Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

bab 8

Motor hijau Elang membawaku menjauhi kampung kelahiran. Tanpa malu, tanpa disuruh, aku melingkarkan kedua tangan keperutnya. Memeluknya erat dan menyandarkan kepala dipunggung lelaki yang sudah sah menjadi suamiku. Menumpahkan segala sakit ini pada sandaranku.

Tuhan beri kami kekuatan untuk menyelesaikan ujianmu.

2 jam dalam perjalanan, kami sampai di kontrakanku. Entah kali ini aku mau menginap dimana. Karna sekarang Lina sudah kembali ke kost. Dan aku, tak sudi satu tempat dengannya lagi. Dia tak datang saat acara ijab qobulku, andai dia datang mungkin bisa membelaku sedikit saja.

“Dy, kamu udah bali kesini?” pertanyaan dari Lina yang terlihat sangat terkejut melihatku muncul diambang pintu.

“Iya, aku mau ambil barang-barangku. Mau pindahan.” Melangkah masuk, langsung kekamar dan mengemasi semuanya.

“Dy, bukannya kamu batal nikah ya, jadi kamu kan nggak perlu pindah kontrakan.” Dia membuntutiku.

“Enggak, aku sudah menikah. Dan aku akan tinggal dengan suamiku.”

“Jadi Lian benar-benar menikahimu?” tanyanya dengan sangat terkejut. Bahkan matanya melotot karna tak percaya.

Aku merasa ada yang aneh. Alisku naik keatas. “Memangnya kenapa? Ada yang salah? Bukankah memang seharusnya aku menikah dengan Lian?”

“Kamu kan tau dia sudah menjadi iparku. Suami adikku. Kenapa kamu tetap mau menikah dengannya?” nada sengit itu bisa kurasakan.

Aku tetap tenang, akan kupancing dia untuk bicara. “Jadi apa salahku?”

Dia menggeleng tak percaya dengan ucapanku. “Harusnya kamu tidak menerima saat dia datang untuk menikahimu. Harusnya kamu membatalkan pernikahanmu yang sempurna itu!!” dia nge gas.

Aku sedikit terkejut, apa ketulusannya berteman itu hanya topeng?

“Jadi? Apa selama ini kamu tak suka melihat hubunganku?”

Dia mengalihkan pandangannya, dadanya naik turun karna emosi. “Ya!! Harusnya aku yang menikah dengan Lian. Bukan kamu!! Aku yang lebih dulu mengenalnya!! Aku membencimu!!”

Aku benar-benar melotot tak percaya. “Lina, jadi kamu mencintai Lian?”

Dia hanya menatapku tajam tanpa menjawabnya. Tapi aku sudah tau jawabannya.

“Tenanglah, aku tidak menikah dengan dia. Aku menikah dengan orang lain. Jadi, kamu bisa bebas memilikinya.” Kutepuk pelan pundaknya, lalu aku berjalan keluar membawa koperku.

Masuk kedalam taxi yang sudah dipesan oleh Elang. Taxipun berjalan mengikuti motor Elang. Lina menatap kepergianku dengan wajah yang sulit dijelaskan. Mungkin senang, atau menyesal atau...entahlah. Aku tak ingin memikirkan itu.

~~

Perjalanan sekitar 15 menit, motor Elang memasuki komplek perumahan elit di kota Jogja. Berhenti sejenak saat satpam komplek membuka portal, kemudian jalan kembali.

Mataku awas melihat disekeliling. Rumah yang semua berlantai dua dan tiga, halamannya luas dan sangat mewah. Jadi selama ini Elang tinggal dirumah mewah yang seperti ini? Apa pamannya itu seorang kolongmerat? Atau pengusaha kaya?

Elang masuk kehalaman, rumah ini bercat hijau dan berlantai tiga. Elang turun dan menghampiri taxi. Memberi uang taxi dan membantu membuka pintu untukku. Aku turun dengan ragu. Kembali kutatap rumah mewah didepanku ini dengan sangat kagum. Elang mengambil koper dibagasi.

“Ayo masuk.” Ajaknya. Dia lebih dulu jalan meninggalkanku.

Aku mengikuti langkah kakinya, menaiki anak tangga kecil untuk sampai keteras rumah. Elang memencet bel.

“Lang, ini rumah paman kamu?” tanyaku saat sudah berdiri disampingnya.”

Dia hanya tersenyum simpul. Mengacak rambutku dengan gemas.

“Mending kita ngontrak rumah aja deh. Aku nggak enak kalau harus numpang juga dirumah paman kamu.”

“Tinggal disini aja.”

“Aku masih punya sedikit uang buat ngontrak.” Kugapai lengannya. “Ayo,” pintaku. “Aku nggak enak Lang.”

Ceklek

Seorang wanita yang umurnya sekitar 50 tahun membuka pintu. Pasti dia pembantu dirumah ini.

“Den,” dia membungkukkan sedikit badannya.

Elang menyodorkan koperku pada pembantu itu. Lalu menggandeng tanganku untuk masuk kedalam. “Bawain ke kamarku ya bik.”

“Baik Den.”

Aku hanya menurut mengikuti langkahnya. Kami berhenti di meja makan. Dia mengambil air dingin dari kulkas dan memberikan padaku.

“Minum dulu.”

Aku menerima dan meminumnya. “Paman kamu ada dimana?”

Dia tersenyum. Imut banget. Menjapit hidungku dengan gemas. “Kekamar yuk.”

Kembali menarik tanganku, naik ketangga. Sumpah, aku sangat kagum dengan kemewahan rumah ini. Dari tangga ini, aku bisa melihat lampu yang sangat mewah bergantung di plafon ruang tamu, ruang makan dan ruang keluarga.

“Siapin makan ya Bik, antar kekamarku.” Ucap Elang saat berpapasan dengan pembantu tadi.

“Baik Den.” Dia kembali jalan menuruni tangga.

Masuk kekamar yang sangat luas. Ranjangnya pun lumayan besar, tapi bukan ukuran king size. Sprai warna putih polos yang sangat rapi. Ada meja rias dengan kaca besar didepannya. Masa’ ini kamarnya Elang sih? Dia kan cowok.

“Lang, ini kamar kamu?”

Dia membuka lemari, ngambil kaos dan celana santai. “Bukan. Ini kamar kita.” Dia berlalu masuk kekamar mandi.

Mataku menyusuri setiap sudut ruangan. Menatap keluar jendela yang ada di sebelah kanan kamar. Ternyata ini adalah pintu kaca. Aku membukanya, melangkah kebalkon.

Mataku menatap semua pemandangan yang bisa kulihat dari atas.

“Mbak, gue pergi bentar ya. Lo jangan bunuh diri.” Elang berdiri dibelakangku.

Keningku berkerut. “Mau kemana?”

“Ada urusan bentar. Mau ikut? Nggak usah. Dah gede juga.” Dia ngeloyor pergi tanpa noleh ke aku lagi.

Kok aneh sih. Dasar bocah!! Kembali aku melihat beberapa rumah yang ada didepan rumah paman Elang ini. Tak begitu lama, Elang keluar dengan motor hijaunya. Dia pergi entah kemana.

“Non, silahkan makanannya.” Bibik yang tadi itu membawa nampan, berdiri diambang pintu kaca yang menghubungkan kamar dan balkon.

“Taruh didalam aja bik.” Aku masuk. Si bibik naruh makanan diatas meja dekat tv. “Bibik namanya siapa?”

“Saya Darsih non.” Jawabnya sedikit membungkukkan badan.

“Pamannya Elang biasa pulang jam berapa Bik?”

Si bibik mengerutkan keningnya. Terlihat sangat heran dengan pertanyaanku. “Paman yang mana non?”

Lho, gimana sih.

“siapa aja yang tinggal disini Bik?”

“Tuan dan Den Elang. Ada pak Sarif dan saya sebagai pembantu. Den Alpine jarang pulang. Dan sekarang non Audy, istrinya Den Elang.” Jawab bibik.

Aku melotot, “Bibik tau kalau saya istrinya Elang?”

Dia ngangguk. “Den Elang udah cerita kok non. Tuan juga udah tau. Tapi karna Tuan belum bisa pulang ke Indonesia, jadi tadi nggak bisa ikut hadir diacara. Kalau den Alpine, saya kurang tau. Dia pulangnya sebulan kadang Cuma 2 kali.”

“Alpine itu kakaknya Elang atau adiknya bik?”

“Dia kakaknya Den Elang. Kantornya Cuma dekat sini non.” Aku ngangguk mengerti.

“Tadi Elang mau pergi kemana bik?”

“Waduuh saya nggak tau, nggak ngomong apa-apa.”

“Ya udah, makasih ya.”

“saya permisi ya non. Mau balik kebawah.”

“Iya bik.”

Seperginya bik Darsih, aku sibuk mencerna penjelasan darinya. Apa ini rumahnya Elang ya? Sepertinya ada banyak yang dia sembunyikan dariku.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel