BAB 9_SIAPA KAMU?
Dahlia menapaki setapak demi setapak marmer mahal yang sudah bertahun-tahun selalu dirawatnya. Di sini memang ia menggantungkan nasib dan kehidupan keluarganya. Bu Yuni selalu memberikannya gaji tepat waktu meski sering dipotong karena menurutnya pekerjaan Dahlia kurang bersih, kurang cepat.
"Jangan nekad kamu, Dahlia! Ingat, kamu dan keluargamu itu tak akan bisa melanjutkan hidup tanpa gaji dari sini!" ancam Yuni melototkan matanya.
"Wanita sinting!" umpat Belinda menambahkan.
Dahlia terus melangkah. Di sini, tempatnya selalu menempa kesabaran. Karakter Bu Yuni yang asal perintah dan memiliki mulut tanpa saringan itu kerap kali membuatnya menahan air mata. Ditambah sikap Belinda yang memandangnya sebelah mata, membuatnya harus menambah stok kesabaran. Seharusnya gadis itu lebih bersahabat dengannya karena mereka seusia. Namun faktanya tidak.
Belinda mengejar Dahlia lalu mendorong bahu gadis berhijab itu hingga tersungkur ke depan.
"Kebelet banget kamu sama laki-laki? Sampai kamu berani keluar dari rumah ini tanpa izinku! Meninggalkan pekerjaan yang membuatmu dan keluargamu bisa hidup. Kamu itu definisi perempuan tak punya harga diri, tak tahu terimakasih."
Dahlia menegakkan tubuhnya setelah hampir saja menyentuh lantai.
"Kalau pun dia tak hadir, batas sabarku mengabdi di rumah wanita-wanita yang tak punya hati seperti kalian sudah habis, Belinda. Sudah tak bersisa lagi walau hanya setetes."
"Kamu berani memanggil namaku?!" tanya Belinda makin berang.
"Lalu aku harus memanggilmu apa? Gadis sombong dan mulut berbisa?" timpal Dahlia sudah tak tahan.
Tak berpikir panjang, Belinda menarik hijab Dahlia dengan keras hingga gadis itu mendongak ke atas, meringis kesakitan karena rambutnya juga ditarik.
Ketiplaaak!
Aditya menepis tangan Belinda hingga tangan mulus itu langsung terlepas dari jilbab Dahlia.
"Sudah ya, Bel. Sudah. Sebagai manusia yang beradab, kamu tak sepantasnya begini. Sekarang aku bersyukur, tidak jadi menikahi wanita kasar sepertimu. Terimakasih sudah membuka topengmu."
"Aditya!" pekik Belinda meremas tangannya.
Dahlia memperbaiki hijabnya yang melorot lalu pergi meninggalkan Belinda dan Aditya yang masih berdebat. Gadis itu terus melangkah, menatap ke depan, tak peduli.
"Simpan energimu itu untuk menerima kenyataan. Aku semula kagum sama kamu, Bel. Tapi sekarang, aku kecewa."
Aditya berlari meninggalkan Belinda yang mulutnya masih terbuka lebar seolah tak percaya. Gadis itu mengusap wajahnya kasar, mencoba menetralisir perasaannya yang terkejut mendengar ucapan laki-laki yang sempat menjalin hubungan spesial dengannya.
Belinda kembali membuka mulutnya melihat Aditya mengejar Dahlia begitu serius. Laki-laki itu melewati gadis lusuh itu sembari menekan tombol kunci di tangannya hingga terlihat, lampu mobilnya menyala. Kedua bola mata Belinda seperti akan mencolos keluar ketika ia mendekat lalu melihat dengan jelas, mobil seharga puluhan milyar sedang dibukakan untuk Dahlia. Tiba-tiba terasa lemas lutut Belinda hingga seperti tak mampu menopang tubuhnya.
"Mmmaaa ... Mama ... Ma ..." lirih Belinda menggapai kosong, tak mampu berdiri tegak.
"Bel! Kamu kenapa?!" seru Yuni menangkap tubuh anaknya.
Belinda hanya menunjuk pada mobil hitam yang begitu gagah sedang perlahan meninggalkan kediaman mereka. Yuni menguatkan pijakannya karena Belinda benar-benar lemas.
"Bel! Belinda! Kamu habis makan jamur ee sapi kah? Kok bisa linglung begini?! Bel!!!"
Yuni memukul pipi anaknya karena hanya putih matanya saja yang terlihat.
"Paaaak! Bapaaaak!" teriak Yuni memanggil suaminya.
Imron keluar sembari memasang dasinya. Laki-laki itu adalah pegawai negeri yang menjabat sebagai kepala bagian di sebuah instansi milik negara.
"Kalian kenapa?! Pagi-pagi sudah ribut?!"
"Ini anakmu ini! Cepat ambil air!" perintah Yuni.
Imron terperanjat. Ia langsung berlari masuk dan kembali membawa gelas berisi air. Kedua pasang suami istri itu memercikkan air pada anak gadis mereka. Tak ada reaksi yang berarti, Yuni tak sabaran. Wanita itu langsung mengguyurkan air dalam gelas itu ke atas kepala anaknya. Belinda langsung sadar sembari terbatuk-batuk.
"Kamu gila, Ma! Kalau Belinda tersedak, bisa 'lewat' anakmu!"
"Aaah, Papa cerewet. Sudah sana, berangkat saja kerja. Dan kamu, Bel. Kamu habis lihat setan atau apa sampai meleyot gitu ha?!"
Belinda mendengkuskan air yang masuk di hidungnya. Ingin rasanya mencekik ibunya sendiri yang hampir membunuhnya.
"Mama ihhh!" seru Belinda menahan gemasnya.
"Tadi kamu kenapa, Bel?" tanya Imron mengusap air di rambut anaknya.
"Itu tadi, Mas Aditya bawa Dahlia pake mobil Rolls Royce, Pa!"
Imron langsung berjongkok, posisinya tepat di depan wajah anak gadisnya.
"Mobil yang harganya puluhan milyar itu, Bel?"
Belinda mengangguk.
"Alah, paling mobil sewaan," cebik Yuni.
"Meskipun sewaan tapi pasti uang sewanya juga mahal," timpal Imron.
"Papa rugi banget dong gak bisa lihat langsung!" lanjut Imron memegang kepalanya.
"Apaan sih, Papa! Yang parah itu, dia bawa cewek kampung, Si Dahlia itu pake mobil itu, Pa!" teriak Belinda histeris.
"Dan itu dari kemarin kayak gitu. Kemarin ada supirnya, sekarang Aditya langsung yang menyupiri. Aaaaakh! Aku gak rela, Dahlia yang babu bisa naik mobil semewah itu!"
Belinda menyentak-nyentakkan bahunya kesal.
"Sabar Bel. Mungkin itu sudah rezki Dahlia yang jadi anak soleha, sabar dan gigih. Lagian kalian kekeh nolak pemuda itu. Kalau gak gitu, kan kamu yang di dalam mobil itu," seloroh Imron.
Ppppuuuk!
Laki-laki beruban itu terkesiap ketika pahanya dipukul berkali-kali oleh anak gadisnya. Belinda sedang melampiaskan amarah.
"Papa! Iiih! Papa pergi aja kerja sana! Bukanya belain aku malah muji babu itu!Papa ngeselin!"
"Jangan-jangan kamu ada main sama Dahlia ya, Paaah?!!" pekik Yuki melotot.
"Eeh ... eh ... gak gitu, Ma. Papa hanya ...."
Kepala Imron menggeleng-geleng keras sembari tubuhnya mundur, sebab istri galaknya sudah siap akan menyerang.
"Kemari kamu, Pa! Ayo, ngaku kamu!" seru Yuni mencoba mendekati suaminya.
Dengan jurus kekuatan kilatan petir halilintar, Imron berlari mengambil tas kantornya lalu segera masuk ke mobil. Laki-laki itu memilih melarikan diri lebih cepat sebab ia tahu betul, istri dan anak gadisnya kalau sudah marah padanya secara bersamaan bisa berubah menjadi zombi.
Sedangkan di sisi lain, Dahlia sedang menunduk, menangis di dalam mobil yang dikendarai Aditya. Pemuda itu menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang agak sepi lalu lalang kendaraan. Sekian lama menit berlalu, tak ada ucapan apa-apa dari keduanya. Aditya membiarkan Dahlia menumpahkan air matanya dengan leluasa.
"Jiwa tidak akan memiliki pelangi jika mata tidak memiliki air mata," lirih Aditya menyerahkan selembar tisu.
Dahlia sama sekali tak mau meraih tisu itu.
"Terkadang, Allah membuat kita menangis agar orang lain dapat melihat kapan kita membutuhkan bantuan," lanjut pemuda itu tak menyerah.
Sejenak hening di antara mereka namun Aditya masih tetap bertahan menyodorkan tisu itu. Perlahan Dahlia meraih lembaran putih itu. Ia mengusap air matanya namun masih terus menunduk seperti menikmati rasa sakit di hatinya.
"Jangan mengganti air mata dengan kemarahan. Wanita sering menangis karena mereka diajari bahwa marah itu tidak sopan atau tidak pantas. Kamu boleh marah, boleh mengeluarkan uneg-unegmu. Aku siap mendengarkan."
Aditya menatap Dahlia dengan serius. Gadis itu pun perlahan mengangkat wajahnya, menoleh perlahan pada lawan bicaranya. Mulutnya sedikit membuka, mengeluarkan suara.
"Siapa sebenarnya kamu?"