bab 11
Kita pulang dari sawah sudah petang. Sekitar jam 10 sampai dirumah. Tanpa mengetuk pintu ataupun memencet bel Elang memutar gagang pintu dan mengajakku masuk.
“Lang, ini rumahnya nggak bisa diringkas ya. Capek jalan dari teras sampai kamar.” Aku manyun dengan langkah kaki yang pelan.
Dia berhenti melangkah, menatapku. “Ada sepatu roda kok. Mau pakai sepatu roda?”
Aku mendekik. “Enggak.”
Melangkah lebih dulu. Menaiki tangga dengan pelan lalu masuk kekamar. Ngambil baju ganti dan masuk kekamar mandi. Saat aku keluar Elang udah duduk ditepi ranjang, dia berdiri dan gantian masuk kekamar mandi.
Aku merebahkan tubuh diranjang empuk ini. Menarik selimut untuk menutupi tubuhku. Nggak terbiasa dengan AC, rasanya sangat dingin.
Elang keluar dari kamar mandi. Membuka pintu balkon dan keluar. Dia merokok disana. Entah apa yang terjadi dengan mataku, rasanya sudah tak tahan. Akhirnya akupun tertidur.
**
Tengah malam aku merasakan tenggorokanku sangat kering. Kubuka mata pelan, melirik disebelahku. Kosong nggak ada orang. Elang dimana? Apa dia tidak tidur dikamar ini? Bangun, beranjak mencari sosok pria yang menjadi suamiku itu. Mengintip balkon tapi tak ada siapapun disana.
Aku keluar dari kamar. Baru aja mau menuruni tangga, segera kuingat sesuatu. Menepuk jidat sendiri. Aku belum tau dimana letak dapur, gimana mau ngambil minum coba? Huufftt....
Kuurungkan kaki yang hampir menuruni anak tangga. balik badan, mengedarkan pandangan disetiap sudut yang ada dilantai dua ini. Pintu tepat disamping kamar yang kutempati terbuka sedikit. Ada pedar cahaya dari dalam kamar itu, berarti disana ada orangnya kan. Apa mungkin Elang ada disana ya?
Kulangkahkan kaki menuju pintu itu. Berisik terdengar suara sorak-sorak dan suara tembakan. Ah ini suara dari game, pasti suamiku ada didalam. Langsung saja kudorong pintu hingga terbuka lebar.
Mataku melotot terkejut mendapati empat pria tengah duduk bersila menghadap layar didepannya. Tangan mereka memegang stik PS masing-masing.
“Eemm...ma...maaf, aku pikir nggak ada orang. Silahkan dilanjut, aku permisi.” Sedikit kubungkukkan badan dan melangkah mundur.
“Tunggu mbak!!” teriakan dari Elang.
Kuhentikan langkah kaki, dia beranjak menghampiriku. “Kenapa bangun? Nyari aku?” tanyanya dengan menatapku lekat.
Ya Tuhan, wajahnya imut banget. Aku geleng kepala. “Aku haus, mau ambil minum, tapi nggak tau ngambilnya kemana. Aku belum tau letak dapurnya. Takut kesasar kaya’ tadi siang.”
Tertawa kecil. “Itu ada kulkas, ambil disana aja.” Telunjuknya mengarah kekulkas kecil yang letaknya ada disamping sofa dekat tangga.
“Oh, iya. Makasih ya.” Aku berjalan kearah kulkas, membukanya dan ngambil sebotol air mineral.
Setelah minum, aku berniat kembali kekamar, namun kupingku mendengar celotehan dari dalam ruangan yang digunakan main PS tadi. Kulangkahkan pelan untuk menguping yang mereka bicarakan.
“Kok lo balik kesini Lang?” tanya salah satu dari keempat pria itu.
“Emang mau ngapain?” ini suara Elang.
“Katanya tadi pagi lo nikah sama dia. Berarti ini malam pertama kalian dong.” Sahut yang lainnya.
“Terus? Apa specialnya?” jawab Elang.
“Ya kelon anjiirr!!”
“Emang lo nggak pengen ya Lang?”
“Tadi udah main layang-layang disawah sama dia.” Ucap elang.
“Berarti sekarang waktunya ajak dia main cublak-cublak suweng.” Usul teman yang lain.
Aku menutup mulut dengan tangan, agar tawaku ini nggak meledak.
“Masa’ malam-malam sih? Nggak kelihatan yang diumpetin dong.” Ini suara temannya yang lain.
“Astaga begonya udah berakar!! Masa’ nggak tau sih.”
“Udah sama Lang, keloni bini lo. Kasian, Cuma bobok sendirian.”
“Ya udah gue liat dia dulu.” Sahutan dari Elang.
Aku bergegas lari masuk kekamar. Naruh botol minum yang tadi kubawa. Segera meringkuk pura-pura merem. Mulutku sebenarnya udah gatel pengen ketawa, tapi sebisa mungkin kutahan. Pikiranku berlarian menduga-duga yang akan Elang lakukan saat masuk kekamar.
Ceklek!
Nah itu dia datang. Langkah kaki terdengar mendekati ranjang, lalu mulai naik. Berbaring disampingku, memang aku merem tak melihatnya. Tapi aku tau saat ini dia sedang memandang wajahku. Ya Tuhan aku pengen ketawa, pengen senyum. Rasanya nggak betah banget.
Cukup lama hanya diam, apa dia udah merem ya? Pengen melek tapi aku malu kalau ternyata dia masih melek liatin aku.
“Besok aja ya main cublak-cublak suwengnya. Nggak enak kalo harus bangunin Cuma buat ngajak main itu.” Setelah beberapa menit Cuma diam, akhirnya dia mengeluarkan suaranya.
Tangannya membelai lembut rambutku. “Bobok yang nyenyak ya. Semoga lo betah hidup sama gue.”
Mulai terasa pergerakan, Elang turun dari ranjang dan berjalan menjauh. Membuka pintu, dan terdengar pintu tertutup. Dia keluar dari kamar.
Kubuka mataku, senyum mengembang dibibir. Nggak tau kenapa ada perasaan bahagia didalam dada.
~~
Pagi yang cerah karna terdengar suara burung berkicauan diluar rumah. Mulai silau karna pancaran matahari masuk dari celah gorden yang sedikit terbuka. Aku mengucek mata agar terbuka sempurna.
Pikiranku langsung ke Elang, dimana bocah itu tidur. Mata menelisih ranjang sampingku. Ada lelaki yang tidur tengkurap dengan sangat nyamannya. Terdengar dengkuran halus dari mulutnya. Kuperhatikan tubuhnya yang menurutku cukup sempurna sebagai seorang pria. Dia tak kalah menarik dari Lian. Aku tersenyum sendiri menatap tubuh tengkurap itu. Kalau aja dia nggak tengkurep, Pengen nangkring, ehhh......
Turun dari ranjang dan bergegas masuk kekamar mandi. Membersihkan diri sebentar lalu keluar kamar. Mencari sosok bik Darsih yang mungkin banyak kerjaan. Siapa tau aku bisa membantunya menyelesaikan.
Turun dari tangga, bingung mau jalan kearah mana. Kuputuskan teriak saja.
“Bik Darsih!! Bik!!” panggilku dengan berteriak. Menunggu jawaban, tapi tak kunjung ada sahutan. “Bik!! Bik Darsih!!”
“Iya non,” nah itu ada sahutan darinya. Nunggu sekitar 10 menit, dia datang dari arah kanan. “Kenapa non? Ada yang bisa bibik bantu?”
Aku tersenyum, menggeleng. “Aku pengen bantuin bibik. Sekarang bibik lagi ngapain?”
