Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

bab 7

“Alkhamdulilah, mempelainya datang.” Ucap Ayah dengan binar kelegaan. Dia menyapu wajah dengan kedua tangan.

Aku tambah bergetar. Bagaimana jika itu Lian? Ingin menolak dinikahi, itu mustahil.

Semua orang diam, dan lelaki itu berjalan menuju arahku. Duduk bersila disampingku. Aku bisa merasakannya walau mata ini terpejam.

“Maaf pak penghulu, ada kesalahan nama yang kami daftarkan.” Kata-kata Ayah yang bisa membuatku berani mengangkat kepala. Aku menatap lelaki yang berdiri disampingku.

Elang duduk menatap Ayah dengan style ala dia. Kemeja putih yang dilapisi jas hitam serta peci hitam yang menutup rambut pirangnya. Dia tampan, gagah dan sangat menggemaskan. Kembali kutekan kedua mata dengan tissu.

“Kesalahan bagaimana pak?” sahut pak penghulu.

“Mempelai prianya ini bukan Arlianto Subastian. Bapak cukup saksikan pernikahan ini. Setelah mereka sah, mereka akan segera mengurusnya ke kantor KUA.”

Pak penghulu mengangguk. “Baik pak. Kalau begitu kita mulai saja akhadnya.”

Ayah mengulurkan tangannya diatas meja. Elang menyambutnya.

“Elang prakosa.”

“Saya.”

“Saya nikah dan kawinkan putri saya yang bernama Raudyar Puspa Damsya dengan maskawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.”

“Saya terima nikah dan kawinnya Raudyar Puspa Damsya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” Dengan lantang Elang berhasil mengucapkan ijab qobul ini.

“Bagaimana para saksi? Sah?” tanya pak Penghulu.

“SAAHH!!!” sahutan dari seluruh orang yang menyaksikan acara akhadku.

“Alkhamdulilahirobil’alamin.....”

Kami semua menengadahkan tangan memanjatkan doa. Air mataku tak bisa tertahan lagi, menetes dengan deras. Rasa bahagia karna Elang menepati janjinya. Rasa haru karna saat ini aku sudah menjadi seorang istri.

Ya Tuhan terimakasih engkau telah menyelamatkanku. Aku berjanji akan menjaga amanahmu. Walau sama sekali aku tak mencintainya, tolong ijinkan perasaan itu muncul untuk suami sahku. Kusapu wajah dengan kedua tangan.

Berlanjut aku mencium tangan Elang dengan takzim dan dia mencium keningku lembut. Bisa kurasakan dia grogi, tangannya bergetar saat menyentuhku. Aku menatapnya, mata kami bertemu.

Bibirnya sedikit terangkat membentuk sebuah senyuman.

**

Sekarang kami berada didalam satu ruangan. Duduk bersama sanak keluargaku. Dia datang sendirian, tanpa Bapak dan Ibuknya. Apa dia tak membicarakan pernikahan ini pada orangtua? Perasaanku kembali tak menentu.

“Dy, bisa jelaskan semua ini?” tanya Ibuk. Ya, wajah ibuk yang sedari tadi paling terkejut. Aku tau dia yang paling menginginkan Lian menjadi mantunya.

Mengambil nafas dalam, menghembuskannya melalui mulut. “Aku dan Lian sudah berakhir Buk.” Ucapku lirih.

Ibuk melotot tak percaya mendengar ucapanku. “Kamu selingkuh sama bocah kecil ini?” rahang ibuk mengeras.

“Buk, kita dengarkan dulu penjelasan Audy. Jangan main tuduh.” Pembelaan dari Bapak.

“Lian sudah....”

“Assalamualaikum.”

Semua mata tertuju kearah pintu depan. Dimana seorang lelaki sempurna berdiri disana. Lian dengan texudo yang waktu itu dia pakai ijab qobul sama Luna, masuk dan menjabat tangan kesemua sanak keluargaku.

“Maaf Pak, Buk. Saya datang terlambat. Tadi ada sedikit musibah dijalan.” Ucapnya sambil natap Ayah dan Ibukku.

Aku sangat terkejut mendengar penuturannya. “Mau apa kamu kesini Li??!” aku beranjak, berdiri menatapnya penuh kebencian.

“Hari ini akhad nikah kita kan Dy, jadi aku datang kemari. Apa penghulunya belum datang?” tanyanya tanpa dosa. Bahkan aktingnya sangat bagus.

“Jadi kamu sudah mengkhianati Lian Dy? Ya Tuhan Audy.” Ibuk mengelus dadanya. “Maafkan anak ibuk nak Lian. Penghulunya sudah pulang.”

“Pulang?” tanya Lian masih dengan akting terkejut. “Apa pernikahan kami diundur?”

Aku menggeleng cepat. “Enggak!!” kuraih tangan Elang dalam genggaman. “Aku sudah menikah. Dan kamu nggak perlu nikahin aku.” Kutunjukkan genggaman tangan kami.

Elang hanya diam, wajahnya sangat santai.

“Mending kamu pulang Li. Diantara kita sudah tak ada hubungan apapun sejak 4 hari yang lalu.”

Aku menatap Ayah, memintanya untuk mengusir pecundang seperti Lian. Tapi Ayah memilih diam. Apa kali ini Ayah tak mempercayaiku? Apa dia lebih mempercayai Lian?

“Ayah.” Panggilku.

“Jadi kamu menikah dengan selingkuhan kamu ini?” bisa kulihat otot rahang itu, dia marah. Tangannya mengepal melihat tangan kami yang menyatu.

“Aku nggak selingkuh. Kamu yang mengkhianati!! Jangan melempar batu Li!!”

