Roan Part 1
Begitu terdengar bunyi bel, tanda pelajaran hari ini berakhir, aku bergegas ke ruang guru untuk menemui Angie. Tidak seperti kemarin dimana aku harus menunggu lama di depan ruang guru. Angie keluar beberapa menit setelah aku tiba di sana.
"Angie, ke mana hari ini kita akan pergi?"
"Ikuti saja aku, nanti juga kau akan tahu."
Angie mengatakan itu sambil mengedipkan sebelah mata, membuatku curiga.
Aku mengikuti Angie yang berjalan di depan. Langkah kami terhenti tepat di depan sebuah ruangan. Aku belum pernah masuk ke dalam sejak menginjakkan kaki di Grandes High School, entah ruangan apa ini?
"Apa kau sudah siap?" tanya Angie, memasang ekspresi jenaka. Aku jadi semakin mencurigainya. Pasti dia sedang merencanakan sesuatu.
"Maksudmu siap melihat hantu?"
Angie tiba-tiba tertawa, mengabaikan tatapanku yang memicing tajam padanya, dia membuka pintu ruangan itu.
Aku tercengang ketika melihat suasana di dalam begitu ramai. Banyak siswa tengah berteriak memberi semangat. Ruangan ini ... aku yakin ini lapangan basket indoor karena banyak pemuda bertubuh tinggi sedang bermain basket sekarang. Sepertinya mereka sedang mengadakan pertandingan. Sudah satu minggu lebih aku belajar di sekolah ini, baru sekarang aku mengetahui ada lapangan basket indoor.
"Kau pasti terkejut, kan?"
"I-iya. Aku baru tahu ada ruangan seperti ini."
"Banyak hal yang belum kau ketahui tentang Grandes High School." Kata Angie sambil membusungkan dada, entah membanggakan apa karena menurutku tak ada yang bisa dibanggakan dari sekolah angker ini.
"SEAN ... SEAN ... SEAN ... SEAN ... !!!"
Semua orang berteriak menyerukan sebuah nama. Aku heran kenapa semua orang meneriakkan nama itu seakan-akan dia orang yang begitu populer.
Aku menatap ke arah lapangan di mana pertandingan basket sedang berlangsung. Jika melihat seragam para pemain basket itu, sepertinya mereka berasal dari dua sekolah. Seragam yang berwarna kuning sepertinya seragam team basket sekolah kami, karena di baju seragam itu tertulis 'Grandes High School', sedangkan seragam lawan berwarna hitam.
Aku terpukau saat melihat gerakan para pemain sekolah kami yang begitu cepat, terutama gerakan seorang pemuda yang memakai seragam bernomor punggung 11. Berulang kali dia berhasil memasukkan bola ke dalam keranjang. Ketika dia membawa bola, tidak ada satu orang pun yang bisa menandingi kecepatannya dan tidak ada yang bisa merebut bola dari tangannya.
Aku semakin terpukau pada pemain bernomor punggung 11 itu, ketika dengan gerakan cepat dia lari ke dekat keranjang sambil membawa bola, lantas melompat begitu tinggi dan seorang diri langsung memasukkan bola itu ke dalam keranjang. Dia berpegangan pada keranjang hingga bergelantungan.
“Wooow ... Nice Shoot ... Slam Dunk ... Sean ... kereeen ... Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaa ...!!"
Suara teriakan para gadis begitu menyaksikan kehebatan pemain bernomor 11, saling bersahut-sahutan..
"Ayo maju teman-teman!" teriak pemain nomor 11, memberikan instruksi pada pemain yang lain.
"Yeaah ...!!" pemain lain serempak menyahut.
Mungkinkah dia kapten team basket sekolah kami karena aku melihat ada sesuatu yang berwarna hitam melingkar di pergelangan tangannya?
Suasana begitu ramai, terutama setiap pemain bernomor 11 berhasil memasukkan bola ke dalam keranjang, seketika suara teriakan semakin menggema. Semua orang berteriak mengelu-elukan sebuah nama. Dari yang aku dengar mereka mengelu-elukan nama 'SEAN', mungkinkah ini nama pemain bernomor 11 itu?
Sejak dulu, aku tidak tertarik menonton pertandingan basket. Namun, untuk pertama kalinya aku begitu menikmati menonton pertandingan ini. Yang membuatku terpukau akan pertandingan ini tidak lain karena permainan pemain bernomor 11 itu, kemampuannya luar biasa. Tidak ada satu orang pun dari team lawan yang mampu menandingi kecepatan gerakannya. Dia pemain yang hebat.
PRIIIIIIIIIT ...!!
Terdengar suara peluit yang menandakan berakhirnya pertandingan. Team basket sekolah kami berhasil memenangkan pertandingan dengan skor yang cukup mencengangkan, 110-46. Dan skor itu sebagian besar diciptakan oleh pemain bernomor 11.
"Terima kasih atas dukungan kalian semua!!"
Pemain bernomor 11 berteriak mengucapkan terima kasih kepada seluruh penonton sambil melambaikan tangan.
"KYAAAAAAA ... SEAAAAN ... KEREEEN!!"
Tentu saja perbuatannya itu sukses membuat seisi ruangan bergemuruh dengan teriakan histeris para gadis.
"Waah ... waah ... Leslie, sejak datang kemari kau menatap Sean tanpa berkedip, jangan katakan kau terpesona padanya?"
Perkataan Angie membuatku tersadar bahwa aku tidak sedang sendirian di sini, ada Angie yang berdiri di sampingku. Aku malu menyadari sejak tadi Angie memperhatikan. Mungkin menyadari aku tak hentinya menatap ke arah pemain bernomor 11 yang sepertinya memang bernama Sean.
"Ti-tidak kok." Tak mungkin aku mengakuinya.
"Tidak perlu gugup begitu, wajar saja kau tertarik padanya. Semua siswi di sekolah ini juga tertarik padanya. Itu hal yang wajar, selain tampan, dia juga memiliki postur tubuh ideal untuk ukuran laki-laki. Setahuku tinggi badannya hampir 180 cm, ya wajar lah pemain basket badannya tinggi-tinggi. Dia juga pemain terhebat di team basket sekolah kita. Karena kehebatannya, walau masih duduk di kelas 1, dia sudah diangkat menjadi kapten."
"Be-benarkah?" tanyaku, takjub.
"Ya, dia juga sangat ramah dan tidak sombong. Melihat dia menyapa semua penonton tadi, aku yakin kau pun menyadari hal itu. Dia baik hati, sayangnya dia sedikit dingin pada lawan jenis."
"Maksudnya?" aku memiringkan kepala, tak paham.
"Seperti yang ku katakan tadi, hampir semua siswi di sekolah ini menyukai dia dan berlomba-lomba untuk bisa menjadi kekasihnya. Tapi, tidak ada satu pun yang berhasil menarik perhatian Sean."
"Hooo ... begitu. Memang siapa namanya?"
"Sean Maxwell. Sepertinya kau memang tertarik padanya? Apa kau ingin mencoba mendekatinya? Mungkin saja kau berhasil menarik perhatiannya." Goda Angie, sengaja menyenggol lenganku.
"Te-tentu saja tidak . Kau ini bicara apa sih Angie?"
"Dari kegugupanmu itu terlihat jelas kau memang tertarik padanya." kekehannya sungguh membuatku kesal sekarang.
"Sudah ku katakan tidak, sudah jangan menggodaku terus!"
Angie menertawakanku sekarang. Aku mendengus sebal sembari memutar bola mata.
"Bukankah kau mau mengajakku ke tempat berhantu, kenapa malah membawaku kemari untuk menonton pertandingan basket?" dengan sengaja aku merubah topik pembicaraan.
"Aku memang mengajakmu ke tempat berhantu kok, hantu yang akan kita temui berhubungan dengan club basket ini. Aku dengar ada pertandingan persahabatan dengan sekolah lain makanya sekalian saja mengajakmu ke sini untuk menonton pertandingannya. Seharusnya kau senang, karena aku mengajakmu ke sini kau jadi bisa menyaksikan kehebatan Sean. Siapa tahu Sean akan jadi cinta pertamamu nanti."
Aku cemberut. Angie tiada henti menggodaku.
"Huuh ... menyebalkan. Cepat beritahu aku, memangnya ada kejadian apa di club basket ini sehingga kau berpikir ruangan ini berhantu?."
"Aku dengar ada bola basket diberi nomor 4, bola basket itu sangat aneh."
"Aneh kenapa?"
"Setiap malam bola itu selalu bergerak sendiri seakan-akan ada seseorang yang sedang memainkannya. Banyak orang yang pernah melihatnya."
Aku bergidik membayangkan ada bola basket yang bergerak sendiri.
"Be-benarkah?" tanyaku masih sedikit ragu.
“Ada orang yang melihat bola basket bernomor 4 itu melayang dan masuk ke dalam keranjang seperti ada seseorang yang melemparnya. Padahal tidak ada seorang pun di ruangan. Bola nomor 4 itu selalu ada di ruangan ini, tapi tidak ada seorang pun yang berani memainkannya."
Aku meneguk ludah, terlintas di benakku hantu seperti apa yang menghuni bola basket itu. Mungkinkah hantunya menyeramkan seperti hantu di Laboratorium Biologi?
“Kali ini hantu bola basket itulah yang akan kita selidiki. Kita akan menyelidikinya nanti malam karena hantu itu selalu muncul malam hari."
"Maksudmu nanti malam kita ke sini lagi? Lalu bagaimana aku pulang?"
"Kau menginap saja lagi di rumahku." Sahut Angie dengan santainya.
"Terus untuk apa kau mengajakku ke tempat ini sekarang jika kita menyelidikinya nanti malam?"
Angie terkekeh geli. "Sudah jelas kan? Untuk mempertemukanmu dengan Sean.”
Aku menggeram, kupukul lengannya cukup keras tak peduli meski Angie meringis kesakitan. Salahnya sendiri kenapa terus mengejekku.
“Kenapa memukulku padahal aku hanya bercanda?”
Aku membuang muka dengan bibir yang mengerucut ke depan beberapa senti. Angie kembali tergelak dalam tawa.
“Aku datang ke sini untuk meminjam kunci. Kita tidak mungkin bisa masuk ke ruangan ini, jika tidak ada kuncinya. Ayo kita temui mereka!"
Awalnya, aku mengikuti Angie tanpa protes. Namun, ketika menyadari kami berjalan menuju kerumunan pemain basket, detik itu juga aku terpaku. Membayangkan akan bertatap muka dengan pemuda bernama Sean itu, entah kenapa aku menjadi gugup.
"Mereka sedang istirahat, tidak enak kalau kita mendekati mereka sekarang. Nanti saja kita ke sini lagi." aku menarik tangan Angie, berusaha membuatnya berubah pikiran. Lagipula aku tidak bohong, mereka pasti sedang istirahat setelah menghadapi pertandingan yang melelahkan.
"Sudah tidak ada waktu lagi. Kita kan hanya meminjam kunci, kurasa tidak masalah kita mengganggu mereka sebentar. Ayo cepat!!!"
Dan Angie yang keras kepala tetap melanjutkan langkahnya. Mau tak mau, aku hanya bisa mengikuti.
"Hai ...” sapa Angie begitu kami berdiri di depan kerumunan pemain basket. “ Maaf mengganggu kalian, permainan kalian tadi bagus sekali."
"Terima kasih ibu sudah datang mendukung kami." salah satu dari mereka menyahut.
"Sama-sama.” Jawab Angie. “ Kami ingin meminjam kunci ruangan, boleh?"
Sejenak mereka saling berpandangan. "Untuk apa, Bu?" hingga akhirnya ada yang menanggapi.
"Ada yang ingin kami selidiki nanti malam."
"Mau menyelidiki hantu ya? kuncinya dipegang kapten."
"Oh begitu, di mana Sean?"
Angie menatap sekeliling mencari Sean. Tanpa sadar aku pun melakukan hal yang sama. Sosok Sean tak terlihat di mana pun.
"Kapten sepertinya sedang membasuh wajahnya."
"Terima kasih ya, kami ke sana dulu." dengan serempak mereka mengangguk.
Angie melangkah pergi begitu saja, membuatku harus berlari mengejarnya.
Seperti yang dikatakan para pemain basket tadi, sosok Sean terlihat sedang membasuh wajahnya di keran yang terletak tepat di belakang ruangan.
"Sean ... maaf mengganggu."
Sean yang sedang mengelap wajahnya dengan handuk kecil, menatap kami. Jika melihatnya dari dekat, dia memang sangat tampan. Hidungnya mancung dengan rahang tegas. Tatapannya tajam dengan bulu mata yang lentik. Alisnya sangat tebal dan bibirnya tebal sekaligus seksi. Kulitnya putih dengan rambut legamnya tertata rapi namun sedikit gondrong. Bukan itu saja daya tariknya, dia memiliki tubuh tinggi dan atletis dengan otot yang kekar. Tanpa sadar aku meneguk ludah melihat tubuhnya masih berkeringat juga rambut basahnya yang masih meneteskan air.
"Iya, Bu Angie. Ada apa?"
Bahkan suara baritone-nya yang berat dan sedikit serak telah sukses membuat jantungku berdetak cepat. Seumur hidup, baru sekarang aku merasa seperti ini saat berhadapan dengan lawan jenis.
Angie menyenggol lenganku, hingga aku yang terus menatapnya seolah lupa cara berkedip, akhirnya tersadar. Pasti wajahku sedang memerah menahan malu, terlebih saat melihat Angie sedang menyeringai jahil.
"Kami ingin meminta tolong padamu. Kami sedang menyelidiki rumor tentang hantu di club basket, jadi kami ingin meminjam kunci ruangan latihan kalian, itu pun jika kau mengizinkan?" tanya Angie tanpa basa-basi.
"Tentu saja saya mengizinkan. Saya sangat berterima kasih karena ibu bersedia menyelidiki rumor hantu itu."
Sean mengeluarkan kunci dari saku celana. Lalu menyerahkannya pada Angie.
"Oke. Terima kasih, Sean." Angie menggoda dengan mengedipkan sebelah matanya yang dibalas senyuman oleh Sean.
Aku dibuat tertegun, dia yang sedang tersenyum level ketampanannya naik berkali lipat.
Sebelum benar-benar pergi, aku menyempatkan diri untuk menoleh ke arah Sean sekali lagi. Terenyak ketika melihat Sean sedang menatapku juga. Aku segera memalingkan wajah dan berjalan di samping Angie.
Kami pergi ke tempat parkir, sudah kuputuskan untuk menginap di rumah Angie.
"Ooopps ... ya ampun, aku lupa menanyakannya." Angie tiba-tiba memekik, aku urung membuka pintu mobil.
"Ada apa, Angie?"
"Aku lupa menanyakan pada Sean, besok mereka memulai latihannya jam berapa, kita kan harus mengembalikan kunci ini sebelum mereka memulai latihan."
"Huuh ... kau ini bagaimana? Sudah tua sih jadinya pelupa, memang ya faktor usia, susah jadinya." Akhirnya aku memiliki kesempatan untuk balas mengejeknya.
"Haah? jadi kau mau mengatakan aku ini sudah tua begitu?"
"Memang kau sudah tua, kan?"
"Dasar anak tidak sopan."
"Jadi, bagaimana? kita kembali lagi ke sana?"
Angie tak menyahut sebaliknya dia tengah menyengir lebar membuat kecurigaanku muncul ke permukaan.
"Kenapa senyum-senyum begitu?"
"Kau saja ya yang kembali ke sana." Pintanya.
"Tidak mau. Kita pergi sama-sama." Tentu saja aku menolak.
"Aku harus menyalakan mesin mobil supaya panas jadi kita bisa langsung berangkat begitu kau tiba. Ayolah Leslie! Kau saja yang pergi ya?" dia menangkupkan kedua tangan di depan dada seraya terus membujukku.
"Huuh ... kau ini menyusahkan. Ya sudah kalau begitu, aku akan menanyakannya pada mereka."
"Oke. Aku akan menunggumu di sini," katanya girang sembari mengangkat jempol.
Meskipun kesal, pada akhirnya aku yang mengalah.