“Cuma masak air aja non. Nanti buat bikin susu sama kopi.” Jawabnya.
“Bibik nggak nyuci? Atau ngepel? Atau yang lainnya? Masak buat keluarga gitu?”
“Itu sudah ada yang ngerjain sendiri non. Tiap seminggu sekali akan ada cleaning servise panggilan yang membersihkan seluruh rumah ini. Untuk nyucinya, bibik suruh nyucinya seminggu sekali. Kalau masak, nunggu den Elang riques dulu.” Jelas bibik yang membuatku kagum. Ya namanya orang kaya mah bebas.
“jadi kalau pagi-pagi gini aku mau ngapain bik?” aku bingung, mau ngelakuin apa dirumah segede ini.
“Mending non Audy balik kekamar aja, nemenin den Elang tidur. Kan pengantin baru.” Jawaban yang sengaja menggodaku.
Aku mendekik. “Iihh bibik.” Aku manyun. “Bik, teman-teman Elang yang semalam itu. Mereka teman sekolahnya ya?”
“Oh mereka teman sekolahnya den Elang. Sering kesini kok non. Mereka baik dan sopan. Walau ngomongnya suka nggak mikir dulu.”
Aku ngangguk lagi. “Ya udah deh, aku mau lihat-lihat isi rumah aja.”
“Iya non. Kalau gitu saya tinggal kedapur ya.”
Dapur?
“Bik, aku ikut ke dapur.” Kuhentikan langkah kaki bibik.
“Mau ngapain non?” tanya bik Darsih dengan heran.
“Aku belum tau letak dapurnya. Takut nyasar lagi.”
“Oh, yaudah ayok non.”
Jalan kekanan tangga, mencet tombol yang pintunya berwarna abu-abu. Pintu terbuka, bibik masuk, aku pun mengikutinya. Mataku melotot dengan apa yang kulihat.
“Ini dapurnya bik?” Tanyaku tak percaya.
“Iya disini dapurnya. Pintunya dibuka pakai tombol yang tadi.”
Omg!!! Ini lebih mirip cafee. Rapi semuanya, ruang sebelah dapur ini tempat terbuka dengan banyak tanaman sayuran hijau. Kompor berjajar sekitar 6 tungku, ada banyak gelas dibagian kiri kompor. Kulkas besar buat naruh segala macam seafood. Ahh aku terlihat sangat kampungan jika dirumah ini.
**
Pukul 10.00am
Aku balik kekamar karna sudah puas meliahat dapur, masak sekaligus sarapan bareng bik Darsih. Sekarang aku membawa sepiring makanan berisi nasi dengan balado terong serta tempe goreng. Sederhana, karna ini makanan kampung favoritku.
Suamiku masih merem, ngebo dengan tenang diatas tempat tidur. Aku naruh piring diatas meja. Duduk ditepi ranjang mengamati wajah imutnya. Semalam dia bobok jam berapa sih, kelihatannya sangat ngantuk.
“Lang, bangun.” Ucapku lirih. Tak ada respon. Kutepuk lengannya pelan. “Elang bangun.”
Matanya mulai bergerak, terbuka pelan. Tatapan kami bertemu, diam saling tatap untuk sesaat. Tiba-tiba dia tersenyum manis.
“Kenapa?” tanyaku.
“Seneng.”
“Emang ngimpi apa?”
“Enggak ngimpi.”
Aku mendekik. “Terus? Kenapa bisa seneng?”
“Baru melek udah liat bidadari.” Jawabnya dengan senyum yang tambah mengembang.
Aku jadi ketawa kecil, wajahku terasa memanas. “Baru melek udah ngegombal.”
Dia bangun, duduk mensejajariku. “Apa salahnya bikin istri seneng. Nyatanya lo seneng gue gombali.”
Aku nggak bisa nahan tawa. Kudorong lengannya. “Mandi sana, terus sarapan. Aku udah bawain makan.”