BAB 4_MENAGIH JANJI
"Lepasin, ih!"
Dahlia menyentak tanganku kasar. Aku juga baru sadar masih mencekal pergelangan tangannya. Segera kulepaskan begitu saja. Aku pura-pura tak bereaksi, seolah tak merasa bersalah.
Dahlia terus melihat ke belakang meskipun mobil kami sudah bergerak meninggalkan rumah itu. Terlihat ada keragu-raguan pada sorot mata gadis itu. Tapi biarkan saja. Aku baru saja mengangkat statusnya. Meski tak selamanya, tapi setidaknya untuk beberapa waktu.
"Mana sepuluh jutanya!?"
Tiba-tiba suara Dahlia membuyarkan pikiranku yang sedang memutar otak membuat rencana. Gadis itu sekarang menengadahkan tangannya, tepat di depanku.
"Cincin yang di tanganmu itu nilainya ratusan juta. Sekarang kamu mau minta sepuluh juta. Apa kamu sedang memerasku?!"
Aku menarik nafas. Gadis berhijab ini benar-benar. Apa jangan-jangan dia lebih matre dari Belinda?
"Ini cincinmu!" serunya melepas cincin berlian dari jarinya. Ia meraih tanganku lalu meletakkan benda berkilau itu begitu saja.
"Eeeeh!" Aku melongo, tak percaya.
"Mana janjimu? Aku dari tadi rela sampai dipecat demi uang 10 juta itu. Cepat berikan sekarang!" ujarnya dengan nada tinggi.
Aku menggeleng. Jangan sampai gadis ini menghancurkan rencanaku. Aku harus segera menikah untuk mengambil alih perusahaan Central Glory tbk. Itu adalah perusahaan ayahku yang paling besar. Aku bahkan rela menjadi karyawan untuk mengenali semua seluk beluk perusahaanku sendiri sampai ke seluruh sisi secara langsung.
"Atmku sedang dibekukan sampai jelas aku mendapatkan pasangan. Aku tak bisa memberikanmu uang cash. Tapi aku bisa menggunakan kartu kredit tanpa batas," kekehku.
"Mulai banyak alasan! Gak mau. Aku mau yang sepuluh juta. Uang itu harus ada sekarang. Atau aku akan jujur sama keluarga Belinda kalau kamu memang nipu. Tukang tipu!"
Ingin rasanya kumenyumpal mulut gadis ini dengan kanebo kering. Enak saja mengatakan aku ini tukang tipu. Dia sangat menyebalkan.
"Eeeh dengar ya, Mbak! Kamu harusnya puasa Daud tiga bulan berturut-turut karena akan menikah dengan pewaris Central Glory. Rasa syukurmu itu harus kamu panjatkan beribu-ribu kali. Kamu tak tahu kan bagaimana megahnya perusahaan milik ayahku itu dan sebentar lagi akan menjadi milikku?"
"Bodo amat. Kamu bisa nikah sama siapapun termasuk dedemit kunti sekali pun. Aku tak peduli. Pokoknya aku mau sepuluh jutaku!" serunya lalu membuang wajah masamnya.
Aku menggaruk kepalaku kesal. Darimana aku bisa mendapatkan uang cash sepuluh juta?
"Aku akan memberikannya setelah acara lamaran. Soalnya, atmku akan dibuka blokirannya kalau sudah positif memiliki tunangan," ujarku mencoba menjelaskan dengan serius.
Dahlia mendecak seolah sedang mencemoohku. Apa dia masih mengira aku sedang benar-benar menipunya?!
'Gadis bodoh!' umpatku dalam hati.
"Atau gini saja. Kamu bisa minta barang yang senilai. Gimana? Aku bisa beliin kamu apapun tapi tidak dengan uang cash. Tolong buka sedikit otakmu itu untuk paham maksudku!"
Emosiku mulai tak terkendali. Sekarang aku tahu, lembut dan manis wajahnya tak melambangkan perangainya. Keras kepala.
"Tetap tak mau. Aku mau uang cash!"
Aku mengulum bibirku, berpikir. Hidupku langsung runyam seperti benang yang sulit diurai. Wanita memang selalu membawa kesulitan untukku. Pandanganku tertuju pada kotak jam tangan yang beberapa hari yang lalu dikirimkan ayahku dari luar negeri. Aku sudah mengambil keputusan.
"Baiklah. Ini adalah cara terbaiknya," gumamku sendirian.
"Pak Man! Kita ke toko jam tangan yang di persimpangan kota ya."
"Baik, Tuan," jawab Suparman.
Tak butuh waktu lama, jam elit itu bisa menjadi uang puluhan juta. Jangan kira aku senang dan untung. Aku sangat rugi. Jam itu keluaran terbaru dan limited editon plus aku belum memakainya sama sekali. Aku menjual jauh di harga aslinya. Gara-gara gadis berhijab yang keras kepala ini, aku sangat kesal padanya.
"Ini, uang lima belas juta. Lima juta untuk menyumpal mulutmu itu!"
Ia meraih gepokan uang itu dengan sumringah. Ternyata perempuan di seluruh jagad raya ini sama. Matre, mata duitan.
"Sekarang urusan kita selesai," ujarnya santai.
"Eeeh enak aja. Gak bisa! Kamu sudah terikat janji denganku."
"Janji apaan?!"
"Janji buat jadi pengantinku!"
Tiba-tiba gadis itu tertawa seolah sedang mengejekku. Tangan lentiknya menutupi wajahnya yang berbinar karena gembira.
"Jangan tertawa! Aku lagi nggak lagi main-main. Pokoknya aku nggak mau tahu ya, kamu harus jadi istriku. Kita sudah terlanjur basah. Mau berapa lama, mau kayak gimana nantinya, aku gak peduli. Selain untuk membalas penghinaan keluarga Belinda, aku harus segera mendapatkan perusahaan ayahku!" seruku padanya dengan ekspresi serius.
Sejenak hanya suara lalu lalang kendaraan yang terdengar di antara kami.
"Terus?!" tanyanya singkat.
"Aku akan membayarmu untuk itu."
Kami saling bertatapan mencari keseriusan satu sama lain. Entah apa dalam pikiran gadis itu, tiba-tiba saja dia mengembus napasnya kasar.
"Baiklah. Besok kita bicarakan lagi, " tanggapnya datar.
"Apa itu artinya kamu benar-benar setuju?" tanyaku ingin memperjelas.
"Tergantung nilai harga," ucapnya begitu terdengar meyakinkan.
"Ck! Jangan remehkan calon pemimpin tertinggi di Central Glory," desisku bergaya.
"Aku anggap ini semua masih belum sepakat. Sekarang antar aku pulang!" titahnya.
"Pulang aja sendiri," ketusku yang masih merasa sangat enggan meninggalkan toko jam elit itu.
"Ya sudah," ujarnya melenggang pergi.
Aku terkesiap. Dasar gadis nekad. Bagaimana aku bisa membiarkan berjalan kaki sendirian di tengah kota begini?! Dia membawa sejumlah uang yang tidak sedikit. Otak memintaku mengabaikannya, tapi hatiku tidak. Aaargh! Lagi-lagi aku yang kalah.
"Heeeh! Berhenti!" teriakku sedikit mengejarnya yang sudah cukup jauh.
"Apa lagi?!"
"Aku antar pulang! Aku tak ingin jadi saksi TKP perampokan gadis culun keras kepala yang memakan korban jiwa," cerocosku melambaikan tangan.
Tampak Suparman sedang menghampiri kami.
"Biar aku begini, kamu yang katanya calon pemimpin apa tadi, terolli klori ..."
"Central Glory!"
Aku berseru di telinganya supaya dia tahu, perusahaan ekspor impor aneka snack ternama di negara ini adalah perusahaan milik ayahku.
"Yah itu. Kok masih mau nikah sama aku? Kadang aku ngerasa lagi mau diprank. Tapi tak apalah, yang penting sudah jelas hasilnya gini. Aku ikut saja alurmu."
"Ccchh... Matre," ketusku tak peduli dia bisa mendengarnya dengan jelas.
"Di jalan Anggrek, lingkungan perkampungan belakang komplek Royal Apel ya, Pak!" seru Dahlia tak menggubris ucapanku.
"Masih jauh rumahmu?" Aku bertanya setelah melewati komplek perumahan Belianda.
"Ini sudah sampai. Rumah berpagar bambu, yang ada pohon buah naganya, Pak!"
Dahlia turun tanpa menoleh padaku. Terlihat dari dalam rumah tua itu muncul seorang wanita paruh baya yang menggendong bayi. Aku terkesiap. Jantungku berdegub-degub kencang seperti baru saja mengetahui sesuatu yang begitu mengejutkan.
"Jadi, ini tujuanmu meminta uang cash sepuluh juta itu?" gumamku terenyuh.