Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

bab 10

Pov Audy

“Mbak, sini deh. Elo pegang layangannya, nanti gue yang narik.” Panggil Elang dengan santai.

Aku masih diam, mencoba mengatur nafas untuk menghilangkan keterkejutan ini. Melangkah kearahnya yang udah gabung sama teman yang lain. Dia memberiku layang-layang berwarna hitam dengan lampu kelap-kelip dipinggirannya.

“Diam berdiri disini.” Perintahnya.

Aku memang hanya akan diam, memangnya mau ngapain? Lari-larian gitu? Bisa kesleo kalau lari disawah pakai wedges begini.

Elang mengulur tali berwarna hijau itu, jaraknya sudah lumayan jauh denganku.

“Angkat keatas mbak!!” teriaknya.

Dengan malas aku menuruti maunya.

“Hempaskan keatas dan lepaskan!!” teriaknya lagi.

Kuturuti lagi perintahnya, dia berlari sambil narik tali itu. Pelan layang-layang berbentuk burung itu mulai naik kelangit atas, menyusul beberapa layang-layang yang lainnya. Aku diam menatap langit yang udah mulai gelap ini, ada banyak lampu berkedip diatas sana. Lampu dari beberapa layang-layang yang diterbangkan para manusia yang ada disekelilingku.

“Seneng nggak mbak?” tanya Elang yang saat ini sudah ada disampingku. Kepalanya mendongak keatas, menatap layang-layangnya, mengatur tali agar imbang. “Baguskan, kita bisa buat langit yang gelap jadi bersinar.” Lanjutnya.

Jujur ya Lang, gue syok berat. Dari jaman orek sampai detik ini, baru kali ini main layang-layang. Dan itu sama suami. Huuff tentu Cuma bisa ngebatin.

Kupaksakan senyum manis. “Iya, bagus banget.”

“Pegangin bentar mbak. Gue ambil sesuatu buat kita duduk disini.” Dia menyodorkan kayu berbentuk silang yang digunakan untuk mengikat tali.

Dengan malas kuterima kayu itu. Dia berjalan kearah mobil, mengambil sesuatu dari dalam. Membawanya kembali kearahku. Lalu menggelar kertas berwarna hijau tua ditanah.

“Sini, duduk biar nggak pegel.” Dia meraih kayu dalam genggamanku dan mendudukkan pantatnya diatas kertas itu.

Aku mengikutinya, duduk disamping Elang, sangat mepet.

“Kamu sering main disini ya?” tanyaku setelah lama kita hanya saling diam.

“Iya, semenjak libur ini gue sering rekreasi disini.”

Whaat!! Rekreasi dia bilang? Aku memijat kening yang tidak kenapa-napa. Ini baru awal, aku udah terkejut hebat begini. Ya, bocah kan beda sama orang dewasa.

Elang menatapku heran yang sibuk memijat kening. “Kenapa mbak? Pusing?”

Aku mengangkat kepala, tersenyum kearahnya. “Enggak kok.”

“Hoddienya dipakai, biar lo nggak masuk angin.”

“Eemm iya.” Aku memakai hoddienya yang sedari tadi hanya kusampirkan dipundak.

Elang ngambil batu, memukul kayu itu ketanah. Setelah kayu nancap ditanah, dia ngmbil ponsel. Natap aku sesaat.

“Mau pesen apa? Kita makan malam disini aja ya.”

“Delivery?”

“Enggak. Kokynya bakal kesini.”

“Serius?” mataku melotot lagi, terkejut.

Dia terkekeh. “Ya enggaklah. Kurang kerjaan banget.”

Aku menghembuskan nafas pelan. Hampir aja jantungan.

“Mau pesen apa hum?” nanya lagi, tapi matanya sibuk natap ponsel.

“Ngikut kamu aja deh.” Males buat mikir.

“Gue pesenin capcay goreng aja ya.” Masih nggak natap aku.

“Iya.” Aku menatap langit yang ternyata emang indah banget.

Indah oleh hiasan tangan anak-anak kreatif ini. Tanpa sadar, bibirku terangkat keatas membentuk sebuah senyuman. Ternyata hatikupun menikmati rekreasi ini.

“Lang, besok bikin layang-layang big bird di rumahnya Kenzo.” Seorang cowok duduk disebelah Elang. Terlihat jika mereka seumuran.

“Siiyapp.” Jawab Elang dengan mantap. “Jam berapa?”

“Pagi aja. Kemarin udah bikin kerangka atas. Tinggal yang bawah, lanjut nempel bambunya.” Jelas si cowok itu.

“Gue bawa apa?”

“Camilannya lah.”

Mereka asik dalam obrolan. Aku hanya diam mendengarkan saja. Kurasa ponselku bergetar. Aku merogoh tas dan mengambilnya. Sebuah pesan wa masuk dari Sandra.

[Lo harus baca ini]

Sandra ngirim SS beberapa pesan dari group petinggi pabrik. Dia dapat ini dari mas Kevin, bagian devisi yang udah resmi jadi tunangannya.

[Yang sabar brow, mungkin memang kalian nggak berjodoh]

[Jadi lo gagal nikah sama Audy Li?]

[Kok bisa Audy nikah sama pria lain?]

[Gue datang terlambat saat acara ijab qobul kemarin.] Ini chat dari Lian yang membalas pertanyaan para teman group.

[Jadi Audy nikah sama siapa?]

[Sama pria yang mungkin udah lama jadi selingkuhannya.] Lian yang jawab.

[Nggak nyangka, cewek cantik yang keliatan baek dan jadi bunga di PT itu doyan selingkuh.]

[Yang sabar brow. Tuhan sayang sama elo. Dia nunjukin bangkainya Audy sebelum sah jadi bini lo.]

[Cewek murahan dong ya.]

Kumatikan ponsel. Aku nggak kuat lagi buat nerusin baca SS nya.

Sungguh lelaki brengsek!! Aku sangat menyesal sudah pernah menjalin kasih bersamanya. Nggak nyangka dia sekejam ini, melemparkan semua kesalahan padaku. Jika dia benar-benar mencintaiku, seharusnya membiarkanku bahagia, melepas semua dengan ikhlas. Bukan malah menyalakan api peperangan padaku.

Aku kembali menggenggam erat ponselku. Pengen marah, pengen lempar wajah Lian pakai sendal, pengen nonjok wajahnya. Akhirnya hanya bisa merem, narik nafas dalam lalu membuangnya lewat mulut. Mencoba membuang emosi ini.

Pasti aku sudah menjadi bahan bicaraan di Pt. Sungguh Lian kejam!! Brengsek!!!

Elang merebut ponsel yang kugenggam. Mulai mengotak-atiknya.

“Kamu ngapain Lang?” tanyaku dengan terkejut.

Kebetulan memang ponsel nggak pernah kukunci. Langsung dia baca chat SS yang dikirim Sandra tadi.

“Dasar bajingan!!” umpatnya dengan kesal. “Kok bisa sih lo pacaran sama lelaki sakit jiwa begini!!” Elang keliatan banget kalau marah. Nggak terima sama perlakuan Lian.

Aku Cuma diam, menahan rasa yang juga kurasakan.

“Lo resign aja dari pabrik.” Ucapnya tanpa beban.

Aku melotot kearahnya. “Sinting ya!! Cicilan motorku belum kelar.”

“Biar gue yang bayar.” Ucapnya lagi.

Aku tertawa kecil. “Pakai uang siapa Lang. Udah deh jangan ngada-ngada.”

Dia menepuk jidatnya sendiri lalu terdiam. Memutar-mutar ponselku yang masih ada ditangannya.

“Pesanan capcay goreng sama capucino dua!!” teriak seseorang dari belakang.

“Sini pak.” Elang melambaikan tangannya.

Si bapak yang pakai jaket khas ojol itu mendekat, mengulurkan dua plastik putih. Elang ngasih uang dua lembar warna hijau.

“Kembaliannya buat bapak aja.”

“Makasih mas. Padahal yang kemarin mas udah ngasih ke saya lho.”

“Nggak apa, agap aja itu syukuran dari saya.”

“Memang mas ada apa?”

“Dapat istri cantik.”

Seketika wajahku memerah mendengar ucapan Elang. Si bapak melirik kearahku, lalu tersenyum.

“Iya beneran cantik mas. Langgeng ya, sampai maut memisahkan.”

“Amin. Makasih pak.” Elang natap aku. “Aminin dong mbak, jangan Cuma ngebatin.”

Aku mendekik, menahan tawa yang hampir meledak. “Amin.” Ucapku lirih.

Menyodorkan satu sterofoam ke aku. Dan satu cup capucino panas. Aku menerimanya. Mulai membuka sterofoam ini.

“Lang kok kamu bisa punya uang sih.”

“Dikasih jatah tiap bulannya.” Jawabnya, dia memasukkan sesendok capcay kemulut.

“Emang jatah kamu berapa?”

“50ju....” dia ngambil minum, langsung menyeruputnya. “Hah hah....panas.” rintihnya.

“Udah tau dari datang tadi kalo capucinonya panas. Main seruput aja. Aku beliin air mineral dipinggir jalan sana ya.” Aku naruh makananku dan beranjak.

“Dimobil ada air mbak. Ambil yang ada dimobil aja.” Dia mencet remote.

Aku berjalan pelan, masuk kemobil dan ngambil sebotol air putih. Kuserahkan padanya. “Nih minum yang adem dulu.”

Setelah dia merasa lebih baik, kita mulai makan lagi. Aku menatapnya. “jadi bapak ngasih kamu duit 50ribu?” Dia mengangguk tanpa natap aku. “Buat sehari?” dia diam, nggak jawab. Hanya fokus makan.

Aku hembuskan nafas pelan. Gajiku sebulan kepotong cicilan motor, ngasih ke ibuk, bayar kost, tapi sekarang karna aku udah diusir dari rumah itu artinya ibuk nggak lagi peduli sama aku kan? Mending aku gantiin kewajiban mertuaku. Kasian mereka. Udah tua, dan masih harus nyekolahin Elang.

“Gimana kalau aku yang ambil alih biayain sekolah kamu Lang?”

“Uhuk...uhuk...uhuk” dia keselek capcay yang baru aja mau ditelan.

Aku menepuk punggungnya pelan. “Nelannya pelan dong.”

Natap aku tajam. “Elo tadi ngomong apa?”

Aku balas natap dia. “Sekarang kitakan udah nikah Lang. Aku kasian sama bapak yang kerja jadi buruh sawah dikampung. Masih harus ngasih jatah kamu tiap minggunya. Belum biayain sekolah kamu. Itu juga masih mikirin buat makan tiap harinya. Buat beli obatnya ibuk yang sebulan sekali habis. Kasian mereka Lang.”

Elang natap aku tajam. Mungkin marah karna aku udah merendahkan kemampuan orangtuanya. “maaf aku nggak bermaksud ngerendahin bapak. Aku Cuma pengen bantuin aja, meringankan beban bapak. Jangan marah ya.”

“Gue gemes. Boleh cium nggak mbak?” ucapnya sambil senyum imut dan memainkan alisnya.

Aku melotot kaget dengan apa yang dia ucapkan. Kudorong kepalanya yang udah agak maju. “dasar sinting!!”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel