Susan Part 4
Sejak kejadian kemarin, aku tidak bisa tidur nyenyak di Apartemen. Entah kenapa aku merasa ada orang yang mengikutiku. Bahkan ketika berada di sekolah, aku sering merasa kedinginan seakan-akan ada hantu di sampingku. Jujur, perasaan ini membuatku tidak nyaman.
"Leslie, kelihatannya kau sedang tidak sehat? Wajahmu pucat."
Celia yang duduk di sampingku, berbicara demikian. Sebenarnya, aku ingin menceritakan kejadian yang ku alami kemarin pada Celia, tapi aku khawatir dia akan ketakutan setelah mendengarnya. Dan yang paling membuatku takut tidak lain karena kekhawatiran Celia enggan berteman denganku lagi setelah mengetahui kemampuan istimewaku ini. Aku bahagia sejak berteman dengan Celia. Selain itu, entah kenapa teman-teman sekelasku berhenti mengganggu semenjak aku berteman dengan Celia. Aku tidak ingin kehilangan Celia, karenanya ku putuskan untuk merahasiakan kejadian kemarin padanya, tentu termasuk perihal kemampuanku.
"Tidak apa-apa, aku hanya kurang tidur saja." dengan terpaksa aku berbohong.
" Ooh begitu. Syukurlah kalau kau baik-baik saja."
Celia sangat baik, dia mengatakan itu sambil tersenyum lembut seketika rasa bersalah serasa menusuk ulu hati, tak enak hati karena sudah membohonginya.
Tak lama berselang, lonceng tanda sekolah berakhir pun berbunyi. Seperti biasa, aku meninggalkan kelas bersama Celia. Aku sempat tertegun ketika melihat ibu guru yang kemarin ku temui di depan toilet berhantu, kini sedang berdiri di depan kelas kami. Apa yang dia lakukan di sini? Pertanyaanku ini terjawab sudah ketika dia tiba-tiba memanggilku. Mungkinkah dia sengaja menunggu di sini untuk menemuiku? Sepertinya ada yang ingin dia bicarakan dan aku yakin hal ini pasti berhubungan dengan kejadian kemarin. Aku tidak ingin Celia mendengarkan pembicaraan kami, sehingga aku menyuruhnya untuk pulang lebih dulu. Tanpa curiga, Celia menurut. Kami berpisah dan aku berjalan menghampiri guru itu.
"Ada apa Ibu mencari saya?" tanyaku, tanpa basa-basi. Dia tersenyum lebar membuat fisarat buruk mulai menari-nari di dalam kepalaku.
"Ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan padamu. Sebelumnya, perkenalkan namaku Angie Megan." Dia mengulurkan tangan kanan yang mau tak mau ku balas, hingga kami pun berjabatan tangan untuk sesaat.
"Apa yang ingin Ibu tanyakan?" aku ingin segera pulang, karenanya kembali ku lontarkan tanya.
"Sejak kapan kau bisa melihat hantu?"
Aku tercengang mendengar pertanyaan guru ini yang baru ku ketahui bernama Angie. Aku tidak mengerti kenapa dia menanyakan hal ini padaku.
"S-saya tidak mengerti maksud pertanyaan ibu. Kejadian kemarin hanya kebetulan saja aku melihat penampakan hantu itu."
"Tidak, aku tahu kau berbeda, Leslie. Terasa dari auramu, kau memiliki kemampuan istimewa. Sepertinya kemampuanmu itu bisa merasakan keberadaan makhlus halus."
Kali ini Aku terkejut bukan main, aku tidak menyangka dia bisa menyadari kemampuan anehku ini. Tapi, bagaimana bisa dia tahu?
"Kau tidak perlu terkejut begitu, aku akan menceritakan tentang jati diriku. Aku ini berasal dari keluarga cenayang. Keluarga Megan terkenal sebagai keluarga pengusir makhluk halus. Aku datang ke sekolah ini selain untuk mengajar, juga karena sedang menyelidiki keanehan-keanehan di sekolah ini."
"Keanehan-keanehan?"
Bu Angie mengangguk.
"Iya. Apa kau tidak menyadarinya?"
Aku menggeleng sebagai respons untuk menjawab pertanyaan Bu Angie.
"Yaa ... aku rasa wajar jika kau tidak menyadarinya. Kau baru beberapa hari belajar di sekolah ini."
"Memangnya keanehan apa maksud ibu?"
"Sekolah ini ... sejak 57 tahun yang lalu terkenal dengan sistem bullying. Sering terjadi aksi saling bully. Aku yakin di kelasmu juga seperti itu karena sepertinya kau pun menjadi salah satu korban bullying teman-teman sekelasmu, benar?"
"Siapa yang memberitahu ibu, saya menjadi korban bully?" Bu Angie terkekeh, sebelum mulutnya terbuka untuk kembali melanjutkan.
"Kemarin kau dipanggil Pak Zein ke ruang guru, bukan? Aku juga berada di sana ketika kau diinterogasi olehnya. Sebenarnya alasan Pak Zein tidak menghukummu karena kami para guru sudah tahu bahwa kau hanya lah korban bullying teman-teman sekelasmu. Mereka sengaja menjebakmu." Seketika aku melebarkan mata, terkejut tentu saja.
"Lalu, apa hubungannya antara sistem bullying di sekolah ini dengan makhluk halus?" tanyaku, tak paham.
"Aku percaya hal ini disebabkan pengaruh dari makhluk-makhluk halus yang berada di sekolah ini. Perlu kau ketahui bahwa keberadaan makhluk halus sangat mempengaruhi tempat yang mereka tempati. Seperti tempat yang sepi dan dingin, biasanya di situ menandakan keberadaan makhluk halus. Meskipun tidak terlihat, mereka mampu memberikan tanda-tanda keberadaan. Sekolah ini dipenuhi banyak hantu dan keberadaan mereka memberikan pengaruh buruk bagi para siswa."
"Haah? Begitukah? apa rencana ibu selanjutnya?"
"Aku akan mengusir mereka semua. Aku yakin mereka merupakan arwah-arwah penasaran yang masih memiliki keinginan yang belum terpenuhi, itulah sebabnya roh mereka belum tenang dan belum bisa pergi ke dunia mereka."
"Itukah sebabnya kemarin ibu pergi ke toilet itu?" tanpa ku sadari, obrolan kami mengalir begitu saja.
"Ya. Toilet itu salah satu tempat yang memiliki aura mistis sangat kuat. Lagipula toilet itu dijadikan tempat terlarang di sekolah ini."
"Haah ...? Memangnya kenapa?" kembali aku bertanya disertai kedua mataku yang membulat sempurna.
"Beberapa tahun yang lalu pernah terjadi sebuah tragedi di sana, entahlah aku tidak mengetahui tragedi itu dengan pasti, itulah sebabnya aku menyelidiki tempat itu kemarin."
Aku mengangguk berulang kali. "Hm ... begitu ya. Niat ibu sangat mulia, saya mendukung dan mendoakan semoga ibu berhasil mencapai tujuan ibu. Jika tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, saya permisi dulu."
Tanpa menunggu responsnya, aku mulai melangkah bermaksud untuk pulang, jika saja aku tak mendengar dia kembali memanggilku.
"Mau ke mana kau?" dia menangkap tanganku, menahan agar aku tetap tinggal.
"Tentu saja pulang, Bu. Bel tanda pulang sudah berbunyi sejak tadi."
"Kau belum boleh pulang, kau harus membantuku dulu." aku memelotot, sudah ku duga dia memang merencanakan sesuatu karenanya menungguku di depan kelas.
"Membantu apa?" tanyaku penuh curiga.
"Menurutmu untuk apa aku menceritakan hal ini padamu dan repot-repot menunggumu di sini jika bukan karena ada maksud tertentu?"
Aku memutar bola mata. Reaksiku tak sopan sebenarnya, tapi apa mau dikata, aku kesal karena dia terus menahanku padahal aku lelah dan ingin cepat pulang ke Apartemen. "Memangnya apa rencana ibu?" tanyaku malas.
"Aku butuh bantuanmu, Leslie."
"Bantuan apa?" meski aku berusaha menjaga nada suaraku tetap ramah, aku yakin dari ekspresi wajahku yang menahan jengkel, dia menyadari aku tengah kesal padanya.
"Bantu aku mencaritahu apa yang diinginkan hantu di toilet itu."
"A-apa? Kenapa saya harus membantu ibu mencaritahu?!" suaraku meninggi tanpa ku sadari.
"Tentu saja karena kau bisa melihatnya."
"Tapi, ibu kan seorang cenayang, seharusnya ibu bisa melakukannya sendiri. Eh ... tunggu ... jangan katakan ibu tidak bisa melihat hantu?"
Bu Angie tersentak, bola matanya bergulir gelisah. Tiba-tiba dia salah tingkah.
"Be-begitulah ..." sahutnya gugup, menahan malu. Aku terkikik geli. Menurutku lucu ada cenayang yang tidak bisa melihat makhluk halus.
Seolah mengabaikan sopan santun, refleks aku tertawa lantang. "Katanya cenayang, masa tidak bisa lihat hantu? terus bagaimana cara mengusirnya, melihat saja tidak bisa? lucu sekali." dan aku pun kembali tertawa.
"Berani sekali kau menertawakanku!" Bu Angie menggeram kesal namun belum mampu untuk menghentikan tawaku.
"Kau bisa melihat hantu jadi kau pasti bisa berkomunikasi dengannya." Ujarnya kemudian yang kali ini sukses membuat tawa itu menguap entah kemana.
"Itu tidak mungkin, mana bisa saya berkomunikasi dengannya. Saya takut. Jangankan berkomunikasi, melihatnya saja sudah membuat saya gemetaran. Lagipula untuk apa kita harus berkomunikasi dengannya?"
"Bukankah tadi sudah ku katakan, mereka arwah penasaran yang masih memiliki keinginan yang belum terpenuhi, itulah sebabnya mereka belum bisa tenang dan pergi dari dunia ini. Kita harus mencaritahu, itulah sebabnya kita harus berkomunikasi dengan mereka. Selain itu, kemarin kau bilang hantu itu mengikutimu, itu pertanda bahwa ada sesuatu yang ingin dia sampaikan padamu."
"Tapi, saya tidak yakin bisa berkomunikasi dengan mereka. Sebenarnya, kemarin itu pertama kalinya saya melihat penampakan hantu. Memang benar sejak kecil saya bisa merasakan keberadaan mereka, tapi saya belum pernah melihat mereka sebelumnya."
"Kau pasti bisa."
"Saya tidak bisa."
Entah sejak kapan obrolan ringan kami berubah menjadi adu mulut seperti ini. Tak ada yang mau mengalah di antara kami.
"Bagaimana kau tahu jika tidak mencobanya?" dia masih berusaha membujukku.
"Maaf, Bu. Saya benar-benar tidak bisa melakukannya."
Mengabaikan eksistensinya, aku kembali melangkah meninggalkan Bu Angie, aku merasa akan jadi berbahaya jika terus berurusan dengannya.
"Apa kau tidak ingin merubah kondisi sekolah ini? Grandes High School ini merupakan tempat kau menuntut ilmu sekarang. Tidak ingin kah kau merubah keadaan sekolah ini agar sama dengan sekolahmu dulu? Tidak ingin kah kau menghilangkan sistem bullying di sekolah ini dan bisa akrab dengan teman-teman sekelasmu? Tidak bosankah kau menjadi korban bully teman-temanmu?"
Dan rentetan pertanyaan Bu Angie telah sukses membuatku terbelalak. Aku berhenti melangkah. Sebenarnya, memang benar yang Bu Angie katakan, aku ingin sekolah ini bisa sama dengan sekolahku yang dulu. Aku ingin bisa dekat dengan teman-teman sekelasku.
Tapi ...
Tidak dapat kupungkiri perasaan takut yang menderaku saat ini. Aku tidak memiliki cukup keberanian untuk bertemu apalagi berkomunikasi dengan hantu yang menyeramkan itu. Entah apa yang harus aku lakukan?