BAB 3_PEMBALASAN AWAL
Aku langsung melingkarkan cicin berlian itu di jari manis Dahlia. Mulutku sedikit mengerucut heran, mengapa bisa pas seolah-olah cincin itu memang diciptakan untuknya?
"Apa perlu kami abadikan, Tuan?" tanya Parjo.
"Boleh," jawabku singkat.
Parjo mengeluarkan ponselnya yang ada gambar apel yang digigit dengan tampilan edisi terbaru. Dua bulan yang lalu, benda bergengsi itu menjadi hadiah dari ayahku karena pengabdiannya yang setia di keluarga kami. Parjo dan Romlah adalah pelayan kesayangan mereka. Karena kesibukan kedua orang tuaku yang melalang buana ke hampir semua negara adidaya, membuatku menyayangi kedua pasangan suami istri itu seperti orang tuaku sendiri.
Belinda menghampiri kami dengan wajah pucat. Mungkin jantungnya sebentar lagi akan jatuh karena silau dengan kilauan cincin ini. Dengan kasar, ia meraih tangan Dahlia.
"Ini apa Mas?!"
Aku tersenyum kecut. Kenapa sekarang dia memanggilku Mas lagi? Tadi dengan sombongnya memanggil namaku. Wanita ini seperti bunglon bisa berubah-rubah. Baru melihat yang berkilau langsung mencoba mesra. Aku tak akan luluh. Harga diriku sudah kau injak bersama ibumu itu, Bel! Jangan harap aku akan berubah pikiran.
"Memangnya matamu rabun? Itu cincin," ketusku.
"Iya! Aku juga tahu, ini cincin! Ini cicin kw apa asli?!"
Belinda memekik sembari menggoyang-goyangkan tangan Dahlia. Wanita itu menyentak lengan Dahlia dengan kasar. Anehnya, calon istriku itu diam saja seperti meringis menahan sakit tangannya. Aku jadi geregetan dibuatnya.
"Mau asli mau kw pun tak ada urusannya sama kamu, Bel!"
"Kamu tinggal jawab, ini cincin asli apa cincin palsu?!"
Belinda kembali mengguncang tangan Dahlia. Gadis berhijab itu menunduk, menggigit bibirnya. Mungkin ia sedang menahan rasa sakit dan serba salah. Aku tak bisa membiarkan ini. Belinda keterlaluan.
Wuush!!
Aku menarik tangan Dahlia hingga terhuyung di depan dadaku. Kedua bola mata gadis itu melebar karena kaget. Seperti detik begitu lambat meninggalkan waktu. Gadis itu sekarang sudah berada dalam pelukanku. Sejenak Dahlia mendongak menatapku. Aku suka warna manik mata gadis itu. Warna abu bercampur hitam jelaga. Ciamik. Tiba-tiba Dahlia langsung melepaskan diri, salah tingkah. Hatiku tersenyum tapi ekspresi wajahku datar.
"Kamu jangan kurang ajar ya Mas! Ini rumahku!" teriak Belinda.
"Kamu tuh, jangan jahat sama calon istriku! Kamu kira lengannya itu layangan bisa kamu kebas-kebasin begitu. Kalau kami tak bisa pergi bulan madu ke Paris karena lengannya sakit, aku tuntut ya!"
Merah padam wajah Belinda karena merasa dipermainkan.
"Aku sudah muak ya sama omonganmu yang sok bossi itu! Jangan terlalu menghayal. Bisa mati menggenaskan kamu nanti karena depresi," ketus Belinda.
Aku hanya diam, mencebik. Kamu hanya belum tahu saja, siapa aku, Bel. Kamu akan segera menarik ucapanmu itu.
Tiba-tiba Bu Yuni yang sekarang memegang telapak tangan Dahlia. Kubiarkan saja dia memutar-mutar cincin itu di jari manis calon istriku itu. Semoga nenek peot ini bodoh, tak bisa membedakan mana berlian palsu dan asli. Jadi, dia tak langsung terkena struk ringan karena kaget. Aku tersenyum dalam hati tak mampu membayangkannya jika itu terjadi.
"Aah ini pasti kw ini, Bel. Gak mungkin asli," ujar Bu Yuni menghempaskan tangan Dahlia. Tampak gadis itu hanya mengusap tangannya di kain hijabnya.
"Masak sih, Ma? Kilaunya kok beda ya," gumam Belinda kembali akan meraih tangan Dahlia.
Aku langsung menepis lengan Belinda.
"Sudah ya. Mau kw atau asli, gak ada hubungannya sama kalian. Kan kamu juga gak mau sama aku, Bel. Udah, ngapain juga kamu kepo."
Seolah-olah abai omonganku, gadis yang masih ada di hatiku itu menatap tajam pada Dahlia.
"Lepas!" perintahnya.
"Ammm ... Tapi Non," lirih Dahlia menggengam tangan kanannya seolah-olah menyembunyikan jarinya yang bercincin.
"Lama! Lepas cepat! Aku mau lihat langsung!" seru Belinda menarik paksa tangan Dahlia dan mencoba melepaskan cincin itu.
Aku kembali menepis tangan Belinda yang sedang berusaha menjajah jari calon istriku. Kamu pasti mulai ngilerkan, Bel?! Kasihan.
"Apaan sih kamu, Bel! Jangan coba-coba dilepas. Itu cincin pernikahanku!"
"Aku mau lihat! Kasih aku lihat, Mas!" teriak Belinda memaksa.
"Gak! Aku gak izinin!" tepisku.
Belinda tak mau kalah. Ia terus mencoba meraih telapak tangan Dahlia sedangkan aku berusaha menjauhkannya.
"Aku pecat kamu kalau kamu gak lepasin cincin itu!" pekik Belinda pada Dahlia.
"Anu Mbak..." lirih Dahlia kebingungan.
"Awas ya! Kamu gak boleh lepas cincin itu tanpa seizinku!" ancamku terus mengangkat lengan gadis itu.
Aku tak ingin cincin mahal itu jatuh ke tangan Belinda yang matre.
"Dahlia! Lepasin!" teriak Belinda menghentakkan kakinya.
Pastilah gadis itu sedang menahan rasa kesal yang sudah sampai ubun-ubunnya.
"Kamu gak ada hak ya!" lanjutku terus menarik tangan Dahlia yang sedari tadi jadi rebutan.
"Dia pembantuku di sini, Aditya! Aku cuma mau lihat lebih detail cincin itu!"
"Tak ada urusannya sama kamu! Ayo kita pergi!" ujarku pada Dahlia yang memucat.
Mungkin gadis itu takut dipecat. Aku menatapnya serius.
"Ikut aku. Kamu sudah bukan pembantu lagi di sini. Tempatmu seharusnya berada di istanaku," lirihku serius pada Dahlia.
"Puihhh! Sejak kapan laki-laki kere kayak kamu punya istana. Jangan mau diperdaya laki-laki tak kamu kenal, Dahlia! Lepaskan cincin itu dan kembalilah bekerja," ujar Bu Yuni melipat tangannya di depan dada. Begitu angkuh dan sombong.
Aku semakin muak diremehkan begini oleh nenek peot itu. Lihat saja. Kubuat biji matanya sekarang jatuh. Segera kurogoh ponselku yang sederhana. Ponsel mewahku ada di rumah.
"Hallo, Pak Man. Aku share lock sekarang. Jemput secepatnya. Baik. Secepatnya!"
Belinda mendelik padaku, heran.
"Kalian pulang saja duluan. Aku akan pulang dengan Pak Suparman," ujarku pada Parjo dan Romlah.
Keduanya mengangguk lalu keluar dan pulang menggunakan motor kesayangan mereka dari tahun ke tahun. Beberapa kali aku menawarkan motor baru, tapi mereka lebih suka motor butut itu. Katanya, motor itu adalah ikatan bukti cinta dan perjuangan mereka selama 20 tahun menikah. Bahkan uang 50 juta yang diberikan ayahku secara cuma-cuma, mereka malah membeli seat umroh. Itulah mengapa, Parjo dan Romlah begitu sangat menjadi kesayangan ayahku.
"Ayo. Ikut aku!"
Dahlia masih bergeming seperti ketakutan.
"Kamu jangan termakan rayuan laki-laki ini! Satu langkah kamu keluar dari rumah ini, kamu kupecat!" ancam Belinda garang.
"Dan jangan harap kamu bisa dapat pesangon dan bisa kami terima lagi kerja di sini! Buat tamatan SMA kayak kamu, mau kerja apa ha?!!" lanjut Si Nenek Peot menambahkan.
Aku menarik pergelangan tangan Dahlia. Gadis itu menggeleng, mencoba melepaskan tangannya dariku.
"Jangan pedulikan ucapan mereka!" seruku.
Dahlia masih bergeming, makin kebingungan.
Tiiiit!
Itu klason mobilku. Aku mencekal pergelangan tangan gadis Itu dengan keras. Dahlia tak bisa mengelak lagi. Kuseret dia dengan langkah cepat. Tampak mobil mewahku sudah terparkir tepat di halaman rumah ini. Supir pribadiku sudah turun dan membukakan kami pintu. Aku tak perlu menoleh ke belakang. Sudah bisa kubayangkan bagaimana ekspresi nenek peyot dan putrinya yang mantre itu. Lihat saja, ini baru permulaan. Kalian akan membayar mahal untuk hari ini.