Dia mendegus kesal. “Jadi kalau kamu nggak selingkuh, kenapa bisa menikah dengan bocah ingusan ini? Apa kalian baru saja kenal dan langsung menikah?”

Aku tak bisa membalas kata-katanya. Ya, itu benar. Aku tetap diam menatapnya penuh marah.

“Jika itu benar, apa kalian sudah melakukan perbuatan terlarang hingga harus menikah begini?” ucapnya lagi.

Elang mengeratkan genggaman tangannya. Sekarang dia mulai terpancing.

“Murahan sekali.” Lian mendegus.

Bhuukk

Elang menjatuhkan tinjuan di perut Lian. Karna Lian nggak ada persiapan, dia terjungkal dan jatuh dilantai.

“Aaaa...Lian!!” ibu yang menjerit.

Elang menindih tubuh Lian. Kembali mendaratkan pukulan di wajah tampan itu.

Bbhuukk!! Bbhuukk!!

“Ngomong sekali lagi, gue patahin hidung lo!! Beraninya lo lempar batu sembunyi tangan!!! Baj*nggann!!”

Bhuukk

Ayah dan pakde menarik Elang sekuatnya.

“Jangan membuat keributan!!” Ayah membentak Elang.

Yang lainnya membantu Lian bangun. Hidung Lian mengeluarkan darah. Ibuk pergi mengambil kompres dan obat.

Dadaku masih berdebar tak karuan. Aku mendekati suamiku. “Lang, jangan emosi.”

“Gue nggak trima dibilang zina!! Kita nggak pernah lakuin itu!!” terlihat dia sangat emosi. Aku mengambil minum dan memberikan padanya.

“Minum dulu ya.”

“Audy!! Ibuk nggak merestui pernikahan kamu dan bocah ini. Kalian berpisahlah dan kembali menikah sama Lian.” Ucapan ibuk yang membuat dadaku makin sesak.

Aku dan Elang melotot tak percaya, begitu juga dengan Ayah. Keluarga yang lainnya pun menatap kami seperti peselingkuh yang tertangkap basah.

“Enggak Buk. Aku nggak mau nikah sama dia.” Tolakku. Nafasku terdengar memburu, aku menahan semua emosi yang sebenarnya ingin segera meledak.

“Audy, Ayah nggak tau yang sebenarnya sudah terjadi. Tapi jika kamu memang tak lagi mencintai Lian, bukan seperti ini caranya. Kamu sudah mempermalukan keluarga. Apa lagi menikah dengan lelaki yang masih bocah seperti dia.” Kata-kata Ayah yang semakin membuatku sulit bernafas. Air mata menetes tak tertahan.

Sakit sekali ketika menjadi lemparan kesalahan. Apalagi Ayah tak mempercayaiku. Dia mempercayai Lian, orang yang baru dia kenal.

“Ayah nggak percaya sama aku?” tanyaku dengan lemah. Kupukuli dada yang semakin terasa sesak.

“Ayah........ragu.” jawabnya.

Sakit, sangat sakit. Ya Tuhan cobaan apa lagi ini. Peih sekali rasanya.

“Berpisahlah darinya dan menikah ulang dengan Lian.” Ibuk mengulangi kembali kata-katanya.

Mbak Sinta sibuk mengelap pipi dari kejauhan. Dia memperhatikan setiap adegan yang ada diruang keluarga ini.

“Enggak Buk. Aku akan tetap mempertahankan pernikahanku yang baru beberapa jam lalu.”

“Angkat kaki dari rumah ini jika kamu tetap ingin mempertahankan anak itu!!” teriak ibuk dengan sangat marah.

“Mbak,” Elang menatapku. Menepuk lembut lenganku.

Kami saling bertatapan. Matanya memerah, mataku berair. Aku menggeleng. “Jangan katakan apapun Lang. Kumohon pertahankan aku.” Bisikku lirih.

“Tapi orangtuamu lebih penting.”

Aku menggeleng lagi. “Kita sekarang suami istri. Aku akan mengikutimu kemanapun kamu pergi.”

Aku menggenggam tangannya, dia membalas genggamanku. Kita berdua berdiri bebarengan. “Baik Buk, aku akan pergi dari rumah ini.”

Semua yang ada diruangan melotot mendengar keputusanku. Apalagi Lian, dia bahkan tak percaya dengan apa yang sudah kukatakan.

“Aku akan mengikuti suamiku kemanapun dia pergi.”

“Durhaka kamu Audy!!” bentak ibuk lagi. “Jadi benar kalian sudah menyelingkuhi Lian??!!”

“Audy!! Jangan menyakiti hati orangtua!!” Pakdeku angkat bicara.

Aku tersenyum kecut. “Untuk apa tetap dirumah ini, semua tak mempercayaiku. Seharusnya kalian mendengarkan penjelasan dariku. Bukan malah mempercayai orang yang belum lama kalian kenal. Hanya karna dia lebih kaya dari suamiku, kalian tega menuduh kami seperti itu.” Aku menatap Ayah. “Menyakitkan sekali saat kita tak lagi dipercayai oleh orang yang selalu kita percaya.”

Kutatap ibu yang masih marah. “Aku pamit buk. Maaf nggak bisa menuruti permintaan ibuk.”

Kutarik tangan Elang keluar dari rumahku.

“Audy!!” panggilan dari ibuk yang menghentikan langkah kaki kami. “Jangan pernah kembali jika kamu sudah keluar dari rumah ini!!” lanjutnya.

Aku menoleh, mengusap kembali mataku. “Ya, aku akan mengingatnya.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel