BAB 2_GADIS PELARIAN
Melotot kedua bola mata Belinda seperti akan keluar dari tempatnya. Manik matanya terus mengikuti tanganku yang sedang menunjuk gadis berhijab coklat muda yang sedang berjalan menjauh.
"Dahlia?!!!" Suara Belinda seperti memekik.
Oh rupanya, namanya Dahlia. Hemmm ... tak buruk.
Gadis itu berhenti. Ia membalik tubuhnya lalu celingak-cekinguk. Semua mata di ruangan itu sedang menatapnya serius.
"Non?" tanyanya seperti kebingungan.
Sedangkan Belinda masih tampak kehilangan akal.
"Kamu jangan gila, ya!" seru Bu Yuni berang.
Aku tak peduli.
"Kamu, sudah menikah?" tanyaku bangkit menghampiri gadis yang bernama Dahlia itu.
Ia makin kebingungan. Pandangannya menatap majikannya, namun aku segera menutupi mereka dengan punggungku. Kini, hanya wajah tampanku ini yang di depannya.
"Aku tak punya banyak waktu, Mbak. Kamu sudah menikah?"
Kuulangi pertanyaanku lebih tegas, lebih jelas dan juga lebih dekat lagi dengan wajah Dahlia. Sorot mata kami beradu. Cukup banyak detik yang terlewatkan. Dia lalu menggeleng pelan. Aku tersenyum.
"Baiklah. Besok aku akan datang ke rumahmu. Bersiaplah menjadi pengantinku."
Tak perlu menunggu responnya, segera kubelakangi gadis berhidung bangir itu.
Namun beberapa saat ....
"Eeeee... Eeeh, Mas!" serunya.
Sepertinya dia mulai sadar. Aku berbalik menolehnya santai.
"Sinting ya? Jangan ngadi-ngadi deh! Gimana ceritanya kamu mau nikahin aku sedangkan kamu calonnya majikanku! Ketemu juga baru sekarang."
"Dia menolakku. Jadi aku pilih kamu. Jangan berisik," ketusku.
Dasar gadis tak peka, apa dia tak merasakan aura kepemimpinan dan kedikjayaan dalam diriku?
"Memang miring ya otaknya orang ini! Lagian siapa juga yang mau nikah sama orang modelan gini. Belagu. Ogah. Aku sudah punya lelaki idaman ya!"
"Terserah."
"Eeeh! Gak bisa!" teriaknya.
Aku mendekatinya sangat dekat sekali. Aroma keringatnya tercium di hidungku. Aku tahu, pastilah dia memakai sabun murahan. Tapi tak masalah. Aku butuh gadis ini untuk membungkam ego dua wanita sombong di belakangku itu. Kupegang bahu Dahlia dengan sangat kencang.
"Dengarkan aku. Diamlah. Aku akan menbayarmu hanya dengan kau menutup mulutmu itu. Anggukan kepalamu sekarang, kuhargai 10 juta. Hanya satu anggukan kepala saja. Kau tak mungkin kan melewati kesempatan ini?" bisikku yang kupastikan hanya dia dan aku yang tahu.
Aku bisa melihat pergerakan rahang gadis itu. Ia sedang menelan salivanya yang mungkin terasa pahit karena kekagetannya yang luar biasa. Namun aku terus menatapnya tajam dan akhirnya dia mengangguk.
"Oke!" seruku menghentak bahu Dahlia lalu melepaskan tubuh gadis itu. Ia sedikit terdorong ke belakang. Dahlia nampaknya terlihat penuh tanda tanya dan aku tak peduli.
"Terimakasih semuanya. Bu, Pak dan kamu Bel, aku pamit ya," ujarku datar.
"Oh ya, tolong pecat dia karena mulai hari ini, dia calon istriku. Dia tak pantas menjadi pembantu. Dia adalah nyonya Central Glory tbk," lanjutku.
Belinda melempariku dengan kotak tisu di depannya. Untung saja benda itu ringan, terbuat dari sejenis kain flanel. Sungguh Belinda ternyata bukan wanita yang kukira beretika yang baik.
"Kamu jangan banyak gaya, banyak bicara! Kamu bisa aku laporkan sama atasan karena secara tidak langsung, kamu sudah menghina perusahaan!"
"Detik dimana aku bicara begitu, detik itu juga aku sudah bukan admin lagi di sana, Bel! Mulai besok, kamu harus minta tanda tanganku untuk segala urusan proyek perusahaan."
