Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Psycho Tiara

Bab 7 Psycho Tiara

"Never regret a day in your life; good days give happiness, bad days give experiences, worst day give lessons, and best day give memories." -- unknown

==

Keheningan diantara mereka terjadi. Tak ada siapapun yang memulai pembicaraan. Tiara akhirnya melepaskan pisaunya setelah suara langkah kaki bergerombol itu mulai mendekati mereka.

Bintang masih bersiaga. Pasang badan untuk tetap menahan pak Supardi agar tidak lolos darinya.

Salah satu karyawan wanita dengan dua satpam lantas datang dan menggantikan Bintang yang tengan menahan pak Supardi. Semuanya saling bertanya tentang keadaan Tiara yang terlihat baik-baik saja itu.

"Bagaimana dengan Ardian? Apa dia sudah dibawa ke rumah sakit?" tanya Tiara yang baru menyadari keadaan sekretarisnya setelah tadi terkena tikaman di perut.

"Sudah buk. Apa ibu akan menyusul ke rumah sakit?"

"Ah iya. Sekalian kau --"

Tiara mengeryit. Pasalnya pemuda yang bersamanya itu telah beranjak pergi. Mencari ke setiap sudut ternyata tak ia temukan jejaknya. Tiara lantas mencari keluar panggung hingga menuju ke lorong receptionist. Namun, tetap saja ia tak menemukan batang hidung si Bintang.

"Ibu cari siapa?"

"Pemuda tadi yang bersamaku di belakang panggung. Dia juga terluka di bagian lengan."

Bintang memilih keluar setelah memberitahu receptionist bahwa ia akan datang lain waktu. Mendengar ucapan atasannya itu, salah seorang dari mereka memberitahu tentang Bintang yang datang ke sini untuk melamar pekerjaan.

"Kapan dia akan datang lagi?" tanya Tiara sambil memperhatikan CV milik Bintang yang sengaja ia tinggalkan di atas meja.

Rasa penasaran Tiara sudah melambung jauh sebab dia sudah tahu siapa pemuda yang telah menyelamatkannya serta meneriakinya tadi.

Tiara tersenyum tipis mengingat kejadian beberapa menit yang lalu.

*kilas balik*

"Jangan kotori tanganmu dengan pembalasan seperti itu. Kendalikan dirimu dan biarkan dia mendapatkan hukuman dari perbuatannya," ujar Bintang menahan tangan Tiara agar tak menancapkan pisau tersebut ke punggung tangan pak Supardi.

Tiara menolak. Dia bersikeras untuk membalas walau sebenarnya dia tahu setelah ini mungkin dia akan mendapatkan masalah karena telah melukai pelaku di saat bukan untuk melakukan perlindungan diri.

"Aku benci pengkhianat dan pembohong. Dia seharusnya kehilangan tangan juga karena berani menggelapkan uangku!"

"Apa menurutmu semua manusia di dunia ini tidak ada yang berbohong? Pengkhianat?" Bintang berdecih. Dia bahkan lebih terlihat seperti ingin tertawa, "Kamu bahkan berkhianat pada dirimu sendiri yang berusaha mencoba untuk kuat namun ternyata gemetaran hebat."

"Kamu siapa? Jangan bicara seperti kamu mengetahuiku dengan baik."

"Tidak perlu tahu lebih dekat pun aku bisa melihatnya dengan jelas. Akui saja kamu takut menghadapinya."

"No. I'm not afraid," sanggah Tiara tak mau kalah.

Bintang menggaruk tengkuk kepalanya yang tak gatal. Mencoba untuk mengalah saja daripada harus berdebat dengan wanita yang selalu ingin menang sendiri.

"Terserahlah. Kalau begitu apa sebaiknya aku lepaskan dia?"

"Lakukan saja. Aku tak butuh bantuanmu."

Bintang tertawa karena merasa dejavu. Bukankah kata-kata itu mirip dengan seseorang yang menamparnya semalam? Karena tawanya itu Bintang baru menyadari lukanya. Ia lantas memeriksanya dan ternyata memang cukup lebar.

Bintang mengumpat dalam hati karena insiden ini. Dengan luka seperti ini, dia mana mungkin melakukan wawancara apalagi tes. Bintang menghela napas kasar lagi melihat wanita angkuh di depannya yangmasih menatapnya lurus.

Tatapan singa betina yang siap menerkam mangsanya.

"Wanita... kenapa sih sulit bagi mereka untuk bilang terima kasih?"

*kilas balik selesai*

"Lusa bu," jawab sang receptionist yang tak tahu menahu dengan apa yang tengah terjadi.

Tiara lantas mengangguk paham dan melenggang pergi meninggalkan kafe. Tepatnya, dia harus melihat keadaan Adrian yang juga terluka karena telah menyelamatkannya.

#

Pukul lima dan harusnya Bulan kini harus berhadapan dengan pemuda yang mengacau karirnya itu. Namun, nyatanya pemuda itu tak kunjung menampakkan diri. Bahkan ponselnya pun tak dapat dihubungi.

Bulan kesal hingga tak sadar sudah menjadi pusat perhatian karena tingkahnya yang sejak tadi mengumpat setiap kali suara provider itu terdengar diawal panggilannya.

"Berani-beraninya dia tak datang!"

"Mungkin ada urusan penting --"

"Atau dia takut?" celetuk Edo yang langsung dibantah oleh Gita yang tengah menikmati betul minuman cokelatnya.

"Mana mungkin. Dia pasti sayang dengan motornya --"

"Darimana kamu tahu? Kamu dukun, Git?" sindir Edo yang juga tak mau kalah dengan Gita yang sudah makan banyak hidangan yang ada di atas meja mereka.

Gita acuh tak acuh. Dia memilih kentang goreng sebagai cemilan terakhirnya, "Hanya feeling. Jangan dianggap serius, bang."

Edo menggerutu karena sudah kalah debat. Kembali pada Bulan yang sudah mencoba menghubungi Bintang untuk yang keduapuluh kalinya. Hingga gadis itu hampir saja melewatkan sosok Tiara yang berjalan tepat di hadapannya.

Bulan berteriak memanggil Tiara yang tampak tengah terburu-buru itu. Gadis itu juga bingung, kenapa ada banyak pengawal dan orang yang mengikuti Tiara pergi?

"TIARA!"

Tiara berhenti lalu mencari arah orang yang tengah memanggilnya itu. Didapatnya Bulan yang memanggil, Tiara datang mendekat saat Bulan juga tengah menghampirinya.

"Kenapa bisa ada di sini?" tanya Bulan heran. Pasalnya kantor Tiara bukan di sini, melainkan di pusat kota Batam dengan gedung dua puluh tingkat.

Rasanya aneh sekali jika Tiara berada di tempat seperti ini.

"Ini kan kafeku. Aku bebas kemanapun aku mau,kan?" jawab Tiara pedas.

Bulan menyipitkan matanya tak suka, "Ah yah terserahlah."

"Kau sendiri tengah apa di sini?"

"Oh! Aku mendapatkan nomor ponsel si mesum itu. Aku sudah menghubunginya untuk --"

"Mesum?" interupsi Tiara bingung.

"Iya. Orang yang menciumku tanpa ijin itu kupaksa dia datang untuk menemuiku. Tapi dia tak datang! Menyebalkan!"

"Kamu pasti mengancamnya," terka Tiara yang dijawab ragu-ragu oleh Bulan.

"Ehmm... mana mungkin!"

"Terserahlah. Aku harus ke rumah sakit, aku tinggal dulu."

"Siapa yang sakit?"

"Ada penyerangan tadi."

Bulan terbelalak. Gadis itu teralihkan dengan urusannya sendiri dan malah tertarik dengan kejadian yang menimpa Tiara beberapa saat yang lalu. Tiara menceritakan semuanya hingga Adrian harus dibawa ke UGD karena luka serius.

"Jadi, aku mau lihat kondisi Adrian dulu. Kemudian ke kantor polisi untuk memenjarakannya," tunjuk Tiara pada pak Supardi yang tertunduk lesu bersama dua orang satpam.

"Wah! Seperti di film saja."

Tiara tersenyum miring mendengar penuturan Bulan - sepupunya itu. Bagi Tiara walaupun Bulan cukup merepotkan karena kebiasaannya itu, hakekatnya Tiara masih mengandalkan Bulan. Jika tak ada Bulan, mungkin hidupnya akan semakin bertambah muram.

Sebab terkadang kehadiran Bulan cukup menghibur. Yah..walaupun itu sekedar sebagai teman ngobrol.

Lalu,sekelebat bayangan tentang Bintang menepis ingatannya. Tiara mulai meramalkan diri, bahwa sebentar lagi ia akan mendapatkan 'mainan' baru.

Yaitu Bintang.

"Kalau begitu, aku tinggal dulu yah."

"Oh oke. Hubungi aku jika terjadi sesuatu," pinta Bulan tulus saat Tiara sudah melenggang pergi meninggalkannya.

Karena merasa tak ada urusan lagi di sini, Bulan memanggil kedua rekannya untuk pulang. Tapi Bulan harus puas melihat kekacauan yang kedua rekannya itu lakukan.

Terlihat bagaimana kedua rekannya itu saling berebut makanan dan saling tarik menarik satu sama lain seperti anak kecil. Bulan memutar bola matanya jengah. Ternyata selain dirinya, ada lagi yang lebih memalukan sikapnya.

"Kalian berdua..mau ku nikahkan? Humm?" ancam Bulan yang sukses melerai keduanya dari pertikaian yang memalukan itu.

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel