Bab 6 Perempuan Gila (II)
Bab 6 Perempuan Gila (II)
"Your life isn't your's If you always care what others think." - unknow
==
Tiara mengetuk-ketukkan penanya ke atas meja. Menatap sinis semua manajemen kafe dan resto miliknya yang berada di Nagoya mall. Dia tak habis pikir, bagaimana bisa kafe yang begitu mewah dan pernah dinobatkan sebagai kafe terbaik anak muda itu harus mengalami penurunan pendapatan sedrastis ini?
Lokasi sudah sangat strategis. Makanan selalu menu terbaru dan disukai. Performa dan layanan juga menjadi prioritas utama bulanan untuk selalu dikaji dan disurvei berdasarkan vote pengunjung. Lantas, apalagi yang kurang?
"Menurutmu bagaimana Adrian?" tanya Tiara yang sudah jengah berada di tempatnya.
Terlihat jelas kalau Tiara begitu menahan diri untuk tak meledak di depan manajer mereka. Hanya tinggal menunggu bom itu meledak, maka semua ruangan akan berubah menjadi lautan api yang luas.
Adrian berhati-hati untuk memberikan pendapatnya. Setelah melihat laporan dan mempelajarinya, Adrian akhirnya menyebut bahwa ada keganjalan dalam laporan keuangan itu.
"Ini... terlihat tak masuk akal Pak Supardi. Anda melewatkan --"
"Itu sudah jelas, Pak Adrian. Memang penjualan kita berkurang karena bersaing dengan resto sebelah. Karena itu saya membuat recruitment mencari band dan solois akustik sama seperti mereka --"
"Pak Supardi. Bapak tahu motto kafe Maheswari, kan?" tanya Tiara mencoba tenang dengan memijit keningnya. Gadis itu lantas bangkit dari kursinya dan mendekati Adrian. Merampas laporan itu lantas melemparkannya tepat ke wajah pria lima puluh tahunan itu.
Suasana di ruang meeting tersebut jelas saja mengundang tanda tanya bagi semua staf kantor. Bagaimana tidak? Tiara dengan angkuhnya melempar laporan tersebut kepada orang yang lebih tua darinya. Berbekal kekuasaannya, Tiara melenggang berani memarahi bawahannya sambil menatap Pak Supardi serius. Karyawan yang sudah bekerja hampir sepuluh tahun dengannya dan juga papanya itu.
Pak Sumardi melotot sambil menggeram. Ia tak sangka akan dipermalukan seperti itu di depan perempuan yang baru merayakan ulang tahunnya yang ke dua puluh enam sebulan yang lalu.
"Bapak ingat motto kita? 'Jadilah nomor satu hingga semua orang menyaingimu.' Papa begitu bersikeras dengan motto itu dan aku terus mempertahankannya. Lalu bagaimana bisa bapak meniru kafe sebelah hanya karena pendapatan kita menurun?"
Semua terdiam. Tampak begitu realistik dengan apa yang Tiara katakan. Pak Supardi yang tadinya menggeram sambil mengepalkan tangannya, kini berangsur mencoba untuk menahan diri. Namun, tak menampik tatapannya masih tersulut akan kebencian dan kemarahan.
"Dan ah... bapak lihat bagaimana pengunjung kita? Tidak menampakkan adanya penurunan. Vote star kita juga masih yang tertinggi. Lantas dari mana pendapatan menurun ini bisa muncul? Apa dana pengelolaan uang kita yang buruk? Atau ada yang coba bermain sesuatu di belakang saya?" selidik Tiara yang sekali lagi tatapannya tertuju pada pak Supardi.
Para staf mulai berbisik-bisik di belakang mereka. Pak Supardi semakin terpojok dan tak ada satu kata pun yang terkuar dari mulutnya. Tiara menghela napas panjang dan dia memainkan penanya kembali. Memanggil wakil manajer untuk memperbaiki laporannya dan mencantumkan hal yang sebenarnya. Tak lupa, Tiara mendekati meja pak Supardi lagi dan berbisik pada pria yang terus menerus menunduk tanpa berani bersitatap dengan Tiara, bosnya.
"Dan, Pak.. saya tunggu surat pengunduran diri bapak di meja saya."
#
Entah ini kebetulan atau takdir yang tak terduga, Bintang baru menyadari bahwa dia akan wawancara dan bertemu dengan si gadis gila itu di tempat yang sama.
Sambil menghela napas panjang, Bintang masuk ke kafe yang luasnya hampir dua rante itu. Kemewahan dan tempatnya yang begitu luas sungguh membuat Bintang berpikir bagaimana bisa dia melewatkan tempat ini untuk mengajukan diri melamar pekerjaan?
Sesekali memperbaiki tatanan rambutnya, Bintang menemui bagian kasir untuk menanyakan perihal berita di dalam koran. Kasir tersebut mengkonfirmasi bahwa memang kafe tempatnya bekerja tengah membutuhkan solois akustik.
"Mas masuk ke lorong yang di sana, nanti ada bagian receptionis. Mas, bisa tanya ke sana," ujar gadis bertopi hitam dengan logo Maheswari alias logo dari kafe ini.
Bintang semringah lalu mengikuti petunjuk yang diberikan. Sesampainya di lorong, Bintang lagi-lagi terperangah dengan kafe ini. Setelah melewati tempat tersebut, maka Bintang di hadapkan pada pemandangan yang tak kalah mengejutkan. Seluas mata memandang, ia bisa melihat laut yang berbatasan dengan Singapura itu begitu indahnya. Dari sudut ruangan itu, ada meja yang tengah berdiri dua orang staf yang Bintang yakini adalah staf receptionis. Bintang menanyakan hal yang serupa hingga ia dipinta untuk menunggu.
Di sofa putih yang menghadap ke pantai, Bintang benar-benar menikmati waktunya. Dengan perasaan yang sedikit gugup tentunya.
Kurang lebih setengah jam, Bintang mulai gelisah. Pasalnya ia mulai ingin pergi ke toilet namun tak tahu harus pergi ke arah mana. Setelah berbincang dengan salah satu staf, Bintang diarahkan ke pintu rahasia yang ternyata dari balik dinding kayu yang Bintang pikir jalan buntu ternyata merupakan akses lain ke tempat yang lain pula. Bintang berbelok mengikuti staf pria tersebut dan ditinggal untuk melanjutkan urusan Bintang yang ingin pergi ke toilet itu.
Bintang selesai dan berupaya semaksimal mungkin untuk memperbaiki penampilannya. Baru beberapa langkah keluar dari toilet, Bintang mendengar suara gaduh dari balik dinding. Dan begitu ia menekannya lagi-lagi terhubung dengan ruangan lainnya lagi. Kali ini sepertinya berada dibalik panggung. Itu terlihat bagaimana banyaknya peralatan band dan baju yang biasa ada di belakang panggung.
Bintang berjalan sambil meraba di ruangan yang sepertinya sengaja dibuat temaram dengan hanya menggunakan lampu pijar kuning sebagai pencahayaan. Sampai di balik gantungan baju, Bintang mendengar seorang perempuan bicara dengan laki-laki yang tengah menggenggam sebilah pisau. Tak lama, ada suara gaduh dari luar yang memanggil nama keduanya. Mungkin mereka tengah dicari atau salah satu dari mereka dicari karena membahayakan.
Bintang bersiaga melihat keduanya terlihat tengah berbincang dengan pelik itu.
"Bapak mau menyerangku setelah menikam Adrian tadi? Atau mungkin sekarang berniat untuk membunuhku?" ucap Tiara tak peduli dengan pak Supardi yang tengah mengacungkan pisau ke arahnya.
Bintang mendekat perlahan mencoba mendengarkan lebih dekat. Tapi di hati Bintang sudah bergumam heran dengan perempuan itu. Karena bagaimana pun dia tengah terancam, kenapa malah menyulut api yang tengah berkobar di depannya.
"Saya tidak salah! Saya tidak menggelapkan uang seperti yang kau tuduhkan!"
"Kalau memang bukan, lantas siapa? Apa uang itu hilang dibawa tuyul?" ucap Tiara tanpa takut.
"Mengaku saja, Pak. Sehingga hukuman bapak mungkin bisa lebih ringan," sambung Tiara yang maju lagi mendekati pelaku.
"Kau memang tak punya hati! Tak pernah memperhatikan karyawanmu! Aku tak menyesal jika lakukan ini padamu!"
Dan sret! Darah mengalir deras dari lengan seseorang. Dan ternyata itu datangnya dari lengan Bintang yang lari mendekat untuk menjauhkan Tiara dari serangan pria tersebut. Tiara mengeryit melihat pemuda asing yang menyelamatkannya itu. Dengan sigap Bintang menangkap Pak Supardi dan menjauhkan pisau tersebut darinya. Saat Pak Supardi benar-benar tak bisa bergerak karena ditindih dari belakang oleh Bintang, tiba-tiba Tiara datang dengan pisau yang sama. Mengarahkannya ke telapak tangan pak Supardi yang menjulur di lantai.
Tiara bersiap dan Bintang tak melewatkan hal itu. Keduanya sama-sama berteriak dengan situasi yang berbeda. Tiara yang lelah menahan diri dan Bintang yang bermaksud menghentikan Tiara.
Dan itu cukup berhasil.
"Hei! Dia sudah kutangkap. Kenapa ingin menyerangnya balik?" tanya Bintang tak mengerti.
Diagrama Tiara naik turun. Masih melawan emosinya sendiri yang tak kunjung mereda. Kini ia malah menatap dingin Bintang yang ternyata juga tengah menatapnya penuh kehati-hatian.
Bersambung