BAB 5_MINTA NIKAH
"Dahlia!" teriakku dari dalam mobil. Untuk pertama kali aku memanggil namanya. Gadis itu menoleh.
"Lusa sore, aku akan ke sini lagi!"
Gadis berhijab itu mengangguk samar lalu kembali membelakangiku. Huh. Padahal baru saja aku memberikannya uang lima belas juta hanya untuk sekali anggukan saja. Sekarang, mengangguk dengan jelas saja, dia enggan.
"Kita langsung pulang ke rumah ya, Pak!" perintahku.
"Baik, Tuan Muda," jawab Suparman santai.
Setelah cukup lama menit terbuang, tiba-tiba saja hatiku terusik.
"Menurutmu, gadis yang tadi gimana?"
"Manis, Tuan. Hanya belum dipoles dan dirawat saja."
Aku tersenyum.
"Tapi gadis-gadis yang sudah pernah dijodohkan denganmu, jauh lebih cantik dan terawat. Hmm...mereka terlihat lebih elegan dan pastinya memiliki pendidikan yang terbaik. Apalagi kalau Tuan Besar tahu, sepertinya dia tidak akan setuju. Bibit, bobot dan bebet itu adalah hal yang paling utama. Bukan maksudku untuk menginterfensimu. Namun perkara pernikahan bukan hal yang mudah."
"Hanya kau dan Parjo juga istrinya yang tahu masalah ini. Aku mohon, rahasiakanlah. Gadis itu akan kunikahi bukan semata-mata untuk segera mendapatkan kepercayaan perusahaan, tapi untuk membalas rasa sakit hatiku atas semua hinaan keluarga calon istriku yang sebenarnya."
Suparman melirik kaca mobil yang ada di atas. Aku bisa melihat senyumnya yang kurasa justru mengejekku. Kenapa semua orang selalu menatapku aneh, seolah terus mengejekku. Bahkan sopir pribadiku sendiri melakukan itu. Aku hanya terus mengembuskan napasku kasar.
"Kau diberikan kepercayaan untuk memilih jodohmu sendiri bukan berarti mengambil sembarangan calon istri. Pikirkan lagi, Tuan. Jangan sampai menjadi boomerang buatmu ke depannya."
"Nasi sudah jadi bubur, Pak Man. Biarlah. Yang terjadi besok, biar saja terjadi. Sakit hatiku pada Belinda dan keluarganya harus kubayar tunai!"
Sopir pribadiku itu hanya menggeleng sembari tersenyum-senyum. Aku tak peduli.
"Aku yakin, Dahlia bisa menjadi pengantinku karena dia kandidat yang paling menguntungkanku saat ini. Menikahinya adalah senjata telak yang akan meluluhlantakkan kesombongan majikannya. Kau bisa bayangkan bagaimana ekpresi mereka ketika aku resmi menjadi direksi perusahaan Central Glory lalu menikahi pembantunya?" kekehku sendirian. Membayangkannya saja dadaku membuncah gembira.
Tak ada tanggapan apapun dari Suparman. Aku sudah menganggapnya bagian dari keluargaku jadi, dia bebas memberikan pendapatnya padaku. Laki-laki yang cukup jauh usianya denganku itu sudah lama mengabdi di keluargaku. Usianya sekitar 45 tahun sedangkan aku baru 30 tahun. Di usiaku ini, ayahku terus memaksaku untuk menikah.
***
"Tuan Muda, makan malam sudah siap," ujar Romlah menyapaku saat aku duduk santai di balkon kamarku.
"Malas ah, Mbok," ujarku tak bersemangat.
"Apa karena masalah tadi siang itu ya? Saya setuju Tuan tak jadi menikahi gadis bernama Belinda itu. Tapi bukan berarti Tuan Muda menikahi gadis yang hanya se ...."
Aku langsung mengangkat tanganku sebagai isyarat agar dia tak perlu melanjutkan ucapannya.
"Aku harus segera menikah Mbok plus harus kulumatkan harga diri Belinda dan ibunya karena pembantunya bisa jauh lebih beruntung mendapatkanku. Sampai sini paham?"
"Tapi Tuan ...."
"No tapi-tapi, oke. Ingat Mbok, jaga rahasia ini. Jangan sampai ada yang tahu rencana ini. Peringatkan Pak E."
Aku memanggil Parjo, suami Romlah dengan sebutan Pak E. Wanita paruh baya yang selalu menyanggul rambutnya itu hanya mengangguk. Aku tak peduli apapun tanggapannya. Aku hanya perlu terus melanjutkan rencanaku.
"Mbok buatkan saja aku susu hangat. Sekarang waktunya aku menghubungi Papa."
Wanita itu mengangguk lalu keluar. Aku melirik jam dinding kamarku. Pukul 17.00 waktuku sekarang yang jauh lebih cepat tiga jam dibandingkan di tempat ayahku. Aku akan mengganggu waktu sorenya dengan segera menekan nomornya.
"Hallo, Pa!" seruku sumringah.
Aku bagaikan anak kecil jika bersama ayahku. Semenjak ibuku meninggal saat aku berusia 10 tahun, aku semakin dekat dengannya. Lebih-lebih ketika dia menikah lagi, aku merasa waktu teramat mahal antara kami berdua.
"Ada apa, Boy?" terdengar suara ayahku serak.
"Papa kenapa?" tanyaku khawatir.
"Gak apa-apa. Kamu punya berita gembira apa? Papa pantau, kerjaanmu di kantor bagus. Teruskan."
Aku tersenyum lebar.
"Pa, aku sudah menemukan wanita yang tepat untuk kunikahi. Aku jamin dia wanita yang terbaik. Dia memiliki sorot mata seteduh Mama," ujarku mencoba merayu.
"Sungguh? Papa jadi penasaran. Dia alumni fakultas mana, kerja di mana dan siapa keluarganya? Apa dia berasal dari keluarga pembisnis juga?"
Aku menelan salivaku karena kebingungan. Aku pun tak tahu siapa Dahlia apalagi keluarganya. Hanya yang kutahu, gadis itu pembantu di rumah Belinda. Tak mungkin aku mengatakan kebenarannya.
"Nanti kita bahas yang itu, Pa. Biar jadi kejutan. Hmmm ... apa boleh perjajian kita dipercepat? Aku sudah tak sabaran, Pa," rayuku.
Terdengar laki-laki itu tertawa namun jawaban dari suaranya yang berat membuatku menciut.
"Sebelum kamu resmi menentukan calonmu dan memastikan pada Papa kalau kamu akan menikah, kamu belum boleh mengambil alih perusahaan. Biarkan saja posisi direksi di perusahaan itu kosong," selorohnya.
"Ayolah, Pa ... Please."
"Buktikan pada Papa dengan mengadakan pesta pertunangan. Papa akan segera pulang jika kamu dan calonmu itu sudah siap."
Aku cemberut. Itu artinya besok aku belum bisa langsung membuat Belinda terkejang-kejang di kantor. Aaah ... aku kesal!
"Papa, Pleaseee ...."
Aku belum menyerah.
"Hallo, Aditya. Dubai sangat panas. Papamu belum terlalu terbiasa dengan cuacanya. Kamu jangan merengek kayak anak kecil. Sudah dulu, Papamu mau rehat dulu."
Aku mengangguk seolah mereka ada di depanku.
"Baik, Ma," jawabku datar.
Panggilan terputus.
Kupandangi awan sore yang berarak lambat. Aku merasa udara sore ini lebih dingin seperti ingin menembus sampai ke tulang-tulangku. Wanita itu selalu begitu, seperti ingin menjauhkanku dengan ayahku. Meski tak terlihat jelas tapi aku merasakannya. Sedikit kuremas tanganku. Aku tak boleh membuang waktu lagi. Jangan sampai perusahaan utama ayahku jatuh di tangan wanita itu dan anak laki-lakinya yang semakin tumbuh dewasa.
Ibu tiri, aku memang terlihat tunduk di depanmu tapi aku tidak bodoh. Jangan harap, anak laki-lakimu yang payah itu bisa menggantikan posisiku baik di hati ayahku atau dalam bisniss yang didirikan ayah dan ibu kandungku.