Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9 Harapan

Bab 9 Harapan

Do something today that your future self will thank you for." - Sean Patrick Flanery

==

"Aku punya feeling kuat kalau kalian akan bertemu lagi," tukas Seva yang membantu mengganti perban Bintang dengan yang baru.

Bintang buru-buru menggeleng karena dia merasa tak punya alasan untuk bertemu wanita psycho seperti itu. Yang Bintang takutkan malah bertemu dengan wanita gila lainnya yang meminta dia untuk bertanggung jawab.

Bertanggung jawab untuk apa? Bintang merasa janggal dengan alasan gadis itu memaksanya untuk bertemu.

"Bisa saja wanita itu ingin berterima kasih. Bukannya dia bilang pelaku sudah menggelapkan uangnya? Itu berarti dia orang yang berpengaruh."

Bintang berpikir sejenak lantas merasa semua ucapan Seva ada benarnya. Mendadak Bintang berubah pikiran.

"Apa aku tidak usah balik ke sana?"

Seva mengeryit bingung, "Apa yang kamu takutkan? Kamu kan tak lakukan kesalahan apa pun."

"Iya. Nanti aku coba pikirkan solusinya. Tapi kamu bisa jaga ibu sebentar kan?" ujar Divo yang tampak serius menelepon seseorang.

Dengan wajah yang tertekuk dalam, Divo mengacak rambutnya kasar, sembari mengeluarkan dompetnya yang juga sama mengenaskannya dengan rekannya Bintang. Bulan ini uang sewa harus dibayar. Bintang juga sudah memberikan uang bagiannya lantas uang itu harus Divo berikan pada ibu kostnya. Namun, seketika Divo punya permintaan khusus pada Bintang hingga ia mendekati Bintang yang memang tengah mengamatinya sejak tadi bersama dengan Seva.

"Kenapa, Div?" tanya Seva penasaran.

"Tang..aku pakai dulu uang kost kita yah. Ibu aku butuh uang untuk berobat," ucap Divo yang sebenarnya cukup sungkan menyatakan itu semua.

Karena bukan sekali dua kali Divo begitu. Karena ini uang sewa yang harus dibayar setelah 3 bulan menunggak, Bintang sebenarnya agak ragu untuk mengiyakan permohonan Divo itu. Tapi...menolak pun cukup tidak mengenakkan situasi antara dirinya dan Divo.

"Kalian, kan, sudah menunggak 3 bulan? Bu Anya sepertinya akan marah jika kalian tak bayar bulan ini," ujar Seva mengingatkan.

Mata Divo mulai berkaca-kaca. Dia merasa bingung dengan keadaan yang sebenarnya cukup menyesakkannya ini.

Selama beberapa tahun bekerja, hidup Divo tak bisa selepas keinginannya. Ada orang tua yang harus ia tanggung karena ayahnya yang tak punya pekerjaan dan hanya mengandalkan dirinya atau tetangga untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ibu Divo sakit stroke hingga Ayahnya lah satu-satunya orang yang bisa merawat beliau. Itu pun ayah Divo juga mulai merasa jengah karena terkadang emosi tak bisa terkendali ketika mengurusi orang sakit.

Sedangkan adik Divo yang perempuan juga telah menikah dan memiliki tiga orang anak yang masih kecil-kecil. Cukup merepotkan jima harus mengurus ibunya lagi ketika terkadang ia harus ikuti kata suaminya dan merasa tidak bisa bebas akan hal itu.

Jika Divo kembali dan hanya mengurus orang tuanya, bagaimana dia bisa mencukupi keduanya? Sedangkan bekerja sebagai penyanyi kafe pun terkadang cukup mencekik leher karena bayarannya yang tak setimpal dengan biaya hidupnya.

Sudah lama sekali Divo menginginkan kebebasan untuk dirinya sendiri. Ingin menikmati nyamannya memiliki uang dan mencukupi dirinya sendiri dan memikirkan masa depannya nanti. Tapi..itu terasa seperti masih jauh dari harapan padahal Divo pun juga tak cukup muda lagi untuk banyak bermain.

Sebagai laki-laki, ia merasa gagal.

Kelak jika hal ini terus berlanjut, dirinya tak yakin bisa memiliki kehidupan yang layak dan membangun masa depan dengan seorang pendamping hidup.

"Kasihan kamu Divo. Bisa seumur hidup kamu akan seperti itu," celetuk Seva yang sepertinya memang sengaja mengatakan hal itu.

Seva sadar itu agak keterlaluan. Tapi melihat temab baiknya terus dimanfaatkan seperti itu, rasanya Seva ingin bilang bahwa orang tuanya sama sekali tak bertanggung jawab.

"Seva..." bisik Bintang mengingatkan.

"Ingat! Kamu sudah pernah menjadi TKI. Kamu juga menghabiskan semua uang kamu untuk mereka selama bertahun-tahun. Lantas kamu kembali dan tak mendapatkan apapun. Malah tetap jadi nol hingga sekarang. Saat semua beban itu tergantung di pundakmu, apa kamu senang?" ucap Seva lagi.

Bintang mencoba menenangkan gadis itu agar tak terlalu terlarut dalam masalah ini. Tapi sepertinya, Seva sudah tak bisa menahan diri lagi. Jika ingin jujur, Bintang juga memikirkan hal yang sama.

Kenapa... anak selalu dituntut untuk menghidupi orang tuanya jika mereka sudah tua? Terkadang orang tua juga menuntut anak untuk menjadi apa yang mereka mau. Seperti yang Bintang alami sendiri. Saat dia... membangkang keinginan papanya itu, dia lantas dicap menjadi anak durhaka dan bahkan dikeluarkan dari keluarganya sendiri.

Lantas... sebenarnya bagaimana defenisi berbakti kepada orang tua itu sendiri? Apa selamanya dalam bentuk harus menuruti, mencukupi dan membalas jasa orang tua?

Divo tak pernah bisa melepas kedua orang tuanya. Dia tahu betul bagaimana caranya berbakti. Bukankah itu yang tertulis jelas bahwa seorang anak harus berbakti pada orang tuanya? Merawat dan mengasihi mereka sebagaimana mereka merawat dan mengasihinya sewaktu kecil?

Tapi... tak sedikit dari orang tua yang juga menjadikan anaknya mesin uang. Memindahkan beban kehidupan pada sang anak yang juga berkeinginan untuk hidup dan menikmati apa yang mereka kerjakan.

Tujuh tahun hingga delapan belas tahun sekolah lantas kuliah. Setelahnya bekerja dan memikirkan bagaimana membalas budi orang tua. Tak terasa umur menjadi habis menuju tiga puluh tahun dan tak mendapatkan apa pun serta menyisakan sedikit pun untuk masa depan sang anak yang satu hari kelak akan memiliki hidupnya sendiri, masa depannya sendiri dalam berumah tangga.

Tak ada yang tersisa bahkan ketika anak itu menikah. Orang tua masih menjadi rantai bagi sang anak. Lantas, kapan anak itu akan bertumbuh?

Fisiknya menjadi dewasa. Namun jiwanya tak pernah bertumbuh. Karena mimpi sang anak terus terkubur bersama rantai itu, tanggung jawab itu dan masa-masa di mana mimpi masih begitu berkobar.

"Aku tahu apa yang kumiliki tak sama seperti yang kalian miliki. Tapi aku belajar dari papa bahwa aku harus menikmati hidupku untuk diriku sendiri dulu. Papaku tak pernah ingin aku membuatnya seperti tak berdaya hingga anak-anaknya merasa kesulitan. Karena bukankah itu tugas orang tua? Menjadi tiang bagi anak-anaknya, bukan malah sebaliknya."

"Ini berbeda Seva. Orang tua Divo sakit dan butuh dia. Kalau Divo meninggalkan orang tuanya begitu saja, bukankah itu sama saja membiarkan mereka mati perlahan?" tandasku yang langsung membuat Seva terdiam.

Gadis itu menghela napas kasar lalu kembali duduk bersila di hadapan kami. Sesangkan Divo sendiri masih sibuk dengan pikirannya sendiri dan hampir ingin menangis.

"Pakai saja dulu Divo, kamu lebih membutuhkannya."

"Seva benar. Aku belum pernah memikirkan tentang masa depanku sendiri. Entah kapan aku akan memulainya tapi umur kian bertambah. Harapan itu --"

"Harapan itu bisa datang lagi. Perjalanan kita masih jauh. Kamu harus tetap positif thinking bahwa berbakti sambil mewujudkan mimpi, tak ada yang tak mungkin," ucapku sambil mengembalikan uang yang Divo berikan lagi padaku.

Seva mencebik tapi tetap tak beranjak dari tempatnya. Ia kemudian menambahkan beberapa lembar sebagai hutang.

"Tidak usah Sev, pandangan kita berbeda. Nanti jatuhnya kamu tak ikhlas memberikan semua ini," tolak Divo halus tapi malah ditanggapi dingin oleh Seva.

Gadis itu lantas mencubit Divo karena geram, "Aku ikhlas. Tadi itu aku cuma mengingatkan kalian berdua yang sama-sama tertekan. Dan itu juga hutang, kalian harus kembalikan padaku nanti."

Bintang tak bisa untuk tak tersenyum melihat Seva yang begitu perhatian pada mereka. Karena bagi Bintang dan Divo, gadis itu adalah seseorang yang bisa diandalkan, tapi di sisi lain mereka juga malu untuk terus menerus diperlakukan seperti itu oleh Seva. Lain hari, Bintang juga ingin diandalkan oleh gadis keturunan Tionghoa itu.

"Jadi..besok kamu jadi ke Maheswari untuk wawancara?"

"Mungkin. Semoga bisa diterima. Karena itu tempat yang bagus untuk menjulang karir," ungkap Bintang yakin.

Seva sempat bertanya bagaimana jika Bintang bertemu lagi dengan wanita dingin yang ada di kafe Maheswari itu, Bintang merasa tak mungkin tapi jika bertemu pun Bintang tak perlu merasa takut karena dia tak melakukan kesalahan.

Dan benar saja, ramalan Seva itu membawanya berhadap-hadapan dengan Tiara sekarang. Gadis itu mendekati Bintang lantas mampu membuat Bintang bingung. Karena dia tak menyangka akan langsung diwawancara oleh gadis itu secara langsung.

"Bukankah ini takdir?"

Bintang mengelus tengkuk lehernya bingung. Tiara lantas bersedekap sambil beriak wajah tertarik dengan Bintang yang menatapnya bingung itu.

"I like you..."

Bintang mengeryit, "Apa?"

Tiara tak keberatan untuk mengulanginya, membuat Bintang semakin menjauhkan diri melihat mata Tiara yang benar-benar seperti singa betina yang mendapatkan mangsanya.

"I'm really like you... Bintang."

bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel