Joan Part 2
Aku meronta, mencoba keluar dari kolam. Tangan itu terus menarikku, tak membiarkanku keluar. Kini aku semakin tenggelam. Ketika di dalam air, aku melihat satu sosok mendekatiku. Gerakannya begitu cepat dan dalam sekejap berada tepat di depanku.
Aku terbelalak saat menyadari sosok itu seorang laki-laki. Wajahnya begitu pucat dengan bola mata berwarna putih seluruhnya.
Aku begitu ketakutan, ingin sekali secepatnya naik ke permukaan. Saat berpikir mungkinkah ajalku telah tiba? sesuatu menyentuh pundakku, lalu menarikku ke atas. Aku terbatuk hebat begitu naik ke permukaan.
"Leslie, kau baik-baik saja?" suara Bu Angie yang panik, menjadi satu-satunya suara yang ku dengar sekarang. Rupanya dialah yang menyelamatkanku.
"Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba kau jatuh ke kolam?"
"Tadi ada yang menarik saya. Saya juga melihat hantu di dalam air itu." tatapanku tertuju pada air kolam yang tenang seolah sosok yang ku lihat tadi sudah tak ada di dalam.
"Benarkah? Kenapa kau tidak berkomunikasi dengannya, dia pasti hantu yang selama ini mencelakakan para siswa."
"Sudah saya katakan, saya tidak bisa berkomunikasi dengan mereka. Jangankan berkomunikasi, melihat mereka saja saya sudah ketakutan setengah mati." Ucapku sebal karena Bu Angie menyepelekan kejadian yang baru saja menimpaku.
"Aku yakin hantu itu pasti akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Susan kemarin, mungkin dia menarikmu ke dalam air karena ingin memperlihatkan masa lalunya padamu, Leslie."
"Sekarang saya harus bagaimana? Jangan katakan ibu, menyuruh saya masuk lagi ke dalam air menemui hantu itu?"
"Te-tentu saja tidak. Kau terlihat ketakutan." Katanya sembari terkekeh, sukses membuat kejengkelanku memuncak.
"Tentu saja saya takut! Tiba-tiba ditarik ke dalam air, terus bertemu dengan hantu menyeramkan. Coba ibu yang mengalami ini, ibu juga pasti takut." Sahutku, tak peduli lagi meski suaraku terdengar begitu sinis.
Bu Angie kembali terkekeh, aku mendelik tajam padanya. “Iya, iya, aku mengerti. Ya sudah besok saja kita kembali lagi."
"Tidak mau, besok kan hari minggu." Yang benar saja, mana mau aku menemui si hantu di hari liburku yang berharga.
"Ooh iya, besok hari minggu. Aku lupa."
"Iya, jadi kita tidak bisa datang ke tempat ini besok."
"Tidak, maksudku kebetulan sekali besok hari minggu. Ini kesempatan bagus untuk mencari tahu."
Bu Angie mengatakan itu sambil menyengir lebar.
"Saya tidak mau datang ke sekolah di hari libur. Menunggu bus seorang diri di halte, saya tidak mau!"
"Bukankah biasanya juga kau sendirian menunggu bus di halte?"
"Tentu saja tidak.” aku membantah. “Biasanya banyak orang yang menunggu di halte. Ada orang yang berangkat kerja, ada juga orang yang berangkat ke sekolah sepertiku. Besok semua orang libur jadi pasti tidak ada orang di halte, aku tidak mau menunggu bus sendirian" aku masih bersikukuh menolak ajakannya.
"Hm, ya sudah kau menginap saja malam ini di rumahku. Besok kita bisa datang ke tempat ini bersama-sama dengan mobilku."
"Aku tetap tidak mau."
Aku bangkit berdiri, berjalan tanpa kata, meninggalkan Bu Angie yang masih mematung di tempat. Yang ada di pikiranku sekarang hanyalah pulang ke Apartemen.
"Kau yakin naik bus umum dengan basah kuyup begitu?"
Aku tertegun, benar yang dia katakan tidak mungkin aku naik bus umum dengan penampilan seperti ini. Semua orang pasti akan memperhatikanku.
"Sepertinya tidak ada pilihan selain menginap di rumahku."
Mendesis kesal disertai kedua tanganku yang terkepal erat. Aku berbalik badan, menghadap Bu Angie. Senyum penuh kemenangan terukir di wajahnya yang menyebalkan. Huuh ... harus ku akui, dia menang kali ini. Akhirnya aku hanya bisa pasrah menerima kekalahanku.
Hal pertama yang ku lihat setibanya di rumah Bu Angie adalah sebuah rumah yang megah dengan tiga lantai. Halamannya cukup luas bahkan ada patung anak kecil bersayap yang mengeluarkan air mancur. Sayangnya di sini tak ada taman bunga, melainkan hanya ada pepohonan tinggi di bagian samping. Pohon-pohon rimbun berdaun lebat yang membuat rumah ini terlihat suram. Sepertinya jiwa cenayang Bu Angie sudah tak tertolong lagi, rumahnya saja seram begini.
"Kau terkejut melihat rumahku?" tanyanya, memecah keheningan.
"Rumah ibu besar juga ya?"
"Sudah ku katakan keluargaku cenayang terkenal."
Aku mengangguk ketika mengingat Bu Angie memang pernah mengatakan tentang keluarganya.
Aku melihat-lihat seisi rumah Bu Angie begitu kami masuk. Banyak benda-benda aneh terpasang. Ada bawang putih bergelantungan di pintu. Banyak pula bungkusan kecil yang tak ku ketahui apa isinya, bergelantungan menghiasi rumah ini. Rasa penasaran naik ke permukaan hingga dengan berani, kutanyakan pada Bu Angie.
"Bu, kenapa banyak bawang putih? Dan apa isi bungkusan yang digantung-gantung itu?" kutunjuk bungkusan-bungkusan yang kumaksud.
"Bawang putih dan garam dipercaya merupakan benda yang dibenci makhluk halus. Aku tidak ingin rumahku ditinggali hantu jadi aku menggantungkannya."
"Bungkusan itu berisi garam?"
"Ya, begitulah."
Sekuat tenaga aku menahan tawa. Tak habis pikir di zaman yang modern ini masih saja ada orang yang berpikiran kuno seperti Bu Angie.
Aku semakin ingin tertawa ketika melihat kamar Bu Angie. Dari semua ruangan di rumah ini, di kamarnya lah bawang putih dan garam paling banyak bergelantungan.
"Kau mau tidur di kamar tamu?"
"Tidak. Aku tidur bersama ibu saja di kamar ini." sahutku. Menginap di rumah seram seperti ini, jelas aku tak mau tidur sendirian.
"Terserah kau saja." katanya.
Aku pergi mandi setelah itu, berganti piyama yang dipinjamkan Bu Angie. Kami menyantap makanan yang dimasak sendiri oleh Bu Angie. Tak ku sangka dia pandai memasak karena rasanya pas di lidahku.
"Ibu pintar memasak juga ya." dengan tulus memuji disela kesibukanku mengunyah makanan.
"Aku terbiasa hidup sendiri. Sudah biasa memasak."
"Berapa usia ibu?"
"25 tahun."
Aku mengangguk, entah sejak kapan rasanya tak sungkan lagi banyak bertanya padanya. Padahal jika dipikir-pikir, dia ini tetap lah seorang guru. Harusnya aku menjaga sikap di depannya, kan? Tapi sudah lah, aku tak peduli. Toh dia juga sering merepotkanku.
"Kenapa ibu belum menikah padahal usia ibu sudah pantas untuk menikah?" Nah kan, aku bahkan sudah lancang menanyakan ini.
"Pacar saja tidak punya, bagaimana bisa menikah?"
Kunyahan di dalam mulut nyaris keluar lagi saat tanpa sadar aku tertawa lantang. Tidak sopan memang, rasanya lucu saja saat mengingat gaya hidup Bu Angie yang kuno. Aku tak heran dia belum memiliki kekasih.
"Kenapa kau tertawa?" raut tak sukanya, tercetak jelas. Seketika ku hentikan tawaku.
"Bagaimana ibu bisa punya pacar, pemikiran ibu kuno begini.” Kataku dengan berani. “Maaf ibu jangan marah ya, menurut saya penampilan ibu juga sangat norak. Mana ada laki-laki yang tertarik jika penampilan ibu seperti ini." dan tawaku kembali menggelegar.
Menurutku penampilan Bu Angie memang sangat norak. Setiap hari dia selalu memakai pakaian serba hitam. Dia selalu memakai rok panjang, semenjak bertemu dengan Bu Angie, aku tidak pernah sekali pun melihatnya memakai celana. Rambutnya yang panjang selalu di kepang. Padahal Bu Angie sangat cantik, namun tertutupi penampilannya yang suram.
"Dasar anak tidak sopan." Dia menggerutu, tapi tak terlihat marah.
"Menurut saya, ibu sangat cantik. Coba ibu berdandan, pasti semakin cantik. Pasti banyak laki-laki yang mendekati ibu."
"Kau ini masih remaja tapi pemikiranmu sudah seperti orang dewasa. Memangnya kau sendiri punya pacar?" aku sedikit tersentak mendengar pertanyaannya. Kembali menunduk untuk mengaduk sup ayam di piring, aku menggeleng ringan.
"Tidak punya. Saya belum pernah pacaran." Jawabku jujur.
"Kenapa? Padahal kau sangat cantik. Pasti banyak pemuda yang menyukaimu." Bu Angie memperhatikan wajahku sembari bertopang dagu di atas meja, ditatap seintens itu tentu saja membuatku risih.
"Hm ... saya belum menemukan orang yang bisa membuat jantung saya berdebar cepat. Lebih tepatnya saya belum menemukan seseorang yang bisa membuat saya jatuh cinta."
"Itu artinya kau belum menemukan cinta pertama?"
"Begitulah."
"Hummmpptt ... Hahahahahahahaha ..."
Kini, aku yang mendelik tajam karena dia yang tiba-tiba tertawa.
"Kenapa ibu tertawa?"
"Karena menurutku kau sangat lucu. Gadis seumuranmu seharusnya sudah merasakan cinta pertama. Ini bukti kau masih sangat lugu jadi jangan sembarangan memberi nasehat padaku. Kau saja tidak paham tentang cinta, kan?"
"Saya jauh lebih baik dibandingkan ibu. Sudah berumur 25 tahun tapi tidak punya pacar." Aku balas mencela, mengabaikan kemungkinan dia akan marah.
"Apa kau bilang? Berani sekali kau mengatakan itu pada gurumu."
"Ibu yang salah, tadi saja menertawakan saya!"
"Kalau perlu kuingatkan lagi, tadi kau yang duluan menertawakanku."
"Pokoknya ibu yang salah!!!"
Aku dan Bu Angie saling menatap. Lama saling adu tatap, kami tertawa saat menyadari tingkahlaku kami seperti anak kecil.
"Leslie, jika sedang berdua begini, kau boleh memanggilku Angie saja. Kau juga tidak perlu bicara formal." katanya tiba-tiba yang sukses membuatku tercengang.
"Haah? rasanya tidak sopan memanggil nama ibu, walau bagaimanapun ibu adalah guruku."
"Selain gurumu, aku juga temanmu. Lagipula aku tidak mengajar di kelasmu. Kita lebih sering menghabiskan waktu layaknya teman daripada guru dan murid, kan?"
Berdeham sejenak, ku akui yang dikatakannya benar. Kami lebih cocok menjadi teman dibandingkan guru dan murid.
"Hm, benar juga ya.” aku memperbaiki posisi dudukku yang bersandar menjadi tegak. “ Karena ibu yang meminta, aku akan memanggil Angie mulai sekarang."
Bu Angie ... akkhhh ... tidak ... maksudku Angie, mengangguk sembari mengangkat jempolnya.
Malam semakin larut, aku dan Angie memutuskan untuk tidur. Besok aku dan Angie akan datang ke sekolah untuk menemui hantu di kolam renang itu. Pasti akan menjadi hari yang sangat panjang untuk kami. Kami harus mengumpulkan tenaga dengan tidur cukup, malam ini.