bab 9
Selesai makan aku membawa piring kotor turun, celikukan mencari letak dapur. Rumah yang sangat besar ini bisa saja menyesatkanku. Jalan kekanan, menuruni tiga anak tangga, melewati sebuah ruangan yang entah tempat apa, lalu ada dua jalan. Aku bingung mau kearah yang mana. Kuputuskan masuk kelorong kiri. Disana ada dua pintu berhadapan, aku terus jalan hingga sampai kekolam renang.
Yaampun, untuk apa membangun rumah segede istana dengan banyak ruangan yang tak terpakai. Mubazir banget.
Aku balik lagi ketempat semula, melewati depan tangga dan jalan kekiri. Disana ada ruang yang cukup besar dengan sofa yang panjang melingkari meja. Mungkin ini ruang keluarga. Aku terus berjalan melewati ruangan itu. Sampailah disebuah ruangan yang sempit dan buntu.
Huufftt kuhela nafas kesal. Aku lelah berjalan. Mataku sudah terasa perih karna semalam tak tidur. Mencari dapur nggak nemu juga. Dasar rumah tak tau diri. Aku keluar dari ruangan itu. Belok kekanan dan masuklah keruangan yang sepertinya tempat sepatu. Banyak banget koleksi sepatu sport, sepatu santai dan ada sepatu boots juga. Kuletakkan nampan disalah satu etalase yang kosong. Mataku awas mengelilingi berbagai macam sepatu yang ada. Disebelah kanan ada lemari besar, karna penasaran, aku membuka pintu lemari itu.
“Waaauuu” ucapku dengan sangat kagum. Tatanan topi dengan motif yang berbeda. Jika aku menghitungnya, ini lebih dari 100 biji. Kepala siapa yang memakai topi sebegini banyaknya? Kuraih satu topi yang masih terlihat baru. Ada gantungan merk dan harga ditopi itu.
“HAA??!!!” mataku melotot hampir keluar dari tempatnya. Kukucek mata dengan serius. Apa mungkin aku terlalu lelah hingga berhalusinasi. Ah tapi angkanya tak berubah. Memang harganya 10juta.
Sumpah ini gila. Gajiku sebulan aja nggak nyampai 10juta. Pamannya Elang benar-benar orang yang kaya. Kuletakkan topi itu pada tempatnya, lalu menutup pintu lemari.
Aku duduk disofa panjang yang ada diruangan. Sepertinya ini tempat untuk mencoba sepatu-sepatu. Tanpa pikir panjang, kurebahkan tubuh disofa itu. Dalam hitungan menit, aku tertidur.
Pov author
Hampir seharian Elang keluar rumah. Dia mengurus semua surat-surat pernikahannya. Tentu tak ingin hanya sebuah ikrar semata. Dia juga ingin semua sah dan ada bukti tertulis.
Pukul 3.00pm Elang pulang. Masuk kedalam rumah dengan wajah yang berbinar.
“Mbak Audy dimana Bik?” tanyanya pada bik Darsih yang baru aja keluar dari dapur.
“Dari tadi nggak lihat Den. Mungkin masih dikamar.”
“Dia udah makan?”
“setelah Den Elang pergi, saya ngantar makanan kekamar. Malah sampai sekarang piring kotornya belum bibik ambil.”
“Eemm....” Elang tersenyum seperti mendapat ide. “Biar nanti aku yang beresin.”
Menaiki tangga dengan sedikit berlari, langsung masuk kekamar. Celikukan mencari istrinya. Dikamar tak ada siapapun, pintu kamar mandi pun terbuka dan gelap. Dibalkon juga sepi banget.
Elang melepas topinya, naruh diatas meja. Kembali keluar kamar, mencari disetiap ruangan yang ada dilantai dua. Lanjut naik kelantai tiga, keluar masuk ruangan yang ada disana tapi nggak nemu juga. Turun kelantai paling dasar, nyari bik Darsih.
“Bik, mbak Audy kok nggak ada ya? Dia tadi beneran nggak keluar rumah?”
Bik Darsih terlihat bingung. “Dari tadi bibik didapur, nyirami tanaman dan bersihin kulkas. Tapi nggak liat non Audy Den.”
Elang mengacak rambutnya. Bingung mau nyari bininya kemana. Akhirnya keluar rumah, nanya sama satpam depan. Tapi satpampun nggak tau. Balik lagi kerumah, menyusuri beberapa ruangan yang belum dicek.
“Astaga, baru aja beberapa jam punya bini, udah ilang.”
Elang yang udah lelah, memilih duduk menyandarkan kepala disofa ruang tamu. Bik Darsih datang dengan wajah penuh kekhawatiran.
“Gimana Den, ketemu nggak?”
Elang menggeleng. “Enggak bik. Cariin dong, masa’ baru aja nikah aku udah menduda.”
“Den, kenapa nggak cek lewat CCTV aja?” usul bik Darsih.
Mata Elang langsung berbinar, mengangkat kepalanya dengan senyum khas itu. “Tumben bibik pinter.”
Dia berlari kelantai tiga. Dimana didalam ruangan itu adalah tempat ngecek semua CCTV yang terpasang. Setengah jam mengawasi layar yang ada didepannya itu. Tak menemukan istrinya. Namun pandang berhenti disebuah ruang penyimpanan barang koleksi. Terlihat seorang wanita yang meringkuk diatas sofa dekat etalase.
“Astaga, ngapain dia ngebo disitu?” ngomong sama layar monitor.
Segera Elang keluar, masuk kedalam lift untuk cepat sampai tanpa harus lelah jalan. Pintu lift terbuka, tepat didepan ruang penyimpanan koleksi sepatu dan yang lainnya itu.
Cekklek
Pandangan langsung tertuju kearah sofa. Dengan nyamannya Audy merem meringkuk disana. Elang melangkah masuk, pintu tertutup otomatis. Duduk jongkok tepat didepan wajah Audy.
Wajah yang tenang, terlihat sangat lelah. Tidurnya pun sangat tenang. Tangan Elang terulur, merapikan rambut Audy kebelakang telinga.
“Emang gila tu cowok, buang cewek cantik kek gini. Nyeselkan, karna yang nemu mbak Audy itu gue.” Terkekeh mengingat pertemuan pertamanya.
Berdiri meraih gagang telfon yang ada diruangan. “Bik, keruang penyimpanan koleksi ya.”
Tanpa nunggu jawaban dari bik Darsih, Elang nutup telfonnya. Kembali dia jongkok, pengen puas-puasin natap wajah cantik Audy. Selang 10 menit, Bik Darsih masuk.
“Alkhamdulilah ternyata non Audy disini.” Ucap bik Darsih dengan penuh kelegaan.
“Itu nampannya dia simpan dietalase. Aku mau pindahin dia kekamar.”
“Baik Den.”
Elang membawa Audy dalam gendongan. Bik Darsih membantu membukakan pintu, memencet lift. Lalu pergi menuju dapur.
**
Elang menidurkan Audy diranjang kamar mereka. Menyelimuti tubuh Audy hingga leher. Dia sendiri pergi ke balkon, duduk disana melepas lelahnya.
Pikirannya memikirkan sesuatu, sebuah ide. Menit kemudian merogoh ponsel yang ada disaku celana dan menelfon seseorang.
“Hallo kak,” sapanya.
~~
Pukul 5.00pm
Audy mengerjap pelan, matanya awas melihat kesekeliling. Terperanjat, dia langsung duduk. Ah iya ini rumah pamannya Elang, hampir lupa kalo aku udah nikah. Gumamnya.
Elang keluar dari kamar mandi, mengacak rambutnya dengan handuk kecil. Tersenyum saat melihat bininya udah bangun.
“Lang, kamu yang pindahin aku kesini?” tanyanya.
Elang berdiri disamping meja rias, ngambil haidrayer untuk mengeringkan rambutnya. “Enggak. Emang kamu tidur dimana?”
“Serius bukan kamu?” mata Audy melotot tak percaya.
“Mungkin satpam. Atau pak Sarif.” Jawabnya dengan enteng.
Audy menggigit kuku jarinya. “Iiihh masa’ sih.” Mulutnya manyun.
Elang terkekeh dalam hati. “Mandi sono. Kita jalan keluar.”
“Kemana?”
Nggak jawab, duduk disofa, ngambil ponsel dan main game.
“Iiiishhh, dasar bocah!!” umpat Audy dengan lirih.
Beranjak juga, ngambil baju ganti dan masuk kekamar mandi. Nggak terlalu lama, dia keluar. Membungkus rambutnya dengan handuk. Duduk dimeja rias, mengeringkan rambut dan sedikit mengoles make up diwajah.
“Gue tunggu dibawah ya.” Beranjak, ngambil topi dimeja dan keluar kamar.
Audy hanya diam, masih sibuk nyisir rambutnya. Setelah semuanya beres, dia nganti baju lagi, pakai blouse warna biru dan pakai celana jeans. Mengikat rambut bagian atas saja dan membiarkannya terurai. Memakai wedges yang baru beberapa hari dia beli.
Membayangkan kencan pertama dengan suami, tersenyum sendiri. Segera dia keluar kamar, menuruni tangga melewati tiga ruangan yang cukup besar. Jika diukur, dari kamar sampai kepintu depan ini jaraknya sekitar 500 meter. Sungguh membuang tenaga dan waktu.
Elang sudah menunggunya didalam mobil. Segera Audy masuk dan duduk dikursi samping kemudi. Elang tersenyum menatap Audy yang dandan sangat cantik. Tanpa nunggu lagi, dia mulai menjalankan mobil meninggalkan rumah.
“Kita mau kemana Lang?” tanyanya dengan penasaran.
“Ntar juga tau.” Melirik Audy sekilas. “Lo nggak bawa jaket?”
Audy menggeleng. “Emang kenapa?”
“Disana bakalan dingin.” Jawabnya.
Audy diam, apa dia mau ngajak jalan kepuncak ya? Tersenyum sendiri. Belum pernah sih aku kepuncak, pasti seru banget. Batinnya.
Perjalanan sekitar 30 menit, mereka sampai di sawah-sawah yang tanamannya baru aja dipanen. Elang memberikan hoddienya.
“Nih pakai.” Abis ngomong gitu, Elang membuka pintu dan keluar. Audy mengikutinya, keluar dari mobil.
Mata Audy melotot tak percaya. Elang mengeluarkan layang-layang berukuran 2 meter dari mobil.
“Kita mau main layang-layang?” tanyanya sedikit syok.
“Iya.” Jawab Elang dengan enteng. “Yuk.” Jalan lebih dulu.
Disawah-sawah itu banyak anak-anak muda yang sibuk main layang-layang. Lebih tepatnya para bocah labil seusia Elang.
Audy menepuk jidatnya, merem sejenak. Bahkan dia lupa kalo suaminya masih bocah.
“Mbak, sini deh. Elo pegang layangannya, nanti gue yang narik.” Panggil Elang dengan santai. Nggak peduli dengan wajah Audy yang terlihat sangat terkejut.