BAB 1_MELAMAR
"Kami sudah sepakat. Hantaran yang harus dibawa itu 200 juta juga perlengkapan buat Belinda. Sebenarnya itu pun masih kurang. Segala jenis makanan juga perlengkapan rumah tangga itu sangat perlu. Tapi kalau memang gak bisa, ya kami akan coba maklumi," ucap Bu Yuni, ibu pacarku yang bernama Belinda.
"Kalau perlengkapan rumah tangga, itu sudah menjadi kewajiban saya, Bu. Tentang aneka makanan, saya akan usahakan dengan maksimal, " jawabku sekenanya.
"Perlengkapan rumah tangga buat kalian sama yang dibawa ke sini beda dong. Kami sudah membesarkan Belinda sampai jadi sarjana dan bekerja di perusahaan besar itu butuh waktu dan tenaga. Dia sudah kami kasih perlengkapan hidup yang mewah. Soal begitu aja perhitungan," tanggap calon ibu mertuaku itu kecut.
Aku menelan salivaku. Bagaimana ada seorang ibu yang tega menghitung-hitung jasanya sebagai orang tua!?
"Soal uang hantaran, saya hanya sanggup 50 juta tunai, Bu."
"Loh, kok bisa sedikit sekali? Bisa malu kami sebagai keluarga terhormat di komplek ini."
Dua orang pasangan paruh baya yang menemaniku terlihat saling pandang. Mungkin mereka ingin bicara tapi mereka sudah kuperingati agar tetap diam selama acara pra lamaran ini. Aku ingin lihat, bagaimana watak keluarga besar calon istriku.
"Tetangga sebelah aja, anaknya cuma lulusan D3, seabrek-abrek hantarannya. Belum lagi emasnya, penuh. Ini gimana sih, Bel, calon suami kamu," ketus wanita tua itu membuang wajah.
Belinda yang sedari tadi agak gelisah hanya menggigit bibirnya. Aku yakin, dia tak bisa membohongi perasaannya padaku.
"Maaf ya, Bu. Saya hanya mampu segitu. Lagi pula, saya sudah menyanggupi mahar emas 20 gram sesuai permintaan Belinda. Untuk resepsinya, saya sudah siapkan dananya," ujarku menambahkan.
Biar bagaimana pun, aku sungguh-sungguh mencintai Belinda. Aku akan mencoba terus menawar pada calon mertuaku ini, tapi bukan berarti menuruti semua permintaannya.
"Bel! Kamu kok minta sedikit sekali!" berang calon ibu mertuaku, melotot pada anak gadis nya.
"Memangnya itu sedikit ya, Ma?" tanya Belinda polos.
"Iiih kamu ya. Zaman sekarang, itu cuma harga sapi doang."
"Ma... Kontrol mulutmu itu," bisik Pak Imron, ayah Belinda. Suaranya masih jelas terdengar olehku.
Pria yang sudah dipenuhi uban di kepalanya itu mencubit paha istrinya karena gemas. Benar kata orang suruhanku, mulut istrinya itu memang terkenal pedas dan asal bicara, sesuai isi hati dan pikirannya tanpa menimbang perasaan orang lain.
"Maaf ya, Pak, Bu, istri saya memang orangnya nyablak," kekeh Pak Imron membuang rasa malunya.
"Tak apa-apa, Pak Imron. Kami maklum, Belinda anak gadis satu-satunya," jawab Parjo yang dianggukan oleh Romlah. Mereka berdua adalah kedua pelayan setiaku, yang sudah kuanggap seperti orang tuaku.
"Jadi bagaimana ya? Apa bisa Minggu depan, saya kembali membawa keluarga besar ke sini?" tanyaku meminta kejelasan.
Semakin lama aku mulai muak dengan gerak-gerik dan ucapan calon ibu mertuaku itu.
"Kami serahkan semuanya pada Belinda," ujar Pak Imron mencoba mengambil keputusan sebagai kepala keluarga.
Namun tiba-tiba, Bu Yuni memukul bahu suaminya yang tua itu.
"Jangan gegabah kamu, Pak! Aku gak mau ya, anak gadisku menikah dengan laki-laki yang gak jelas bobotnya."
Hatiku rasanya seperti disengat, namun melihat sosok wanita yang kucintai seperti berusaha menenangkan ibunya, aku mencoba sabar.
"Gak apa-apa lah Ma. Please, terima aja Mas Aditya ya Ma."
"Kalau cuman bawa 50 juta, buat apa Bel. Kemarin pas arisan, mama ketemu Si Roy, anaknya tante Sindi, yang lulusan luar negeri itu. Kamu inget gak? Itu temen satu kelasmu pas SMP."
Belinda mengangguk samar.
"Mereka mau datang lamar kamu, lo! Iseng Mama bilang hantaran 500 juta. Roy sama Mamanya langsung oke tuh tanpa babibu. Apalagi kalau cuman 200 juta. Gak ada tu tawar menawar kek gini. Mama berasa lagi jual kacang aja. Kamu ikuti ngomong Mama, zaman sekarang, duit itu sumber kebahagiaan."
"Tapi gimana dong, Ma. Aku cinta sama Mas Adit," timpal Belinda nampak ragu.
"Terserah kalau kamu mau hidup miskin."
Belinda langsung menggeleng-geleng keras. Gadis berambut blonde yang terawat itu melipat bibirnya seperti berpikir. Otaknya mungkin sedang berputar menimbang-nimbang semua ucapan ibunya itu. Yang gadis itu tahu, aku hanya karyawan biasa, sebagai admin pemasaran di perusahaan tempat kami bekerja. Sedangkan dia adalah sekretaris yang memiliki gaji yang jauh berbeda denganku. Apalagi ibunya baru saja mengingatkannya tentang sosok Roy yang anak orang kaya. Hatinya pasti mulai goyah. Aku akan tunggu, apa keputusanmu, Bel?!
Kliiink!
Suara cangkir yang sedikit beradu dengan meja kaca di depannya membuyarkan pikiran Belinda. Pacarku itu menatapku lalu menunduk.
"Silahkan diminum," ucap sosok yang bersuara lembut yang sedari tadi nenyebarkan cangkir-cangkir teh. Sepintas ekor mataku melirik. Wanita berhijab yang manis.
"Bel, kamu mau kan terima lamaranku?" tanyaku menatap sendu wanita yang kucintai itu. Aku suka Belinda, gadis cantik yang energik dan cerdas.
"Gimana ya? Aku berat Mas. Apa kamu beneran gak bisa memenuhi permintaan ibuku?" tanya Belinda seperti berbisik.
"Aku cuma mampu segitu, Bel. Kamu tahu kan posisiku di kantor, baru sebagai admin pemasaran."
Aku menggenggam kedua tangganku. Nafasku sedikit tersedat. Akan sulit jika benar sesuai firasatku, Belinda akan menolakku hanya karena kurang harta.
"Kamu jangan pelit-pelit dong, Mas. Jual apa kek. Katanya kamu cinta sama aku. Kok gak ada usahamu sedikit pun. "
"Ini aku sedang usaha, Bel. Aku cinta sama kamu. Tapi kamu juga harus percaya sama aku. Aku janji, akan rajin kerja dan bahagiain kamu. Kamu percaya deh, aku pasti naik pangkat," ujarku mencoba meyakinkan calon istriku ini. Belinda hanya belum tahu siapa aku yang sebenarnya dan belum saatnya dia tahu.
"Kamu baru kerja enam bulan, mau naik pangkat dari Hongkong, Mas. Kamu minjem online ajalah Mas," usul Belinda.
Aku menghela nafasku kuat-kuat. Aku tak suka nada bicara Belinda juga usul gilanya itu. Hidup tenang itu sederhana. Salah satunya, jangan banyak gaya lalu membebani diri dengan hutang hanya untuk sebuah pengakuan.
"Jadilah intinya gimana?" tanyaku dengan nada tegas.
"Kok masih bisa nanya intinya sagala," ketus Yuni dengan mata memincing sinis.
"Anak gadisku gak ditakdirkan buat hidup miskin apalagi sama laki-laki kere. Dengar-dengar, kamu hanya admin di sana. Gimana ceritanya, bisa suka sama anakku yang sudah jadi sekretaris? Lucu."
Setiap ucapan Bu Yuni bagai sembilu bagiku. Namun aku masih menahan diri. Jawaban Belinda adalah kunci setiap tindakanku ke depan.
"Maaf, Bu. Saya ingin dengar ucapan Belinda secara langsung. Gimana Bel? Apa ucapanmu mau menemaniku berjuang itu masih berlaku?"
Belinda mengigit bibirnya. Gadis itu menatapku. Sepertinya dia sudah memiliki keputusan.
"Kamu memang tampan tapi tak modal, Mas. Mulai hari ini kita putus. Kamu cari perempuan lain ajalah."
Sejenak hanya hening di ruang itu. Kecuali suara tangan gadis pembawa teh tadi yang sedang meletakkan tisu makan di atas meja. Gadis itu seolah abai dengan segala pembicaraan di ruangan itu. Kini dia bersiap kembali lagi ke dapur.
"Baiklah. Aku akan menikahi wanita itu," ucapku menoleh padanya yang sedang melangkah menjauh.