Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 6_TAK TERIMA

"Huwaaaaa!!!"

Belinda menangis histeris, menghentak-hentakkan kakinya. Gadis itu masih terus menantap gerbang besi yang dilewati mobil mewah yang dinaiki Aditya dan Dahlia.

"Kamu kenapa sih, Bel!? Sudah miring urat syarafmu?!" bentak Yuni sembari mendorong bahu anak gadisnya.

"Mas Adit, Ma! Mama gak lihat, mobil yang jemput dia tadi itu kek gimana? Itu mobil mewah, Ma!" pekik Belinda.

Seolah tak peduli dengan ucapan anaknya, Yuni duduk santai, menyalakan tv tanpa menoleh pada Belinda sedikitpun.

"Paling grab itu yang jemput. Kamu jangan mau ditipu sama dia. Mama dari awal sudah gak srek sama laki-laki itu," timpalnya.

"Itu Rolls Royce seharga puluhan milyar, Ma! Gak mungkin dipake buat ngegrab!" sentak Belinda kesal dengan ibunya.

"Paling mobil pinjaman atau kamu salah lihat. Banyak yang kw sekarang, siapa yang tahu, itu juga bisa jadi mobil kw."

Belinda merobek-robek tisu makan yang di atas meja untuk melampiaskan kekesalannya.

"Tapi mataku masih bisa bedain mana kw dan ori! Huhuhu ...! Kalau ternyata rupanya Mas Aditya adalah orang kaya, gimana? Mobil itu punya dia? Terus cincin tadi itu beneran berlian asli? Mampus lah aku, Ma!!!" teriak Belinda histeris tak puas sudah merobek tisu, sekarang dia memukul-mukul pahanya sendiri.

"Gak mungkin. Kamu jangan kebanyak nonton sinetron atau baca novel. Gak ada. Itu hanya hayalan para penulis skenario. Hidung Mama ini bisa mencium aroma orang kaya, yang pasti gak kayak calon suamimu tadi itu," cerocos Yuni tetap melotot menonton.

Belinda perlahan mengusap air matanya. Ia mulai sadar, sepertinya yang dikatakan ibunya itu benar. Tidak mungkin cincin yang dipakai Dahlia itu asli dan juga mobil yang tadi itu pastilan mobil sewaan atau pinjaman. Lagi pula, ia masih mengingat motor jadul yang dikendarai kedua orang tua Aditya tadi. Belinda tiba-tiba tercenung, seperti berpikir.

"Tapi kok ada yang aneh ya, Ma?" tanya Belinda menggumam.

"Emmm," tanggap Yuni cuek hanya mendehem.

"Itu tadi beneran orang tuanya Mas Aditya bukan, ya? Soalnya keknya jauh banget perbedaan mereka, Ma," gumam Belinda serius.

"Orang tua dan anak tak mesti miriplah. Buktinya Mama sama kamu. Dari mana-mana, Mama yang tua ini masih jauh lebih cantik, fresh dan punya otak yang encer daripada kamu. Hampir saja ketipu, menikah sama cowok kere. Duit 50 juta, emas 20 gram dikira banyak. Heran," gerutu Yuni kembali menel kepala anaknya, kali ini menggunakan remot tv.

Belinda pasrah saja menerima perlakuan ibunya.

"Tapi bapaknya Mas Adit tadi hapenya keren banget. Itu harganya puluhan juta, Ma! Mama sih gak tahu dunia gadget, gak usah komentar!"

"Cek dulu ginjalnya, jangan-jangan sudah dijual. Kamu itu ya, jangan mudah dibodohin. Bisa jadi casingnya buah apel tapi dalamnya buah mengkudu. Dah ah, kamu jangan cerewet! Mama mau nonton."

"Tapi Ma .... "

"Jangan banyak tapi. Beresin cangkir-cangkir itu. Sekarang sudah gak ada Dahlia yang di dapur. Kamu belajar dong jadi perempuan pada umumnya, bisa masak dan beberes. Gadis kok macam nenek-nenek, gak bisa ngapa-ngapain. Hp terus depan matanya!" omel Yuni tanpa jeda seperti kereta api.

Belinda menyentak. Ia tak suka dengan pekerjaan rumah tangga.

"Aku gak mau. Gadis kampung itu harus kembali. Tak peduli, tak ada alasan. Dia harus kembali kerja di sini!"

"Dia kan sudah kita pecat. Jangan malu-maluin. Besok Mama cari yang lain."

Belinda tak menggubris ucapan ibunya. Ia mencoba menekan tombol angka, namun tak ada respon.

"Apa dia gak bawa hp jadulnya itu ya?"

"Eeehh. Kamu lagi hubungi siapa?" tanya Yuni mengangkat alisnya seperti terkejut.

"Gadis kampung itu harus kembali kerja di sini, Ma. Enak saja dia dekat sama Aditya. Meskipun Aditya gak selevel sama aku, tapi bukan berarti dia selevel sama cowok yang pernah jadi mantanku. Itu menginjak harga diriku."

Yuni menatap anak gadisnya itu dengan ekspresi marah.

"Mama jangan larang aku! Dia harus sadar posisinya di mana. Aku akan ke rumahnya dan memintanya kembali merapikan cangkir ini."

Tak menunggu respon ibunya, Belinda segera meraih kunci mobilnya. Yuni gelagapan melihat tingkah anak kesayangannya itu. Meski sembari mencucu karena menahan rasa kesal, Yuni gegas mengikuti Belinda yang sedang menghidupkan mesin mobil.

Baru melewati seratus meter lebih, Belinda dan ibunya harus berjalan kaki untuk melewati gang kecil yang sempit dan becek karena mereka tidak melewati jalan utama yang lebih jauh lagi.

"Mending langsung jalan kaki aja tadi, Bel!" omel Yuni kesal.

"Namanya lagi emosi, Ma. Gak bisa mikir aku," timpal Belinda manyun.

"Memang otakmu gak seencer Mama."

Mulut Belinda makin manyun karena ibunya itu selalu saja memojokkannya.

"Maaf Nyonya, Dahlia belum pulang. Bukannya dia lagi kerja di rumah Nyonya?" tanya Marni, ibu Dahlia dengan wajah was-was.

"Anakmu itu sudah kami pecat. Dia berani ninggalin kerjaan buat cowok yang sudah merayunya. Apalagi cowok itu pacarku!" pekik Belinda berang.

"Mantan," imbuh Yuni seolah mengoreksi ucapan anaknya.

Belinda mencebik dan abai. Gadis itu melotot sembari melipat tangannya di dada.

"Tapi karena kami kasihan sama kamu dan anakmu yang cacat itu, jadi suruh dia kembali kerja lagi dan jangan kegatalan! Kesempatan hanya sekali. Awas saja kalau dia tak kembali bekerja, aku akan sebar luaskan berita bahwa anak gadismu itu wanita gatal," lanjut Yuni mencoba menekan ibu Dahlia.

Wanita yang sedang menggendong bayi itu hanya mengangguk dengan menahan tangisnya. Seolah mulutnya terkunci bahkan bertanya kronologisnya pun ia tak punya nyali. Hatinya mengatakan anak gadisnya tak mungkin melakukan hal yang melanggar norma. Tapi melihat amarah kedua majikan Dahlia di depannya membuatnya menjadi sangsi.

"Baa-bbaaaik, Nyah."

"Ayo, Bel. Kita pulang! Pegang perutmu, jangan sampai nanti pas kamu hamil, anakmu cacat kayak gitu," seloroh Yuni menoleh kecut pada bayi perempuan yang sedang di dalam gendongan Marni.

Nampak bayi itu memang memiliki ukuran kepala yang sangat besar dibandingkan ukuran kepala bayi normal. Bayi yang bernama Nadia itu, adalah sepupu Dahlia, anak dari adik ibunya yang sudah meninggal. Marni sebagai budenya, tak tega membiarkan bayi malang itu diurus ayahnya yang gemar main perempuan.

"Dahlia, apa yang sudah kamu lakukan, Nak?" lirihnya mengusap ujung kelopak matanya sembari melihat kedua wanita beda usia yang sedang melangkah menjauh. Mereka berlenggak-lenggok, meninggalkan aroma parfum yang sangat menyengat. Juga kalimat yang sangat menyakitkan bagi penghuni rumah yang mereka kunjungi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel