BAB 7_KEJUJURAN
"Assalamu'alaikum!" salam Dahlia lalu melepas sandalnya.
Tanpa menjawab salam, Marni keluar menyambut anaknya. Mulutnya sudah siap membuka dan akan mencecar anaknya namun seketika langsung tertutup ketika ia melihat sebuah mobil yang terlihat begitu mewah dan gagah masih terparkir lalu perlahan bergerak menjauh. Marni segera berbalik masuk, meletakkan bayi di gendongannya ke lantai beralaskan kasur bayi.
"Siapa itu?" tanya Marni.
"Hanya teman baru, Bu," jawab Dahlia grogi.
"Kamu yang jujur. Tadi Belinda dan ibunya datang. Kata mereka, kamu kabur dari rumah itu, meninggalkan pekerjaan demi ikut laki-laki. Apa itu sikap perempuan baik?" lanjut Marni mencecar anaknya.
Dahlia menegak salivanya kasar. Hatinya bertalu-talu. Bagaimana ia bisa menceritakan tentang semua kejadian yang sangat cepat itu? Ia pun masih seperti tak percaya.
"Anu, Bu ... aku ...."
"Katakan, apa yang kamu lakukan dengan dia sampai harus meninggalkan pekerjaanmu? Ibu yakin, kamu masih punya akal sehat, Nak. Ibu percaya kamu bisa menjaga diri."
Dahlia menggeleng. Ia segera meraih tangan kanan ibunya. Meski merasa masih dalam alam mimpi, ia akan mencoba menguntai kalimat untuk menyampaikan semua kejadian itu.
"Percaya sama aku, Bu. Aku tak pernah bertemu dengan dia, sekali pun. Sungguh kejadian ini sangat mengejutkanku. Hari ini, dia datang melamar Belinda tapi Bu Yuni tak menyetujui hubungan mereka. Lalu ... dia... anu ... dia ...."
"Ngomong yang jelas, Nak. Ibu yakin kamu tetap menjaga kepercayaan Ibu."
Dahlia mengangguk. Matanya melebar dan bibirnya gemetar. Marni bisa merasakan dingin telapak tangan anaknya. Ia mencoba menggenggam tangan lentik itu.
"Dia melamarku, Bu."
Ucapan Dahlia membuat Marni tercenung beberapa saat. Setiap selesai sholat, ia selalu berdoa agar anaknya mendapatkan jodoh yang terbaik. Dahlia hanya lulusan SMA dan sejak kecil, ikut merasakan getirnya hidup karena ddia terlahir dari ibu yang miskin seperti dirinya. Hanya satu pintanya pada Allah tempatnya memohon. Jangan sampai Dahlia mendapatkan jodoh seperti ayahnya, laki-laki yang kasar dan suka bermain judi. Setidaknya laki-laki yang bertanggung jawab, sehingga anak gadisnya tidak perlu menjadi pembantu di rumah orang.
"Bu. Maafkan aku. Harusnya aku memiliki kekuatan untuk menolak dan kembali bekerja. Tapi tadi, aku seperti terpasung. Mulutku dibungkam oleh tatapannya yang tajam. Aku sudah berusaha menolaknya hanya dari ucapanku, tapi dia justru mengancamku. Aku takut, bingung, kaget, semua bercampur jadi satu. Maafkan aku, Bu," lanjut Dahlia mencium tangan ibunya.
Ada bulir bening menetes di ujung kelopak mata Marni. Tak pernah terlintas, jodoh anaknya adalah laki-laki yang setidaknya pastilah selevel dengan Belinda. Jika tak begitu, tak mungkin gadis angkuh itu mau berpacaran dengan laki-laki itu. Sepintas tadi ia melihat wajah laki-laki muda yang berada di dalam mobil. Sangat tampan dan begitu menawan hati siapapun yang melihat. Jauh dalam hatinya, ia berharap, jika memang itu adalah jawaban doanya. Ia akan sangat bersyukur. Jodoh, akan selalu menemukan jalannya.
"Apakah menurutmu, dia serius, Nak?"
Dahlia menatap kedua bola mata ibunya. Perlahan ia mengendikkan bahu.
"Entahlah, Bu. Aku masih merasa, ini hanya permainan."
Marni sedikit menarik napasnya kuat. Ia tak ingin banyak berharap. Memiliki menantu berwajah tampan, bermobil mewah, dengan senyum merekah begitu mempesona. Bahkan ia langsung menepis pikirannya, membayangkan bisa sekedar menyentuh kilaunya kendaraan itu. Terlalu lama hidup miskin dan menderita membuatnya terlalu berani berkhayal.
"Tapi, Bu. Dia memberikan ini padaku. Katanya sebagai bukti ikatan kami," ujar Dahlia setengah berbisik.
