Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

salah nama

Pukul 6.00pm aku sampai di kostan. Kami berdua turun, dan dia tanpa kusuruh langsung duduk dikursi teras.

“Aku tinggal mandi bentar ya.”

“Ok.” Sahutan darinya.

Aku masuk kedalam dan langsung mandi, berganti pakaian. Mengikat rambutku asal-asalan. Terdengar suara ribut diluar, sepertinya aku mengenal suar itu. Bergegas keluar kamar, dan memang didepan sudah ada dua pria yang berdiri dengan tatapan sengitnya.

Lian beralih menatapku saat aku sudah berada diambang pintu. Begitu juga dengan Elang.

“Sayang, jelaskan ke aku. Siapa bocah ini?” tanya Lian. Nada bicaranya seperti sedang menuduhku selingkuh.

Aku mencibikkan bibirku. Hati memang masih sakit, tapi tak lagi ada tangis yang keluar dari mata. “Apa pentingnya buat kamu?”

Dia memijat keningnya. “Dengarkan aku, pernikahan itu sungguh diluar dugaan. Aku sama sekali nggak mencintainya, aku juga nggak kenal sama dia.”

“Tapi kamu sudah memperkosanya Li, makanya kamu harus tanggungjawab menikahinya.”

Dia menggeleng. Mendekat, memegang kedua bahuku. Elang diam berdiri menatap adegan didepannya ini.

“Enggak sayang. Aku nggak melakukan itu. Aku dijebak, aku nemuin dia didalam ruko kosong dekat studio foto. Aku datang untuk membayar tagihan foto preweding kita. Saat pulang, aku menemukannya menangis dengan baju sobek, dan celananya juga sobek. Aku membantunya dan mengantarkannya pulang. Tapi dia menuduh, bahwa aku yang sudah melakukannya.” Penjelasan yang sebenarnya sangat menyentuh.

Aku mulai bimbang, mau percaya atau memilih tetap menjauhinya. Tapi, aku sangat mencintainya. “Lalu, apa yang sekarang akan kamu lakukan Li?”

“Aku minta maaf, pernikahan kita terpaksa harus batal, dan tolong tetaplah berada disisiku. Aku sangat mencintaimu. Aku akan segera menceraikan Luna. Lalu kita bisa menikah.” Hah dia mengatakannya lagi.

Kuhempaskan kedua tangannya dengan kasar. “Aku memang batal menikah denganmu. Jadi jangan menggangguku lagi. Jangan lagi tampakkan wajahmu didepanku.”

“Sayang.” Tangannya terulur ingin merengkuhku dalam pelukan.

“Stoop!! Jangan menyentuhku. Kamu sudah menjadi suami orang. Pergilah dari sini. Aku nggak mau dituduh sebagai pelakor.” Ucapku dengan lantang. Bahkan aku mampu menyembunyikan rasa sakit ini.

“Sayang,”

“Jangan lagi panggil aku seperti itu Li!! Kupingku sakit mendengarnya.” Kujewer kupingku sendiri untuk bergaya didepan Lian.

Terlihat Elang menahan tawa dipojokan sana. Kembali dia duduk dengan santuy dikursi semula.

“Audy, aku pastikan kita akan kembali bersama lagi.” Ucap Lian sebelum kakinya melangkah menjauh dari kontrakanku.

“Mimpi sana!!” umpatku dengan sangat kesal.

Aku menjatuhkan tubuh dikursi samping Elang. Lian masuk kemobilnya, menatapku sebentar dan mobil berjalan menjauh dari kontrakan.

“Jadi itu lelaki yang udah buat lo nyebur sungai?” Elang memulai pembicaraan setelah kami hanya saling diam.

Aku ngangguk. “Aku pacaran sama dia udah lima tahun. Saat masih kuliah dulu aku udah kenal sama dia, dia juga yang rekomendasiin aku masuk ke pabrik.”

“Duuhh kasian lima tahun jagain jodoh orang.” Elang terkekeh mengejek.

Aku mendegus kesal.

“Lo tau nggak kenapa Tuhan mengharamkan pacaran?” aku menggeleng, menatapnya mencari tau. “Karna akan menimbulkan maksiat, dan yang paling penting. Bikin lo sakit hati. Udah diperingatin, jangan pacaran. Masih aja pacaran. Giliran sakit ati, nanya sama Tuhan. Ya Tuhan salah gue apa? Kenapa engkau kasih cobaan seperti ini. Pck pck pck.....siapa yang bego coba?”

Aku diam mencerna kata-katanya. Dia emang bocah, tapi punya pikiran yang hebat juga. Sedangkan aku, umur emang tua. Tapi aku sama sekali nggak tau tentang ini.

“Kalo udah fixs suka, ya udah langsung aja ajakin ta’aruf. Atau langsung nikah. Semisal gue nih. Liat lo pertama kali langsung suka. Ya udah gue nikahin aja sekalian. Biar sah dan nggak jadi dosa.” Omongan yang tanpa beban.

Aku melotot kearahnya, dia nggak natap aku. Padahal aku berharap dia bales natap, biar aku tau dia ini ngomong serius apa Cuma bercanda.

Beberapa menit kemudian, dia menatapku. “Sharelock alamat rumah lo, jika lo mau gue nikahi. Pasti gue datang.” Dia berdiri, nutup kepalanya pakai hoddie. “Udah malam, gue pamit ya.”

Jalan dengan santai keluar dari teras kontrakan. Naik kemotor dan menjalankannya tanpa noleh ataupun natap ke aku.

Sedangkan aku.

Diam menatap punggung yang kemarin menjadi tempatku bersandar menumpahkan kepedihan. Lelaki berkulit putih, tampan dengan alis yang tebal dan rambut hitam yang ada sedikit warna pirang karna cat. Perbedaan umurku yang 7 tahun ini, apakah mungkin aku bisa mengimbanginya? Dan dia bisa mengimbangiku?.

Apa aku batalkan saja semuanya dan menunggu Lian? Bukankah Lian tidak mengkhianatiku. Dia kan dijebak. Eh tapi apa alasan Luna menjebak Lian? Apa dia memang diperkosa, tapi si pelaku kabur. Karna dia malu, jadi memanfaatkan kesempatan?

Aku pusing memikirkan ini.

~~

Menenteng tas ransel yang hanya berisi beberapa baju dan alat make up seperluku. Kakiku melangkah turun dari bus yang kutumpangi. Menunggu Aura menjemput di terminal. Duduk sendirian di kursi yang terbuat dari beton. Pikiranku merangkai beberapa kata yang akan kuucapkan pada Ayah nantinya.

“Kak!” Aura sudah berdiri di samping pagar pembatas.

Aku tersenyum kearahnya, berdiri dan berjalan mendekatinya. Dia menyalami tanganku dan menciumnya.

“Motor kakak kemana?” tanyanya.

“Dipinjam sama teman.” Aku naik ke jok belakang dan motor segera melaju meninggalkan terminal.

Sepanjang perjalanan kami ngobrol obrolan ringan. Aura menceritakan tentang kesehariannya dirumah, tentang dia yang ikut mempersiapkan acara nikahanku yang sudah 80% siap. Tanganku terasa sangat dingin mengingat semuanya.

Sesampainya dirumah aku disambut dengan sangat sepecial. Keluargaku sangat menyukai Lian. Lian yang tampan dan sangat sopan pada seluruh keluarga. Dia juga punya pekerjaan yang menjanjikan. Selain itu, keluarganya terbilang keluarga yang mampu. Lebih kaya dari keluargaku.

“Udah Dy, kamu istirahat aja sana. Luluran biar besok malam pas belah duren kinclong. Suamimu jadi ketagihan terus.” Ibu menolak saat aku ingin membantu menata sendok dan piring.

Aku menurut, memilih mundur dan masuk kekamarku. Diam duduk bersandar papan ranjang. Memikirkan pilihan apa yang akan aku pilih untuk hari esok. Cukup lama hanya diam menatap langit-langit rumah yang ada dua wajah lelaki disana. Ya, otakku terisi dengan wajah lian dan Elang.

Mengambil selembar kertas putih polos, tanganku mulai menari diatas kertas putih itu. ‘Elang Prakosa’. Kulipat kertas itu dan keluar kamar.

Mendekati lelaki yang sedang duduk sendirian di halaman samping. Aku duduk disampingnya.

“Yah, mau temani aku melihat sapi nggak?” mencoba basa basi untuk mengajak Ayah menjauh dari kerumunan orang-orang.

Ayah menatapku heran, tapi beberapa detik kemudian dia mengangguk. Mungkin tau apa yang sedang aku rasakan.

Kami berdua jalan bersampingan menuju belakang rumah. Ada sekitar 10 sapi yang aku beli dengan uang hasil kerjaku. Sapi ini diurus oleh Ayah dan Ibu. Sudah dua sapi yang terjual. Semua digunakan untuk sekolah Aura.

“Ada yang mau kamu katakan Dy?” tanya Ayah.

Aku menyodorkan rumput kearah sapi didepanku. Kutarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan.

“Ada kesalahan Yah.”

“Kesalahan?” tanya Ayah lagi.

Aku ngangguk. “Mempelai priaku bukan atas nama Lian Yah.” Aku menyerahkan selembar kertas yang sudah kulipat tadi.

Ayah menerimanya, membuka dan membacanya. “Elang Prakosa. Siapa dia?”

“Dia lelaki yang akan menikahiku esok nanti.”

“Apa maksudnya Dy?” Ayah menatapku tajam. “Calonmu itukan Lian. Dan ini bukan namanya.”

Mataku mulai mengembun, rasa nyeri kembali menggerayah hati. Aku menarik nafas lebih dulu. “Lian menikahi wanita lain tiga hari yang lalu Yah.”

“Apa!!??” wajah terkejut itu sangat kentara. “Kata siapa?”

“Aku datang diacara pernikahan itu. Dia menikah dengan Luna, adik kandungnya Lina.”

Mata Ayah membulat, rahangnya mengeras. “Lina teman kamu yang pernah nginap disini?”

Aku ngangguk. “Aku tau, Ayah dan seluruh keluarga akan sangat malu jika aku membatalkan semuanya. Jadi yang bisa kulakukan hanya ini Yah.” Kuusap air mata yang hampir menetes.

Ayah mengusap wajahnya, terlihat kekecewaan diwajah itu. “Siapa lelaki pengganti ini?”

“Namanya Elang, dia tinggal di kampung dekat kampungnya Lina. Aku bertemu dengannya disana, dia sendiri yang menawarkan diri ingin menolongku.”

“Kamu yakin dia tidak akan ingkar janji?”

Aku ngangguk, jika dilihat dari tampangnya Elang, tak mungkin dia berbohong dengan hal serius seperti ini.

“Baiklah, Ayah akan menerimanya.”

“Tapi dia bukan orang kaya seperti Lian, dia....” Kuurungkan niat mengatakan tentang Elang yang masih sekolah. Jika tau, pasti ayah akan melarangku.

“Dia kenapa Dy?”

“Dia lebih muda dari aku.” Lanjutku.

“Tak apa, asal bisa membuatmu nyaman. Karna dari rasa nyaman itu, kalian bisa saling mencintai.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel