Susan Part 6
Hari ini kulalui dengan begitu tenang, tidak ada satu pun teman sekelas yang mengganggu dan mengerjaiku. Aku merasa setelah berteman dengan Celia, aku mulai merasa betah menuntut ilmu di sekolah ini.
Sepulang sekolah, seperti biasa aku berjalan beriringan dengan Celia. Dan seperti halnya kemarin, aku melihat Bu Angie sedang menunggu tidak jauh dari kelas kami. Aku mendesah lelah, apa lagi yang diinginkan guru itu?
"Maaf, Celia. Kau pulang duluan saja ya."
Celia menatapku bingung. "Kau mau ke mana?" tanyanya.
"Hm ... ada sedikit urusan."
Lagi-lagi aku tak bisa menceritakan hal ini pada Celia. Tak nyaman sebenarnya, tapi tak ada pilihan lain selain merahasiakannya. Celia tak bertanya lagi. Dia melambaikan tangan saat kami hendak berpisah. Menatap sebal sekali lagi pada Bu Angie, aku pun dengan terpaksa menghampirinya.
"Bu Angie, bagaimana hasil penyelidikannya? sudah mengetahui keberadaan mereka belum?" tanyaku tanpa basa-basi menanyakan alasannya menungguku.
"Untuk alasan itu lah aku menunggumu di sini, ayo kita temui mereka berdua!"
Tanpa menunggu responsku, Bu Angie pergi begitu saja. Aku menggeram jengkel, guru itu begitu seenaknya memerintahku, tanpa bertanya aku bersedia ikut atau tidak. Toh pada akhirnya ku ikuti dia.
Dengan menaiki mobil Bu Angie, kami pergi menuju suatu tempat yang sama sekali tidak ku ketahui karena dia sama sekali tidak memberitahukannya.
Setibanya di tempat tujuan kami yang ternyata merupakan sebuah universitas, aku kembali mengikuti Bu Angie tanpa kata.
Bu Angie menelusuri lorong kampus dengan langkah tegap, melewati kelas demi kelas seakan-akan dia sudah mengetahui dengan pasti kelas yang menjadi tujuannya. Ia baru menghentikan langkah ketika tiba di depan sebuah kelas. Banyak pasang mata yang memperhatikan kami, tapi Bu Angie sama sekali tidak mempedulikannya. Tanpa ragu dia memasuki kelas tersebut. Bu Angie berhenti tepat di depan seseorang yang tengah duduk di kursinya. Aku memperhatikan orang itu, dan aku sangat terkejut ketika menyadari orang itu adalah Jessica.
"Bisa ikut aku sebentar?"
"Siapa kau?" satu alis Jessica terangkat, dia terlihat kebingungan.
"Aku salah satu guru di Grandes High School."
Seketika Jessica menjadi gugup. Dia menengok kanan dan kiri seolah khawatir ada orang lain yang mendengar ucapan Bu Angie.
"Untuk apa kau datang kemari? Aku sudah tidak ada urusan lagi dengan Grandes High School."
"Benarkah kau merasa tidak punya urusan lagi dengan Grandes High School? Haruskah aku mengatakannya di sini, di depan teman-teman kuliahmu?"
Jessica terbelalak, dia bergegas bangun dari duduknya. "Ja-jangan. Baiklah aku akan ikut denganmu."
Jessica yang terlihat ketakutan itu berjalan mengikuti kami. Langkah kami bertiga berhenti di tempat yang cukup sepi, di belakang salah satu kelas lebih tepatnya.
"Aku akan mengatakannya langsung.” Ucap Bu Angie tegas. “Kedatanganku kemari karena ingin kau mengakui perbuatanmu dan menyerahkan diri ke polisi."
"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan." Meski berkata demikian, raut wajah Jessica mulai pucat.
"Jangan mengelak lagi, kami sudah tahu semuanya. Kau dan Ann telah membunuh Susan. Hampir setiap hari kalian membully Susan, kalian memaksa dia menyerahkan uangnya. Kalian selalu menyiksanya jika dia menolak. Kalian membunuhnya dan menyembunyikan jasadnya di balik tembok toilet."
Jessica terbelalak, ketakutan semakin tergambar jelas di wajahnya. "Ja-jangan bicara sembarangan. Aku tidak melakukan semua itu." sanggahnya, masih tak mau mengaku.
"Kau masih tidak mengakui setelah apa yang menimpa Ann dan juga Pak James yang telah bekerja sama denganmu menyembunyikan jasad Susan."
Aku tidak mengerti perkataan Bu Angie, sehingga aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Memangnya apa yang telah terjadi pada mereka berdua?"
"Seperti yang kau lihat, Leslie. Hantu Susan selalu mengganggu mereka. Ann dan Pak James tidak kuasa lagi menahan rasa bersalah. Mereka depresi. Ann sekarang dirawat di rumah sakit jiwa. Pak James berhenti bekerja dan pulang ke kampung halamannya. Aku tidak mengerti kenapa kau yang jelas-jelas pembunuh Susan, masih bisa bertahan hingga sekarang."
"Aku tidak pernah membunuhnya!” teriak Jessica, masih bersilat lidah. “ Memangnya kau punya bukti bahwa aku pelakunya?”
Aku dan Bu Angie saling berpandangan, kesal tentu saja karena Jessica masih tak mau mengaku.
“Kami memang tidak memiliki bukti bahwa kau pelakunya. Tapi pengakuan Pak James akan membuatmu tidak bisa mengelak lagi.” ucap Angie santai. “Aku sudah menghubungi Pak James, dia akan bersaksi karena sudah tak tahan menerima teror dari hantu Susan.”
Jessica tercekat, mulutnya tak lagi melontarkan bantahan. Tiba-tiba dia menunduk seolah mengakui kekalahan. “Itu hanya sebuah kecelakaan." Ucapnya lirih.
"Seharusnya kau melaporkannya pada pihak guru, kau salah besar menyembunyikan jasad Susan di balik tembok. Perbuatanmu ini tidak bisa dimaafkan."
"Terserah kalian mau mengatakan apa, aku tidak akan pernah mengakuinya meski Pak James menjadi saksi sekali pun."
Jessica berjalan meninggalkan kami, namun perkataan Bu Angie telah membuat Jessica menghentikan langkahnya.
"Apa kau tidak ingin mendapatkan kedamaian? Aku yakin meskipun kau mengatakan tidak akan mengakui perbuatanmu, setiap hari kau pasti tidak tenang dan ketakutan. Hantu Susan tidak henti-hentinya mengganggumu. Tidak inginkah kau hidup damai tanpa melihat penampakan hantu Susan lagi?"
Beberapa menit lamanya Jessica terdiam, mungkin sedang mencerna baik-baik ucapan Bu Angie. "A-ku ... aku benar-benar tidak sengaja saat itu. Aku tidak pernah bermaksud membunuhnya. Aku selalu iri padanya. Dia sangat populer di sekolah, banyak laki-laki yang mendekatinya. Aku hanya tidak suka padanya." akhirnya inilah yang dia akui.
"Itukah sebabnya kau selalu membully dan menyiksanya?"
"Aku hanya ingin dia merasakan sakit yang aku rasakan. Aku membencinya."
"Bukan berarti kau harus menyakitinya seperti itu. Setiap manusia pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Seharusnya kau bersyukur karena diciptakan sempurna, apa kau tidak melihat banyak orang yang tidak beruntung karena terlahir cacat? Seharusnya kau bersyukur atas semua yang Tuhan berikan padamu. Apalagi kau terlahir dari keluarga berada. Sedangkan Susan, kau tahu persis dia tidak sekaya dirimu."
Sejak tadi aku hanya menjadi pendengar yang baik, diam-diam takjub pada nasehat bijak dari Bu Angie.
Jessica menutup wajahnya dengan telapak tangan. Suara isak tangis mengudara setelahnya.
"Maafkan aku. Aku sangat menyesal. Aku tidak ingin melihat hantu Susan lagi."
"Pergilah ke kantor polisi dan akui perbuatanmu."
"Itu artinya aku akan dijebloskan ke dalam penjara?"
"Menurutmu mana yang lebih baik, hidup bebas namun selalu dihantui oleh Susan atau hidup dengan damai di dalam penjara? Walau bagaimanapun kejadian itu memang kecelakaan, hukumanmu tidak akan terlalu berat. Penderitaan yang akan kau rasakan di dalam penjara hanya sementara. Tapi, jika kau tetap merahasiakan hal ini, kau akan menderita seumur hidup. Arwah Susan akan selamanya mengganggumu. Biarkan arwah Susan tenang di alamnya agar tidak mengganggumu lagi."
"Benarkah hukumanku tidak akan terlalu berat?"
"Ya. Percayalah padaku!"
Pada akhirnya semua nasehat bijak Bu Angie berhasil menyadarkan Jessica. Karena ketenangan hidup memang yang paling penting bukan? Syukurlah akhirnya Jessica menyadari.
Keesokan harinya ...
Jessica dengan ditemani oleh Bu Angie dan kedua orangtuanya pergi ke kantor polisi untuk mengakui semua perbuatannya.
Di hari yang sama, banyak polisi yang mendatangi Grandes High School guna menemukan jasad Susan yang disembunyikan di balik tembok toilet. Setelah tembok itu dirubuhkan, benar saja jasad Susan yang sudah menjadi tulang belulang ditemukan di sana. Polisi membawanya untuk diautopsi dan nantinya akan diserahkan pada pihak keluarga untuk dimakamkan secara layak.
Beberapa hari kemudian, prosesi pemakaman jasad Susan dilangsungkan, aku dan Bu Angie turut hadir di sana. Setelahnya, pihak keluarga Susan mendatangi toilet dimana tragedi berdarah itu terjadi. Mereka berharap bisa bertemu dengan hantu Susan. Aku dan Bu Angie yang menemani mereka.
Setibanya kami di toilet itu, aku kembali melihat hantu Susan. Penampilannya sangat berbeda dibandingkan pertama kali aku melihatnya. Wajahnya yang berlumuran darah kini tampak bersih. Kecantikannya memancar meski masih tetap pucat. Mata yang penuh kebencian itu, kini tidak ada lagi. Wajah hantu Susan saat ini sama persis dengan wajahnya ketika dia masih hidup.
"Apa Susan sedang berada di sini?"
Aku mengangguk, menanggapi pertanyaan Bu Angie.
"Kita harus menenangkan arwahnya agar bisa pergi ke dunianya. Aku akan melakukan sebuah ritual, kau jangan mengganggu konsentrasiku."
"Hm, baiklah." Aku bergeser, memberi ruang untuk Bu Angie melakukan ritual yang dikatakannya akan mampu menenangkan arwah Susan.
Bu Angie menutup mata disertai mulut yang tidak berhenti berkomat-kamit, mengucapkan sesuatu. Suaranya sangat pelan, aku tak bisa mendengar apa yang dia lafalkan.
Tak lama setelah itu, Bu Angie menyelesaikan ritualnya. Kedua matanya kembali terbuka.
"Susan, semua urusanmu di dunia ini telah selesai. Tidak ada lagi yang perlu kau khawatirkan. Orang-orang yang telah menyakitimu, kini sudah mendapatkan hukuman yang setimpal. Keluargamu sudah mengetahui kebenarannya, mereka sudah mengikhlaskan. Benar bukan? Tolong kalian katakan sesuatu pada Susan."
Bu Angie mengatakan itu pada keluarga Susan yang tengah berdiri tak jauh dari kami. Seorang wanita paruh baya yang sepertinya ibu Susan, menuruti perkataan Bu Angie dan mulai mengeluarkan suaranya.
"Susan, benarkah kau ada di sini? Kami sudah mengikhlaskan kepergianmu. Pergi lah ke duniamu, Nak. Beristirahat lah dengan tenang. Tidak ada lagi yang perlu kau cemaskan, kami semua baik-baik saja."
Rasa iba menyeruak di dalam dada, ketika ku dengar isak tangis Susan yang begitu pilu. Mungkin hanya aku yang mendengarnya. Air mata bercucuran, dia merentangkan tangan ke depan seolah ingin mendekap sang ibu dalam pelukan.
"Susan menangis."
Semua orang terdiam begitu mendengar ucapanku. Tangisan itu tak bertahan lama karena setelahnya dia menatapku dan mengulas senyum manis seolah tengah berterima kasih padaku. Tubuhnya yang transparan dengan perlahan melayang tinggi, hingga akhirnya menghilang tanpa bekas.
"Benarkah Susan menangis?"
Ibu Susan menanyakan itu disertai air matanya yang ikut mengalir.
“Dia sempat menangis, tapi setelah itu dia tersenyum. Dan sekarang dia sudah menghilang." aku menjelaskan yang sebenarnya pada mereka. Raut haru seketika tergambar di wajah semua orang.
"Baguslah. Itu artinya dia telah kembali ke alamnya. Arwahnya sudah tenang." Angie yang mengatakan ini seraya tersenyum lega.
"Kami mewakili seluruh keluarga Susan, mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada kalian berdua karena sudah membantu Susan." ibu Susan mengatakannya dengan tulus, yang langsung ditanggapi oleh Angie.
"Tidak perlu sungkan. Senang bisa membantu. Lagipula, ini sudah menjadi tugas kami sebagai cenayang."
Keluarga Susan yang terdiri dari ibu dan adik Susan itu pun berpamitan. Wajah mereka tampak berseri-seri. Seperti halnya dengan mereka, aku dan Bu Angie ikut meninggalkan toilet.
Ada pelajaran berharga yang kupetik dari kejadian yang menimpa Susan. Tragedi ini bisa terjadi karena dilandasi rasa iri yang berlebihan. Jessica yang iri dengan kecantikan dan kepopuleran Susan. Setiap manusia pasti memiliki rasa iri. Dan kunci untuk menahannya adalah dengan tidak membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Cukup syukuri yang dimiliki, dengan begitu hidup akan lebih tenang tanpa perlu repot memikirkan ingin menyaingi orang lain.
Aku dan Angie berjalan beriringan dan terhenti saat aku mengingat sesuatu.
"Ooh iya, Bu Angie. Tragedi apa yang dulu pernah terjadi di sini yang menyebabkan toilet ini ditutup?" tanyaku, penasaran.
"Hm ... dulu, setiap siswa yang mendatangi toilet ini, pasti kerasukan. Mungkin arwah Susan ingin meminta bantuan. Sayangnya tidak ada satu pun yang menyadari maksudnya. Sejak saat itu, toilet ini pun ditutup."
"Apa semua siswa sekolah ini mengetahui tragedi itu?"
"Tentu saja.” jawab Angie tegas. “Karena beritanya terus menyebar dari mulut ke mulut hingga semua siswa mengetahuinya. Selain itu, bukankah para guru juga sudah mengumumkan larangan memasuki toilet itu ketika kalian pertama kali memasuki sekolah ini?"
Aku terbelalak, kaget. "Saya tidak pernah mendengarnya?"
"Ooh, iya. Kau ini siswa pindahan, wajar jika kau tidak mendengarnya."
Sebuah pemikiran pun terlintas di benakku. Berdasarkan cerita Bu Angie, semua siswa mengetahui tragedi itu, seharusnya Celia pun mengetahuinya. Lantas kenapa dia menyuruhku ke sana padahal tahu ada larangan memasuki toilet itu? berbagai pikiran buruk seketika terlintas, dengan cepat aku menggeleng untuk menghilangkan pikiran negatif ini. Aku yakin Celia lupa memberitahuku, tidak mungkin dia sengaja membuatku berada dalam bahaya. Dia adalah sahabat baikku di sekolah ini. Tapi, sepertinya aku harus memastikan hal ini dan menanyakan secara langsung padanya.
"Ooh, iya. Leslie, mohon kerja samanya untuk ke depannya ya."
Detik itu juga lamunanku buyar, aku mengernyit bingung. "A-apa maksud ibu?"
"Maksudnya mulai sekarang kita harus bekerja sama menenangkan semua arwah yang masih gentayangan di sekolah ini."
"A-apa? saya tidak mau! Oh iya, tadi ibu mengatakan pada keluarga Susan bahwa kita ini cenayang. Apa maksudnya mengatakan itu? Hanya ibu yang cenayang, saya bukan cenayang. Saya hanya siswa biasa."
Bu Angie menertawakanku. “Kau bisa melihat hantu . Kau sama saja dengan cenayang. Pokoknya mohon kerja samanya ya mulai sekarang!!!"
Bu Angie mengatakan itu sambil mengulas senyum penuh makna. Jujur, aku takut dan sama sekali tidak menyetujui perkataannya itu. Aku pun lari sekencang-kencangnya meninggalkan Bu Angie sambil berteriak dengan keras ...
"AKU TIDAAAAAK MAUUUUU BERURUSAN DENGAN HANTU LAGIIIIIII ...!!!!"