Perlahan, gadis itu mengeluarkan cincin berlian dari dalam genggaman tangan kirinya. Sebelum turun dari mobil, Aditya memaksanya untuk memakai benda itu. Marni terkejut luar biasa bercampur rasa kagum yang tak terkira. Melihat dan menyentuh secara langsung, cincin yang begitu bersinar menyilaukan mata. Belum habis rasa kagetnya, Dahlia mengeluarkan bandrolan uang tepat di depannya. Membeliak mata Marni melihat lembaran-lembaran merah yang bertumpuk.
"Iii-iini apa, Nak?"
Suara Marni gemetar bersama dengan tangannya yang menyentuh cincin dan uang itu.
"Katanya ini cincin berlian, Bu. Dan ini ... ini uang untuk membayar sekali anggukanku saja," jawab Dahlia masih dengan jantungnya yang berdentam kencang.
"MasyaAllah. Allahuakbar."
Hanya dua kata itu yang bisa keluar dari mulut Marni. Seketika bulir bening mengucur deras dari dua matanya yang mulai rabun karena usia. Dahlia tertegun melihat ekspresi ibunya. Sebegitu bahagia wanita yang sudah melahirkannya itu melihat uang dan perhiasan.
Ia memaklumi, kehidupan mereka yang miskin membuat mereka hanya melihat uang beberapa lembar lalu dengan cepat menguap untuk membayar hutang warung, bulan yang telah berlalu. Lalu bulan ini, mereka kembali berhutang lagi dengan harapan, bulan depan bisa dibayar dari gaji Dahlia sebagai pembantu. Ibunya juga bekerja sebagai tukang cuci, itu sebelum Nadia bayi datang ke kehidupan mereka.
"Ini cantik banget, Nak. Ibu gak rela berkedip lihatnya," desis Marni memutar-mutar cincin itu. Dahlia tersenyum melihat tingkah ibunya yang mencoba memasukkannya di jarinya tapi tak muat.
"Uang ini banyak sekali, Dahlia. Gimana ini?" tanya Marni sekarang malah kebingungan melihat uang yang bertumpuk.
Belum sempat Dahlia menjawab, terdengar pagar bambu sedang dibuka. Tarno, ayah Dahlia sedang memasuki halaman rumah berdinding kayu itu.
"Bu! Cepat sembunyikan uang ini. Jangan sampai ditahu sama Bapak, Bu!" seru Dahlia panik.
Marni mengangguk keras. Ia segera menarik beberapa lembar dari satu gepok uang di tangannya lalu diselipkannya di bawah karpet meja kayu di depannya. Segera ia menuju tempat rahasianya menyimpan uang, tepat di bawah ember penyimpanan berasnya. Seolah telah mengambil air minum, wanita itu segera keluar membawa gelas berisi air.
"Minum dulu, Pak," sapa Marni agak gemetar.
Tarno sedang menatap tajam Dahlia.
"Kamu mulai bertingkah jadi perempuan. Tadi Bapak ketemu Bu Yuni dan anaknya di jalan. Besok kamu harus balik kerja! Kalau gak, Bapak pasung kamu sekalian!"
Dahlia hanya mengangguk pelan. Ia sedikit lega, sepertinya majikannya tak sempat menyampaikan kronologi kejadian pada bapaknya. Laki-laki yang masih membawa bau alkohol di mulutnya itu masuk, mengabaikan istri dan anaknya.
Esoknya, tak mau mendapatkan masalah karena ancaman bapaknya yang tempramental, Dahlia kembali melangkah menuju rumah Belinda. Selang berapa lama, Marni yang sedang fokus membersihkan beras di halaman rumah kayu itu, terkejut dengan suara salam seseorang yang asing di telinganya.
"Wa-waalaikumussalam. I-iiiya?" jawab Marni bergegas mendekati pagar bambu lalu perlahan membuka pintu halaman yang terbuat dari kayu.
"Mohon maaf, Bu. Saya Aditya, temannya Dahlia. Apa Dahlia ada di rumah?"
"Di-diiia ...."
Marni gelagapan. Belum habis kagetnya karena sosok tampan dan harum itu di depannya tiba-tiba hadir, ia makin kebingungan bagaimana menyampaikan pada pemuda di depannya itu bahwa Dahlia kembali menjadi pembantu di rumah Belinda. Nampak Aditya sedikit mengangkat alisnya namun senyum di wajahnya tak lekang.
"Dahlia ... Dahlia lagi kerja di rumah majikannya, Nak," jawab Marni dengan suara berat.
Jelas terlihat dari wajahnya, Aditya terkejut. Namun ia terus mengukir senyum.
"Baik, Bu. Saya susul Dahlia ke sana sekarang," tanggap Aditya menyembunyikan rasa kesalnya.
'Perempuan bodoh itu! Awas saja!'