Bu Yuni menarik tangan putrinya agar duduk kembali ke sofa. Nampak nafas Belinda memburu. Aku tahu, dia sedang cemburu. Aaah... Aku suka permainan ini. Awas saja, kubuat kau menyesal karena memperlakukanku begitu hina di depan orang lain, Bel!
"Mama gak bisa bayangin kalau seandainya, kamu beneran menikah dengan dia, Bel! Baru ditolak sama kamu, dia sudah langsung gila. Hahahahaha! Lucu!"
Mulut Bu Yuni begitu lebar saat menertawakanku. Suaminya juga terlihat menundukkan wajah, berusaha menyembunyikan tawanya. Lihat saja, tawa kalian akan berubah menjadi air mata penyesalan.
"Eeh Dahlia! Jadi kamu menikah sama dia? Ya sudah. Lanjut aja terus sekalian kamu ikutan gilanya!" ucap Belinda sangat sombong menoleh pada Dahlia yang masih mematung.
"Awas saja kalau kamu kemakan rayuannya. Besok kamu harus tetap kerja. Mau makan apa kamu sama orang tuamu yang miskin kalau gak kerja di saya?!" lanjut Bu Yuni.
Wanita itu menatap sinis pada calon istriku. Ya. Aku tegaskan, gadis berkulit kusam itu calon istriku. Akan kusulap dia menjadi lebih cantik dari Belinda. Lihat saja.
Dahlia mencoba membuka mulut tapi tak ada suara darinya. Aku tahu, dia pasti merasa terikat dengan ucapanku tadi. Baguslah.
"Mari, Tuan Muda, kita pulang!" seru Parjo.
Bu Yuni langsung tersedak, batuk-batuk mendengar laki-laki yang kulitnya agak hitam karena sering terkena sinar matahari secara langsung.
"Bel! Bahkan orang tuanya aja langsung gak waras. Tuan muda? Ampun deh," ejek wanita tua itu.
"Dia memang Tuan Muda kami, Bu. Anak ...
Aku mengangkat tanganku sedikit pada Romlah. Tak perlu mengatakan siapa aku, biar mereka melihat langsung nanti. Mudahan tak langsung kena serangan jantung.
Kedua pasangan itu kuperkenalkan sebagai bapak dan ibuku. Tidak ada yang tahu, termasuk Belinda sendiri. Mereka sebenarnya adalah kepala pelayan di kediaman keluarga besar Hadi Pratama, pengusaha batu bara, pemilik banyak real estate di kota ini. Dialah ayahku.
Terlihat Belinda hanya menggeleng, menutup mulutnya yang sedang tertawa.
"Please deh, Aditya! Kamu kalau mau sirkus ngelawak janganlah di sini. Dah kamu cepet aja nikah tu sama Dahlia. Pastilah lima puluh juta bisa langsung yess sama dia dan keluarganya! Lima juta pasti oke. Mereka itu cocok sama kamu. Sama-sama miskin."
"Kamu kenapa sejahat ini menghina aku, Bel? Selama enam bulan ini, sikapmu tak seperti ini. "
"Ya sejujurnya aku hanya suka wajah tampanmu. Tapi makin ke sini, tampan tapi miskin, itu buatku sadar kalau selama ini aku sudah menghabiskan banyak waktuku."
"Masih banyak yang nikah hanya dengan mahar seperangkat alat solat, Bel! Semua uang itu murni hasil keringatku sendiri!" seruku menimpali.
"Tidak untukku, Adit. Kita beda level, beda kasta. Kamu silahkan keluar dari rumah ini."
Ucapan Belinda menambah rasa sakit hatiku. Rupanya kata-kata cintanya kemarin padaku itu hanya permainan belaka. Baiklah, akan kutunjukkan cara bermain yang sesungguhnya.
Aku merogoh sebuah kotak dari kantung celanaku. Benda itu berlapiskan beludru lembut. Kuhampiri Dahlia yang masih mematung menyaksikan perdebatanku. Gadis itu mundur. Aku melototkan mataku padanya. Dia semakin mundur namun langkah kakinya terhenti karena terhalang dinding ruang tamu itu.
"Berikan tanganmu!" perintahku dingin.
Dahlia menggeleng. Mataku semakin melotot padanya. Setelah mendapatkan tekanan dariku, gadis itu mengulurkan tangannya perlahan dan nampak gemetar. Aku menyeringai puas.
Kleeek!
Kubuka kotak kecil di tanganku. Aku pastikan, kilau cincin berlian ini adalah permulaan pembalasan atas hinaan keluarga ini padaku.