terakhir kerja
Senin pagi yang tak menyemangatkan. Aku berangkat ke Pabrik naik angkot, karna motorku masih ada dirumah Lina.
Gabung sama beberapa karyawan pabrik yang lainnya didalam angkot. Sekitar 10 menit angkot berhenti didepan pabrik tempatku bekerja. Aku menyusul para karyawan yang lainnya, turun masuk ke gerbang. Langsung masuk di gedung utama.
“Duuhh hari terakhir masuk nih ya.” Goda Sandra, partner kerjaku.
Aku hanya senyum kecil. Huuh mengingat besok aku udah mulai cuti nikah, itu membuatku tambah resah. Karna besok aku harus pulang kerumah. Ikut menyiapkan segala keperluan pernikahanku.
“Eh, batalin cuti boleh nggak ya San.” Ucapku tiba-tiba.
“Huus ngomong apa sih!! Heran gue.” Dia nonyor kepalaku. “Lina aja ngambil cuti dadakan tiga hari lho Dy. Elo yang mau kawin malah nggak jadi cuti. Siapa yang bego?”
Ah elo nggak tau sih San.
“Lho, bu Audy masih masuk toh. Pak Liannya udah ngajuin cuti sejak dua hari yang lalu lho.” Pak Endro satpam jaga menyerahkan rentetan para pelamar kerja pagi ini.
Ah iya gaes, aku bekerja di pabrik garmen bagian HRD. Dan Lian, dia juga bekerja disini, bagian General manager digedung sebelah C. Sedangkan Lina, dia menjadi supervisor dibagian cuting.
Sialnya, hampir semua penghuni pabrik tau tentang hubunganku dan Lian. Menyebalkan bukan!!
“Taulah dia pak. Mungkin banyak yang akan diurus.” Jawabku sekenanya. “Dan tentang surat undangan yang sudah kusebar. Ada kesalahan dinamanya.” Lanjutku.
“Kesalahan nama?” tanya Sandra meyakinkan yang dia dengan. Dia mengambil selembar kertas undangan berwarna coklat yang menjadi pilihan Lian waktu itu. Membolak balikkan kertas itu.
“Arlianto Subastian dan Raudyar Puspa Damsya. Mana yang salah Dy?” dia menyodorkan kertas undangan itu padaku. “Nama lo bener kok, nama mas Lian juga bener.”
Aku menerima kertas itu. Menatap fotoku dengannya yang terlihat begitu mesra di pinggir pantai parangtritis. Ya, kami melakukan foto preweding disana. Ingin sekali ku remas kertas ini. Hati kembali terasa perih melihat wajahnya.
“Namanya Lian yang salah. Besok akan dibenarkan saat ijab qobulku.” Aku menaruh undangan itu dan pergi meninggalkan ruangan.
**
Hari yang terasa sangat lama. Saat istirahat tiba, aku malas untuk beranjak. Tetap diam ditempat, namun tetap harus keluar ruangan untuk mengisi tenaga. Habis ini masih banyak yang harus kukerjakan lagi.
Ddrrtt....ddrttt
Ponsel dalam tas selempangku bergetar, sepertinya sebuah panggilan telfon masuk. Segera aku meraihnya, nomor baru, dan aku tak mengenalinya.
“Hallo,” sapaku ramah.
“Ntar pulang jam berapa mbak?” lha, ini kan suaranya Elang.
“Jam 4 lebih dikit. Kenapa?”
“Gue jemput ya.”
“Hah??!!” ucapku agak berteriak karna sangat terkejut.
“Ok, tunggu nanti. See you mbak.”
Tut...tut...tut....telfon terputus sepihak.
Kugenggam erat ponselku. Beneran sinting!! Umpatku dengan kesal.
Masuk kerumah makan padang, duduk gabung sama Sandra dan teman-teman yang lainnya.
“Tumben sih Dy, lo datangnya belakangan. Sakit? Atau lo lagi ada masalah?” Sandra yang nanya.
“Iya mbak Audy kok dari pagi banyakan diam. Apa grogi karna besok udah mau nikah?” sahut mbak Amel atasanku.
Aku tersenyum. “Nggak ada kok mbak. Cuma agak sedikit pusing. Kurang tidur.”
“Eh bilangin Lina ya Dy, besok gue yang gantiin elo.” Sahut Sandra.
“Gantiin gimana?” aku mengerutkan kening, belum paham sama yang dia maksud.
“Lo pindah kontrakan sama suami kan? Nah, biar gue yang kost sama Lina. Punya gue habis tanggal 7 besok.” Lanjutnya.
Eh iya, baru kepikiran. Abis nikah aku mau tinggal dimana ya? Pindah kontrakan sama suami. Astaga, aku satu rumah sama Elang. Kusapu wajah untuk sedikit mengurangi kegusaran.
Selesai waktu istirahat, kami balik ke pabrik dan bekerja seperti biasa. Hingga nggak kerasa, waktu jalan sangat cepat. Jam 4 tepat aku balik keruanganku, menata berkas-berkas para karyawan yang diterima untuk kukirim ke LPK. Rencana sih mau kirim berkas hari ini, karna besok aku udah mulai cuti.
Klunting!!
[Gue udah didepan gerbang.]
Sebuah pesan wa dari Elang masuk. Kututup wajahku dengan kesal. Huuhh kalau teman-teman tau, aku jawab apa coba. Masa’ aku nikah sama anak labil seperti Elang sih. Tapi kalau aku nggak nikah sama dia, aku mau gimana? Ngebatalin semua juga nggak mungkin banget.
Klunting!!
[Mbak, masih lama nggak?] Selang dua menit.
[Gue didepan pakai motor warna hijau yang kemarin.] Selang dua menit.
[Lo belum kelar ya?] Selang tiga menit.
[Buruan dong gue laper.] Selang satu menit.
[5 menit lagi lo nggak keluar, ntar gue minta cium ya.]
“Aaaaaa!!!! Dasar sinting!!!” nggak sadar aku berteriak didalam ruangan.
Sandra yang tadinya sibuk bikin laporan buat kepala bagian, menghentikan aktifitasnya dan menatapku heran. “Lo kenapa Dy?”
Aku nyengir, geleng kepala. “Enggak apa San. Gue duluan ya. Sekalian mau antar berkas ini ke LPK.”
Dia masih natap aku penuh curiga. “Iya, hati-hati lo. Ntar kesambet.”
Aku melambaikan tangan dan buru-buru keluar dari ruangan. Berjalan sedikit berlari untuk sampai di pintu gerbang. Belum juga nyampai di pintu gerbang, aku udah lihat Elang nyengenges natap kearahku. Dia ngobrol sama pak Endro.
“Buruan naik, laper banget nih.” Keluhnya sambil memegang perut.
Aku tersenyum ke pak Endro. “Duluan ya Pak.”
Pak Endro terlihat bingung dan penasaran. Mungkin dia bingung karna aku boncengan sama bocah dibawah umur kaya’ Elang. Untungnya dia nggak pakai seragam SMA.
Segera Elang melajukan motor saat aku udah duduk nyaman dibelakang. Dia bawa motor pelan sambil bersenandung lagu yang aku nggak tau apa judulnya. Tapi asiik, aku menikmatinya.
Aku menepuk bahunya. “Lang, anterin ke LPK bentar ya. Aku mau ngasih berkas kesana.” Sedikit mepet ketubuhnya agar dia dengar apa yang aku katakan.
“Siyap cais.” Jawabnya enteng.
“Cais? Apa itu?”
“Calon istri.” Kembali dia nyengeges.
Tampan, imut pengen cubit pipinya. Aku meliriknya lewat kaca spion. Dia juga melihatku lewat sana. Mata kami bertemu, segera kualihkan pandanganku. Tanpa sadar sudut bibirku terangakt keatas, membentuk sebuah senyuman. Entah senyuman apa ini. Tapi saat bareng Elang gini, aku bisa lupa, nggak lagi mikirin Lian.
“Ini bukan LPK nya?”
Mataku menatap kedepan, kesebuah plakat yang memang bertulis LPK Sejati Lestari. “Iya, aku turun sini.”
Motor berhenti didepan LPK. Segera aku turun dan melangkah masuk. Didalam ada sekitar 60 anak yang sedang tahap pembelajaran.
“Eh, mbak Audy.” Sapa mbak Wiwin pembimbing di LPK.
Aku tersenyum dan menjabat tangannya. Menyerahkan berkas yang kubawa. “Ini data anak yang besok masuk sini mbak.”
“Ada berapa anak mbak?” tanyanya sambil memeriksa berkas yang tadi kubawa.
“Yang masuk 7 orang. Besok ada yang udah siap turun ke pabrik belum mbak?”
“Ada mbak. Besok aku lepas 10 orang. Tapi yang 1 masuk cuting.”
“Oh nggak papa, infoin aja ke Sandra ya. Aku besok udah nggak masuk.”
Mbak wiwin natap aku, lalu tersenyum. “Eh iya, calon pengantin ya.”
Aku hanya tersenyum geli. Rasanya risih banget dibilang seperti itu. “Ya udah aku pulang ya Mbak.” Kembali kujabat tangannya.
“Iya mbak. Semoga acara nikahannya besok lancar ya. Aku pasti datang.” Ucapnya sebelum kakiku beneran melangkah keluar LPK.
Nggak datang juga nggak papa mbak. Aku malah berharap semua tamu undangan nggak hadir sama sekali. “Iya mbak makasih.”
**
“Mau makan dimana?” tanyaku saat sudah naik ke motor Elang.
Dia menjalankannya pelan. “Pengennya sih ditraktir.”
Aku menatap wajahnya melalui spion dengan jengah. “Iya ntar aku traktir.”
“Bakso aja yuk.” Ajaknya.
“Ok.”
Tanpa ngomong apapun, dia menambah laju motor, dan membuatku harus nempel dipunggungnya. Kutabok dia beberapa kali.
“Lang, jangan ngebut.”
Sayangnya dia nggak peduliin kata-kataku. Nggak begitu lama, motor Elang berhenti di sebuah rumah makan bakso yang ada di dalam gang.
Aku segera turun dan merapikan rambut yang acak-acakan. “Ngawur banget sih bawa motornya.” Omelku.
Dia narik lenganku, kami berhadapan. Dengan pelan dia merapikan rambutku. “Biar cepet sampailah. Disini ramai, harus ngantri tempat duduk.” Ucapnya dengan tangan yang sibuk nata rambutku. Nggak ngerti kenapa, dadaku terasa bergetar dan ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul.
“Dah rapi. Yuk masuk.” Dia gandeng tanganku masuk kedalam. Beneran kaya’ orang pacaran.
“Mas, 2 ya. Minumnya es lemon sama...” dia natap aku.
“es kiwi.” Sahutku.
“Ok, ditunggu ya. Meja nomor 27 masih kosong.” Sahut si mas pelayannya.
“Ok.” Tangan Elang terus menarik tanganku untuk mengikuti langkah kakinya. Dengan manis dia mengambil kursi. “Silahkan duduk cais.” Ucapnya dengan menundukkan sedikit badan disertai senyum manis dan kedipan satu mata.
Aku tertawa kecil. Tingkah bocah, lucu banget. Kami duduk berhadapan. Mulai dianya ngambil ponsel dan....main game. Iihh anak kecil kan emang gitu.
“Lang, bukannya kamu libur dua minggu ya?” setauku sih, anak SMA sekarang libur dua minggu. Libur tengah semester.
“Iya.” Jawabnya tanpa beralih pandang.
“Kamu semalam nggak pulang?”
“Pulang kok.” Masih aja nggak beralih pandang. Sedetik kemudian natap aku. “Eh, pulang kerumahnya Paman maksud gue.”
“Silahkan pesanannya kak.” Pelayan datang mengantar pesanan kami.
“Makasih ya.” Ucapnya dengan ramah.
“Sama-sama kak. Selamat menikmati.” Pelayan lelaki itu membungkukkan sedikit badannya dan berlalu pergi.
Aku mulai sibuk menuang saos, sambal dan kecap. Mencium aromanya, udah membuat ngiler banget. Kulirik dia yang udah memotong bakso jumbonya. Meniupnya pelan lalu mulai makan.
“Kamu nggak pakai sambal?” tanyaku.
“Gue nggak bisa makan pedes.” Jawabnya enteng. Melirik mangkokku. “Liat punya lo aja udah bisa rasain pedesnya kek gimana.” Dia memasukkan sepotong bakso lagi kemulutnya.
“Besok acaranya jam berapa?” tanyanya disela ngunyah.
Aku menatapnya. Sebenarnya dia nggak harus seperti ini. Kasiankan masa depannya, dia masih anak-anak labil yang suka mutusin sesuatu tanpa mikir akibat atau kejadian belakangnya. Gimana kalau besok dia nyesel dan cepat minta cerai. Aku kasian sama dia.
“Malah tidur. Gue ngomong sama orang kan?”
“Lang.....” kuhembuskan nafas berkali-kali.
“Apa?” dia juga natap aku.
“Mending kamu pikirin lagi deh. Menikah itu akan merubah status kamu. Kamu nggak malu? Gimana kalo sampai teman-temanmu tau semuanya? Pasti kamu akan di bully sama mereka.”
Dianya malah nyengenges.
“Kok malah cengengesan gitu sih!! Apanya yang lucu?”
“Seneng lah.”
Aku mengeryitkan keningku. Apanya yang bikin dia seneng coba? Emang sinting ni bocah.
“Seneng karna elo khawatirin hidup gue. Bukannya itu artinya lo sayang sama gue ya?” tetiba dia natap aku lekat. Mata kami bertemu cukup lama. Bibirnya terangkat keatas, menciptakan sebuah senyuman manis. Lama-lama berubah jadi tawa kecil. “Sumpah lo cantik banget. Dan gue suka.”
Aku melotot tak percaya mendengar ucapannya. Nggak apa kan, kalo aku minta dia ulangi sekali lagi?