Cindy Part 4
Setelah kemarin, kami menceritakan semua yang dialami Cindy kepada Pak Kepala Sekolah. Beliau menyuruh kami membawa Marry ke Laboratorium Biologi untuk meminta maaf pada Cindy dan mengakui kejahatannya. Tentu saja Marry menolak, dia bahkan tidak mengakui perbuatannya. Berkat ancaman Angie yang mengatakan akan melaporkannya pada Polisi karena kami memiliki bukti kejahatannya, Marry pun bersedia mengikuti kami. Angie mengancam akan memberikan bukti rekaman CCTV ketika Marry mengunci pintu Laboratorium Biologi tahun lalu. Sebenarnya, kami belum mengecek rekaman itu, tapi kami yakin seharusnya kejadian itu terekam kamera CCTV mengingat ada kamera di letakan di sudut dinding dekat pintu.
Mungkin karena dulu tak ada yang curiga Cindy sengaja dikurung, tak ada seorang pun yang memeriksa rekaman CCTV.
Sesampainya di ruang Laboratorium Biologi, aku melihat hantu tengkorak tengah melayang di udara.
"Cindy ada di sini, cepat kau meminta maaf padanya!"
Aku mengatakan itu dengan ketus pada Marry, aku sangat marah padanya yang setega itu mengurung Marry di ruangan ini.
"Cepat katakan sesuatu!"
Mendengar Angie membentak Marry, sepertinya Angie pun merasakan kemarahan yang sama denganku.
"C-Cindy ... aku minta maaf. Aku terpaksa melakukan itu. Seperti yang kau ketahui, aku bisa terus belajar di sekolah ini karena beasiswa yang aku dapatkan. Kau tahu aku bukan berasal dari keluarga kaya raya. Aku mendapatkan beasiswa itu karena prestasiku. Selama ini aku selalu menjadi juara kelas, tapi semenjak aku satu kelas denganmu, aku selalu kalah darimu. Aku takut ... takut beasiswaku dicabut karena tidak bisa mempertahankan prestasiku lalu dikeluarkan dari sekolah ini. Aku takut dicela karena putus sekolah. Aku sering mendapat hinaan dan cemoohan karena aku miskin dari tetangga yang sombong. Aku tidak mau menerima hinaan yang sama di sekolah ini. Beasiswa ini, penyelamat hidupku. Aku tidak akan pernah melepaskannya. Aku terpaksa melakukan ini padamu agar kau tidak jadi penghalangku lagi. Tapi sekarang aku sangat menyesalinya, aku tidak bisa hidup tenang setelah kejadian itu. Walaupun aku berhasil mempertahankan prestasi dan beasiswaku, tetapi bayanganmu dan rasa bersalah selalu menghantuiku. Ini tidak seperti yang aku inginkan. Maafkan aku Cindy ... aku mohon maafkan aku."
Marry mengatakan itu sambil berlinang air mata. Aku sempat merasa simpati mendengar pengakuannya namun tetap saja yang dia lakukan itu salah. Menghalalkan segala cara demi bisa mencapai tujuannya.
Aku mengalihkan tatapan yang sejak tadi tertuju pada Marry, kini aku menatap hantu Cindy. Rambut panjang yang menempel pada tengkorak kepalanya berkibar-kibar dan entah ini hanya perasaanku saja atau memang sebuah kenyataan, aku melihat matanya yang berwarna merah menyala itu semakin bersinar terang. Kemudian ...
Tubuh Marry tiba-tiba terangkat ke atas dan melayang di udara. Tubuh Marry terbang mendekati hantu Cindy. Setelah itu, aku yakin hanya aku yang melihatnya ... hantu Cindy mencekik leher Marry hingga meronta-ronta di udara.
"A-apa yang terjadi pada Marry?" tanya Angie, panik.
"Cindy mencekiknya." Aku pun ikut panik.
"A-apa?"
Aku tengah memutar otak untuk menyelamatkan Marry. Saat menoleh ke samping dan melihat Angie menutup mata sambil mulutnya bergerak-gerak yang menandakan dia sedang melakukan sebuah ritual. Aku tahu Angie sedang berusaha menyelamatkan Marry dari kemarahan Cindy. Namun, semua yang dilakukan Angie tidak berpengaruh apa pun, hantu Cindy masih tetap mencekik Marry.
"Leslie, lemparkan garam ini ke arah hantu Cindy!" teriaknya sambil menyerahkan sebuah bungkusan padaku.
"I-iya!"
Aku menuruti perintah Angie, mengambil bungkusan yang diberikan Angie, lalu aku berlari ke arah hantu Cindy yang melayang di udara, masih mencekik Marry. Tanpa ragu aku melemparkan garam yang berada di dalam bungkusan pada sang hantu. Ledakan disertai asap putih selalu terjadi setiap kali garam mengenai Cindy. Cindy terlihat kesakitan namun dia tidak melepaskan cengkeraman tangannya pada leher Marry.
"Cindy, lepaskan Marry. Jangan membunuhnya! jika kau membunuhnya, kau sama saja dengannya. Kau akan menjadi sama buruknya dengan dia. Maafkan dia. Lepaskan Marry. Biarkan polisi yang menghukumnya. Jangan jadi pembunuh sepertinya. Aku tahu kau sangat marah, tapi biarkan dia mendapatkan hukuman yang pantas. Jangan menjadi pembunuh sepertinya Cindy!"
Meskipun Angie berteriak mencoba menyadarkan hantu Cindy, namun sang hantu mengabaikannya. Dia tetap mencekik leher Marry tanpa ada sedikit pun tanda-tanda akan melepaskannya. Aku terus melemparkan garam, tapi percuma ... meskipun Cindy terlihat kesakitan, dia tetap tidak melepaskan Marry. Bahkan semakin aku melemparkan garam padanya, semakin kuat Cindy mencekik Marry, hingga aku pun memutuskan untuk berhenti melemparkan garam padanya.
"Bagaimana ini, Angie? Jika terus seperti ini, Marry bisa mati." Aku kebingungan sekarang.
Marry terlihat mulai lemas dan kesulitan bernapas. aku dan Angie sudah tidak tahu lagi apa yang harus kami lakukan untuk menghentikan kemarahan Cindy.
"Hentikan, Cindy!"
Hingga sebuah teriakan tiba-tiba terdengar dari arah pintu, Aku dan Angie serempak menoleh. Pak Kepala Sekolah bersama seorang laki-laki paruh baya, memasuki ruangan ini. Laki-laki itu, wajahnya sudah tidak asing bagiku. Setelah ku perhatikan ternyata dia adalah ayah Cindy.
"Hentikan, Cindy. Lepaskan dia. Jangan membunuhnya. Kau anak yang baik dan pintar. Kau bilang ingin membuat ayah dan ibu bangga padamu. Cindy, selama ini ayah dan ibu selalu bangga padamu, kau adalah putri kebanggaan kami. Jangan merusak kebanggaan kami padamu hanya karena kau membunuh dia. Lepaskan dia, Cindy. Biarkan polisi yang menghukumnya. Jangan membuat ayah dan ibu kecewa padamu!"
Setelah mendengar ucapan ayahnya, Cindy melepaskan cengkeraman tangannya pada leher Marry. Marry pun terjatuh, cukup keras menghantam lantai saat mendarat. Aku dan Angie segera menghampiri Marry, kami lega ketika melihat Marry baik-baik saja.
Aku kembali menengadah menatap hantu Cindy yang masih melayang di udara. Terbelalak saat melihat hantu Cindy yang berbentuk tengkorak itu tiba-tiba berubah. Penampilannya saat ini sama seperti saat dia masih hidup. Cindy memiliki wajah yang manis dengan rambutnya yang panjang. Hantu Cindy terlihat cantik meskipun sangat pucat dan lingkaran hitam mengelilingi kelopak matanya. Dia mengenakan pakaian berwarna putih polos yang panjang hingga menutupi kaki dan tangannya.
Air mataku perlahan mengalir melihat hantu Cindy menangis sambil menatap sendu ayahnya. Orang lain tidak bisa melihat ataupun mendengar tangisannya, hanya aku yang melihat Cindy menangis hingga suara tangisannya menggema di ruangan ini.
"Jangan menangis, Cindy. Ayahmu sangat menyayangimu. Dia selalu bangga padamu." Aku berusaha menghiburnya.
"Apa Cindy sedang menangis?" ayah Cindy bertanya, yang kubalas dengan anggukan. Mendengar hal itu, ayah Cindy ikut meneteskan air mata.
"Jangan menangis, Nak. Benar yang dikatakan gadis ini, ayah selalu bangga padamu. Ayah juga sangat menyayangimu. Maafkan ayah karena saat kau menderita terkurung di sini, ayah tidak ada bersamamu. Ayah pergi ke luar negeri dan tidak pernah menghubungimu karena sibuk bekerja. Seandainya ayah menyempatkan waktu menelepon ke rumah, mungkin ayah akan tahu kau tidak ada di rumah. Maafkan ayah, nak.”
Hantu Cindy menggeleng, tak menyalahkan ayahnya sedikit pun. Jika dipikir-pikir, pantas saja tak ada yang menyadari Cindy telah hilang, rupanya sang ayah yang menjadi satu-satunya orang yang serumah dengannya, sedang tak ada di tempat.
“Ayah sudah merelakan kepergianmu, Cindy. Beristirahat lah dengan tenang di duniamu. Seharusnya kau senang karena akan segera bertemu dengan ibumu. Kau ingin membuat ibumu bangga, bukan?"
Aku melihat hantu Cindy mengangguk, segera kusampaikan pada ayah Cindy.
"Cindy mengangguk. Dia mendengarkan semua yang paman katakan."
Ayah Cindy tersenyum, lalu melanjutkan perkataannya.
"Jika kau ingin membuat ibumu bangga maafkan lah gadis itu . Temui ibumu dengan senyuman. Jika kau mau menurut, ayah juga akan bangga padamu, nak."
Air mata semakin mengalir deras membanjiri wajah keriput ayah Cindy, sama halnya denganku yang sulit menghentikan air mata ini.
"Pergi dan beristirahat lah dengan tenang bersama ibumu di dunia kalian. Cindy ....” ayah Cindy menjeda, menunduk sambil sibuk menghapus lelehan air mata dengan punggung tangannya. “ ... ayah sangat menyayangimu."
Melihat tubuh ayah Cindy bergetar hebat karena tangisannya yang tak kunjung reda, Pak Kepala Sekolah menghampiri lantas mengusap punggungnya, mencoba untuk menenangkan.
"Maafkan ayah jadi cengeng begini. Beristirahatlah dengan tenang putriku. Ayah sudah merelakan kepergianmu."
Tangisan Cindy berhenti, digantikan senyuman lebar terulas di bibirnya yang pucat. Perlahan namun pasti, tubuhnya mulai memudar hingga akhirnya benar-benar lenyap dari pandanganku.
"Cindy sudah pergi." kuberitahukan hal ini pada semua orang.
"Syukurlah , arwah Cindy sudah tenang dan sudah bisa pergi ke dunianya dengan damai."
Mendengar ucapan Angie, kelegaan seketika menyeruak di dalam hati. Sekali lagi berkat kemampuanku, kami bisa membantu orang lain.
"Dengar Marry, ini pelajaran berharga untukmu. Kau masih muda, hidupmu masih panjang, jangan pernah mengulangi hal seperti ini lagi di masa depan. Ketika kau ingin mendapatkan atau mempertahankan sesuatu, kau harus berjuang mendapatkannya secara sehat, jangan pernah melakukan kecurangan hingga membuatmu menjadi seorang penjahat." Angie yang menasehati. Marry menunduk, kepalanya terangguk berulang kali.
"Maafkan aku ... aku sangat menyesal. Aku tidak akan mengulanginya lagi, aku berjanji."
Kali ini Marry yang menangis tersedu-sedu. Aku harap setelah kejadian ini, Marry berubah dan tidak akan melakukan kejahatan lagi di masa depan.
Pada akhirnya, Pak Kepala Sekolah ditemani beberapa guru, membawa Marry ke kantor polisi untuk menyerahkan diri. Yang kudengar dari Angie, Marry mengakui semua kejahatannya pada polisi. Sudah bisa dipastikan Marry akan menerima hukuman yang setimpal dengan kejahatannya.
Bukankah manusia tidak hidup sendirian? Sampai kapan pun manusia adalah makhluk sosial yang akan selalu berinteraksi dengan orang lain. Dan wajar jika ada persaingan dalam interaksi tersebut. Persaingan yang harus dilakukan secara sehat, bukan dengan cara curang yang pada akhirnya akan merugikan diri sendiri. Ingatlah, apa yang ditanam maka itulah yang akan dituai. Inilah pelajaran hidup lain yang kudapatkan setelah menyaksikan tragedi yang menimpa Marry yang melakukan kecurangan hanya demi bisa menjadi pemenang.
Esok harinya, ketika aku sedang duduk di taman sekolah bersama Angie, sebuah pemikiran terlintas di benakku. Aku ingin mengetahui jawabannya sehingga aku menanyakannya pada Angie.
"Angie, kenapa hantu Cindy memperlihatkan kenangannya padaku tanpa menyentuh kepalaku, tidak seperti hantu Susan dan Joan ya?"
"Kau bilang tatapan kalian saling beradu, bukan?"
“Ya.” jawabku sambil mengangguk.
"Itulah cara dia memperlihatkan kenangannya padamu. Setiap hantu memiliki cara sendiri untuk berkomunikasi."
"Begitu rupanya. Sebenarnya, aku masih tidak mengerti kenapa hantu-hantu itu memperlihatkan kenangan mereka padaku bukan pada orang lain?"
"Sudah ku katakan kau ini memiliki kemampuan khusus untuk berkomunikasi dengan makhluk halus. Bukan hanya kita yang bisa merasakan kehadiran para hantu, mereka juga bisa merasakan kemampuan khususmu itu. Mereka menyadari kau orang yang bisa membantu mereka."
"Aku juga heran kenapa sekarang aku bisa melihat hantu padahal dulu tidak pernah. Sebelum aku mendatangi Grandes High School, tidak pernah sekalipun melihat penampakan hantu. Biasanya aku hanya bisa merasakan kehadiran mereka. Kenapa sekarang aku bisa melihat penampakan mereka ya?"
Kesepuluh jemariku saling meremas di atas pangkuan, pertanyaan yang kutanyakan pada Angie memang sangat ingin kuketahui jawabannya.
"Semakin bertambahnya usiamu, kemampuanmu juga bertambah kuat. Kemampuanmu akan terus berkembang seiring bertambahnya usiamu, Leslie." Angie menjelaskan, dia menggenggam tanganku seolah tengah menguatkan.
"Begitu ya?" gumamku, mulai paham.
"Sudahlah jangan banyak berpikir. Kau harus mensyukurinya, ini kelebihanmu. Berkat kemampuanmu, banyak arwah yang berhasil kau tolong. Lihatlah, Grandes High School ini perlahan mulai cerah, sistem bully di antara siswa sedikit demi sedikit mulai berkurang. Kita harus tetap berjuang, masih banyak tempat di sekolah ini yang menyimpan aura mistis dan misteri yang harus kita ungkap. Aku akan membawamu ke tempat-tempat itu, jadi kau harus mempersiapkan diri."
"Hm, aku mengerti." Sahutku seraya mengulas senyum.
Benar yang Angie katakan, aku harus mempersiapkan diri untuk bertemu dengan hantu-hantu selanjutnya. Entah hantu seperti apa lagi yang akan aku temui nanti. Dan entah kenangan seperti apa lagi yang akan aku lihat. Tapi, aku bersama Angie tidak akan pernah mundur sampai tujuan kami tercapai yaitu membuat Grandes High School menjadi sekolah yang damai dan tidak angker lagi.