Bab 8 Di Atas Normal
Bab 8 Di Atas Normal
"Loving yourself isn't vanity, it's sanity." - Katrina Mayer.
#
Bintang pergi ke klinik terdekat untuk mengobati lukanya. Sekilas tadi Bintang mengerjap, bagaimana bisa dia tidak merasakan sakit saat terkena tusukan itu pertama kali?
Ia malah terlalu fokus pada perempuan gila yang sempat ingin membalas perbuatan pelaku. Bintang merinding. Ini pertama kalinya ia melihat mata yang begitu tajam dan penuh ambisi dari seorang wanita.
Sudah tergambar jelas di wajahnya bahwa perempuan itu pasti punya masalah yang sangat berat. Hingga sikap antisosialnya begitu kentara tanpa perlu ditutup-tutupi.
Bintang tiba-tiba membayangkan jika wanita itu juga seseorang yang ambisius pada segala hal?
Hah! Pria yang dia incar pasti akan kerepotan.
"Sudah. Silahkan ke kasir untuk tebus obatnya yah," pesan seorang perawat muda yang sejak tadi tanpa sepengetahuan Bintang terus tersipu malu berada didekatnya.
Bintang memang punya wajah yang proposional. Hidungnya mancung dan wajahnya tampan. Sama sekali tidak terlihat bahwa dia asli orang Jogja bahkan dari caranya bicaranya pun tak terdengar seperti pelafalan suku terbesar se Indonesia itu. Sekilas Bintang sangat mirip dengan Jefry Nichols yang sekarang tengah digandrungi oleh para gadis-gadis. Jadi tak usah heran jika perawat itu terus curi-curi pandang saat menangani lukanya karena mengira Bintang adalah seorang Bintang.
"Oh iya. Terima kasih mbak."
"Eh mas tunggu! Boleh minta foto?"
Bintang memiringkan kepalanya bingung. Setelah perawat tersebut membuat isyarat untuk berswafoto bersama, barulah Bintang paham apa maksudnya.
Bintang tampak sungkan. Namun, akhirnya dia menerima ajakan itu karena tak punya alasan untuk menolaknya.
"Ooh. Iya..boleh."
Betapa girangnya perawat tersebut bisa mengambil beberapa gambar Bintang yang ternyata memang tampan saat di foto. Semua pasti tidak akan menyangka bahwa Bintang bukanlah artis.
Tapi, entah jika dilain waktu. Bisa saja... itu akan terwujud kan?
Menebus obat dan perawatan sudah memotong setengah pendapatan Bintang kemarin. Sekarang hanya tersisa empat lembar uang merah untuk jatah makannya sebulan.
Menyadari hal itu Bintang mau tak mau menerima tawaran teman Seva untuk part time disalah satu kedai martabak. Sesampai di sana, Bintang baru teringat dengan janjinya pada gadis yang mengancam akan membakar sepeda motor Divo semalam.
"Kenapa Tang? Awal kerja sudah tepuk jidat," ucap Divo yang ikut part time di sini setelah di sms bahwa tak ada jadwal panggung malam ini.
Divo berada di bagian dapur membantu menyiapkan adonan. Sedangkan Bintang yang baru saja datang, telah didapuk sebagai pelayan pesanan di area depan. Divo harus puas bahwa keadilan sosial di dunia ini khusus bagi pria berwajah tampan.
"Aku lupa --"
"Lupa hutang?" tebak Divo asal.
Bintang menggeleng sebagai jawaban, "Lupa kalau ada janji dengan perempuan gila di parkiran."
"Waduh! Terus bagaimana? Motorku hangus?"
Divo ikut panik. Bintang lantas mengambil ponsel purbanya dan mendapati ada dua puluh panggilan dari gadis tersebut.
Tanpa tedeng aling-aling, Bintang mencoba menghubungi balik. Namun, hal itu tak diijinkan pemilik kedai menggunakan ponsel saat bekerja. Itu dia isyaratkan dengan menunjuk papan besar yang terpampang di dapur bertuliskan : Dilarang menggunakan ponsel saat jam kerja.
Divo dan Bintang menelan ludah susah payah dan akhirnya memilih untuk kembali bekerja ke bagian masing-masing.
"Jadi, wawancarmu gagal?" tanya Divo diperjalanan pulang. Bintang menggaruk kepalanya yang tak gatal itu sebagai jawaban.
"Bukan gagal, mungkin ditunda. Karena di sana kan tengah ada masalah."
"Bahaya sekali ada orang yang menyerang karyawan lain seperti itu. Pasti masalahnya besar."
"Perempuan itu bilang kalau pelaku berbohong dan mengkhianati dia."
Mengenang hal itu, Bintang jadi teringat dengan kejadian beberapa jam yang lalu itu. Mereka saling bersitatap tanpa bicara dari mulut ke mulut. Bintang sampai bisa menemukan sesuatu yang mungkin orang lain akan menganggapnya 'sok tahu'.
"Lalu apa lagi? Kamu pergi tanpa aww!"
Divo mengerang. Ia menekan perutnya sendiri yang sepertinya terasa menyakitkan itu. Bintang khawatir dan coba memeriksa keadaan Divo. Tapi Divo menolak karena ia bilang sakitnya sudah hilang.
"Maag atau masuk angin?"
"Entah. Sepertinya masuk angin," ucap Divo meringis sambil nyengir.
"Istirahat dulu. Atau mau minum air hangat?"
"Tak usah. Kita masih baru bekerja, jangan langsung sesuka hati," ucap Divo mengingatkan Bintang akan kedatangan mereka datang ke sini untuk bekerja di hari pertama.
Bintang mengangguk dan mulai kembali mengenakan celemeknya, untuk mulai melayani tamu yang akan memesan hidangan mereka.
#
Pukul sembilan malam dan Tiara masih bertahan di rumah sakit. Ia tak menyangka bahwa Adrian harus mendapatkan lima puluh jahitan di perut.
Tiara sudah membuat laporan dan berkas perkaranya langsung ditangani oleh kepolisian. Mulai malam ini, Pak Supardi langsung menginap di penjara dan mungkin akan lama sekali untuk berkumpul dengan keluarganya itu.
Setelah selesai masa perawatan, Tiara akhirnya diijinkan masuk menemui Ardian. Itu pun dia hanya mendapatkan jatah selama tiga puluh menit karena waktu berkunjung sebenarnya telah usai. Tiara menyetujuinya karena dia pun masih ada pekerjaan lain yang harus ia kerjakan, terutama menggantikan pekerjaan Adrian yang mungkin akan berhenti bekerja sementara karena harus melewati masa pemulihan.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Tiara khawatir. Adrian mengangguk pelan karena takut rasa perih itu muncul jika ia terlalu banyak bergerak.
"Lain kali jangan lakukan itu. Berbahaya --"
"Lalu aku membiarkanmu ditusuk Pak Supardi?" jawab Adrian serius.
Tiara tak menjawab dan memilih duduk tepat di tepian ranjang. Memperhatikan perban yang melilit diantara pinggang Adrian itu dengan serius. Tiara jadi berpikir, mungkin benar jika dia tak siap untuk terluka sepertj Adrian. Tapi, Tiara terlalu berani jika diminta untuk melakukan pembalasan.
Mendengar ucapan itu Adrian tertawa. Ia bilang bahwa Tiara pura-pura kuat di luar namun sebenarnya sangat rapuh dan takut.
"Kau pun juga bilang begitu?" hardik Tiara tak terima.
Adrian mengangguk lalu teringat ucapan Tiara tadi, "Kau pun? Jadi ada yang bilanh seperti itu juga padamu?"
"Hum. Iya ada. Dari orang yang baru pertama kali bertemu denganku."
Tiara berucap sambil tertawa kecil. Membuat Adrian menarik alisnya bingung dengan sikap Tiara yang tak biasa.
"Aku sudah membuat laporan. Jadi --"
"Secepat itu?"
"Yah. Kenapa harus ditunda?" tanya Tiara bingung. Adrian kemudian menceritakan sesuatu yang Tiara tak ketahui. Dan berharap Tiara mau mendengarkan penjelasan orang lain terlebih dahulu sebelum mengambil tindakan.
"Istri Pak Supardi sekarat. Ia butuh uang banyak untuk biaya rumah sakit."
"Bukankah aku sudah mendaftarkan asuransi padanya? Apa itu kurang?"
"Penyakit itu amat langka. Dan asuransi tak bisa mengklaim hal itu. Lalu sebenarnya dia pernah meminta tolong padamu, tapi kamu mengabaikannya."
Tiara memicingkan matanya kesal. Ia merasa tak pernah melakukan itu. Lantas Adrian mencoba memberi petunjuk agar Tiara mengingatnya.
"Hari itu setelah selesai rapat. Pak Supardi mengajukan proposal untuk pinjaman biaya rumah sakit. Tapi kamu bilang tak punya waktu untuk urusan itu."
Mendengar itu Tiara seperti terkena ribuan anak panah di kepalanya. Ia melupakan kejadian itu dan hanya mengingat kesalahan pak Supardi saja.
Ini terlalu menohok baginya. Tiara lebih banyak diam setelahnya. Namun, bukan Tiara namanya jika tak berkilah. Gadis itu tetap akan meneruskan kasus tersebut karena telah melukai dan mengancam karyawan kafe.
"Kasus tengah berjalan --"
"Tiara --"
Adrian mencoba memberi pengertian atasannya itu. Namun, Tiara tetaplah Tiara. Gadis itu memilih meninggalkan obrolan dan juga kamar inap Adrian.
Tiara berhenti tepat diambang pintu. Terdiam sesaat lalu berbalik pada Adrian lagi. Melanjutkan kalimatnya yang menggantung, " --aku akan pikirkan tentang istrinya. Bagiku... pengkhianat tak bisa dimaafkan."
Bersambung