resah
Agak sedikit lega bisa jujur sama Ayah, tapi cukup cemas dengan bayangan suasana besok. Membayangkan reaksi yang sudah mengenal Lian, sudah mengetahui hubungan kami. Terutama teman satu kerjaan.
Lalu bagaimana jika Lian besok benar-banar datang diacara pernikahanku. Bagaimana jika dia mengucapkan ijab qobul itu? Sama saja aku jadi istri keduanya kan? Ya Tuhan tolong aku.
Aku duduk sendirian dibangku taman samping kebun. Rumput-rumput yang tumbuh subur untuk melepaskan sapi.
Sejujurnya aku masih sangat mengharapkan dia menikahiku. Mewujudkan semua mimpi yang dulu pernah kita rangkai bersama.
“Besok kita punya anak 3 ya Dy.” Ucapnya kala itu. Kami duduk dikursi berdua, tangannya merangkul pundakku dan aku menyandarkan kepala dibahunya dengan nyaman.
“Aku sih ngikut kamu aja Li. Yang penting kamu tanggungjawab sama kita.”
“Tentu dong. Setelah nikah, kita langsung pindah rumah ya.”
“Pindah kemana?”
“Aku udah nemu rumah yang cocok. Letaknya juga nggak terlalu jauh dari pabrik. Besok kamu nggak perlu kerja lagi. Biar aku yang memenuhi semua kebutuhanmu dan anak-anak kita.”
“Aku berhenti kerjanya saat udah hamil aja Li. Suntuk lah kalau Cuma nganggur, dirumah juga sendirian.”
“Pengen pembantu?”
“Enggak ah, aku bisa ngurus rumah sendiri.”
Dia mengecup lembut kepalaku. “Nanti siang kita survei rumah barunya ya.”
Aku mengangguk senang. Bahagia sekali memilikinya, dia sangat mencintai aku. Menjagaku dan selalu ada saat aku butuh.
Tak terasa mataku kembali berair, pipi sudah basah tak terkondisikan. Hati kembali perih mengingat masa manis kami. Kesempurnaan hubungan kami, semua pujian yang teman-teman lontarkan itu.
“Kalian cocok banget, cantik dan tampan.”
“Aku seneng liat hubungan kalian, selalu akur. Nggak ada tuh orang ketiga.”
“Lian sabar banget ngadepin kamu Dy, dia lelaki perfect.”
Kira-kira seperti itu pujian beberapa orang pada kami kala itu. Aku menutup wajah dengan kedua tangan. Masih terisak dalam tangis. Pedih, sakit dan hancur.
Ya Tuhan, bisa nggak sih nggak bercanda sama pernikahanku ini. Aku nggak rela harus batal nikah sama Lian. Aku pengen dia yang jadi suamiku. Tapi istri satu-satunya bukan istri kedua.
**
Malam telah tiba, para tamu teman-teman Ayah dan Ibuk masih berdatangan. Aku selalu memaksakan senyum sejak keluar kamar tadi. Ayah pun terlihat menutupi semua dengan baik. Hanya menatap iba saat tanpa sengaja tatapannya bertemu denganku.
“Buk, aku ke kamar mandi bentar ya.” Pamitku, karna memang aku kebelet pipis.
“Iya, ini juga udah malam Dy. Kamu istirahat sekalian aja. Biar ibuk disini sama Aura dan Ayahmu.” Senyum ibuk ngembang, terlihat penuh kebahagiaan.
Aku membalas senyumnya, mulai beranjak dari dudukku dan berjalan masuk kedalam. Apa ibuk akan tetap bahagia begitu ya walau tau bukan Lian yang jadi mantunya?
Masuk kekamar mandi, pipis, cuci muka dan balik ke kamar. Kurebahkan tubuh dikasur empuk kesayangan. Kembali mataku menatap langit-langit kamar. Ada bayangan wajah Lian disana. Memejamkan mata sesaat. Lalu mengambil ponsel. Kubuka chat percakapanku dengan Elang. Tertulis jika dia sedang online saat ini. Jika aku mengirim alamatku, itu artinya aku siap dinikahinya. Kudekap ponsel didada, mengatur nafas dan mencoba berfikir kembali.
Ya Tuhan semoga pilihanku ini tepat. Kembali kunyalakan ponsel dan sharelock alamat rumahku ke nomor Elang. Dua menit berlalu, pesan terkirim tapi Cuma centang satu. Dia sudah nggak online.
Kuhembuskan nafas lega karna aku sudah membuat pilihan. Semoga Elang bisa menepati janjinya.
Mulai menarik selimut dan memejamkan mata. Tiba-tiba bayangan wajah Elang dengan senyum khas bocah itu muncul. Membuatku kembali terjaga, kuraih lagi ponsel yang ada diatas meja. Masih saja pesanku centang satu, dia belum online. Semoga dia cepat baca.
Mencoba pindah posisi, aku miring ke kanan, cukup lama mata ini terpejam. Pindah lagi tengkurep, tapi nggak juga mau tidur. Huufftt....jam udah ada di angka 1 dini hari. Aku menatap layar chat dengan Elang lagi. Ternyata udah centang dua biru. Itu artinya dia udah baca. Tapi kok nggak bales pesan ya? Tulisannya juga masih online. Apa dia nggak sempet bales dan baru main game? Atau memang dia nggak serius dengan kata-katanya waktu itu?
Ya Tuhan, aku lupa. Dia itu masih bocah labil yang setiap saat bisa berubah pikiran. Kututup wajah dengan kedua tangan. Kali ini perasaanku makin nggak karuan. Memikirkan kemungkinan tentang besok.
Klunting!
Sebuah chat masuk. Segera kubuka ponsel, tentu berharap itu pesan dari Elang.
[Aku pasti besok datang menikahimu.]
Mataku melotot, kembali tangis ini tak terbendung. Lian yang sudah mengirim pesan wa ini.
~~
Fiks aku nggak tidur semalaman, ada mata panda di wajahku. Kepala juga terasa sedikit pusing. Sekarang aku udah duduk didepan meja rias, ada mbak Sinta yang mulai sibuk membersihkan wajahku.
“Kamu semalam ngapain aja Dy? Sampai nggak tidur. Liat nih lingkaran hitamnya gede banget. Untuk make up ku ini mahal. Jadi udah pasti bisa nutupi wajahmu yang jelek ini.” Ucapnya sambil terus ngoles kapas di pipi.
“Iihh mbak, ngomongnya kok jujur banget sih.” Udah biasa dia kalau ngomong suka nggak disharing dulu.
Malah tertawa kecil. “Cantiklah, nyatanya bisa dapat suami yang sempurna gantengnya itu. Aku ngiri lho Dy. Calon suamimu itu gantengnya tingkat provinsi.” Pujian yang udah biasa aku dengar dari mulut orang-orang.
Kembali rasa sakit itu terasa didada. “Udahlah mbak jangan ngomongin dia.” Ucapku lirih.
“Lho kenapa?” mbak Sinta tercengang. “Kamu cemburu aku ngomongin calonmu itu? Halah Dy, aku udah punya mas Zaki. Aku nggak doyan suami orang.”
Aku hanya tersenyum. “Bukan itu mbak. Tapi calon suamiku bukan lagi Lian.” Kukecilkan suaraku.
Mbak Sinta menghentikan tangannya yang udah sibuk ngoles foundation ke wajahku. “Gimana sih maksudmu?”
“Iya lelaki yang nanti akan menikahiku bukan Lian mbak. Tapi orang lain.” Aku menunduk, menyembunyikan mata yang sudah berkaca-kaca. Segera kuraih tissu yang ada disamping. Menggagalkan bulir bening yang hampir netes merusak riasan yang belum kelar.
“Dy, kok bisa gini? Kamu kemarin kan ngenalin sendiri ke aku. Aku juga baca undangan kamu kok.”
“Iya mbak, tapi dia sudah menikah empat hari yang lalu.” Kembali kutekan kedua mataku. “Udah mbak, jangan lagi ngomongin dia. Aku nggak mau nangis lagi.”
Mbak Sinta menepuk pundakku pelan. Dia terlihat sangat iba padaku. “Jadi kamu nanti nikahnya sama siapa?”
Aku menggeleng. Aku pun nggak yakin Elang akan datang. Karna chatku tak dibalas sejak semalam.
“Astaga Dy, jadi nanti kamu duduk sendirin dipelaminan?” tanyanya dengan mata melotot tak percaya. Aku hanya bisa mengangguk pasrah.
“Kenapa nggak kamu batalin aja Dy?”
Aku menggeleng. “Nggak apa mbak. Terusin aja make up ku. Aku bisa handle semua ini.”
~~
Pukul 9.00am
Semua sanak keluargaku dan saksi sudah berkumpul di teras depan rumahku. Karna memang disinilah rencananya kami akan melakukan ijab qobul.
Ayah terlihat beberapa kali mengusap keringatnya. Mbak Sinta pun juga begitu. Di pasti sangat kasihan padaku. Aku hanya diam menunduk, menggigit bibir bawahku untuk menahan air mata ini.
“jika 15 menit lagi sang mempelai belum juga muncul, maaf saya nggak bisa nunggu lagi pak.” Bapak penghulu ngomong sama Ayah.
“Iya pak.” Jawab ayah dengan santai, aku tau Ayah pasti mempunyai perasaan yang sama denganku.
“Dy, coba kamu telfon Lian. Sudah sampai mana dia?” Ibuk menepuk lenganku.
Kuambil tissu dan kembali menekan kedua mataku. “Ponselku dikamar buk.” Jawabku, karna aku memang tak membawa ponsel. “Kita tunggu saja buk, semoga dia cepat datang.”
Ibuk kembali diam, mulai terdengar riuh bisik-bisik mereka yang ngomongin aku. Berpura-pura tuli, itu lebih baik. Waktu berjalan dengan sangat lambat. Hingga bapak penghulu itu mengemasi buku-buku yang ada didepannya.
“Maaf pak, saya nggak bisa menunggu lebih lama lagi.”
“Assalamualaikum,” suara seorang lelaki yang menjadi pusat perhatian semua orang.
“Alkhamdulilah, mempelainya datang.”