Bab 5 Perempuan Gila (I)
Bab 5 Perempuan Gila (I)
"Do something today that your future self will thank you for." - Sean Patrick Flanery
==
Bintang bangun terlalu pagi hari ini. Mungkin karena curhatan sang adik yang membuatnya bersemangat untuk berjuang lebih gigih lagi.
Mencari kafe baru dan menjadi penyanyi terkenal adalah mimpi yang harus Bintang beri perhatian khusus baginya. Ia tak ingin menghabiskan waktu lagi dan berharap bisa cepat mendapatkan uang yang banyak agar bisa memboyong sang adik bersamanya.
Bintang tahu, betapa stressnya Rina di sana menghadapi sang papa yang otoriter akan hidup anak-anaknya. Dan karena tekanan itulah, Bintang berani untuk keluar dari zona nyaman namun tak menampik bahwa ia menyesal meninggalkam adik kesayangannya itu menanggung semua perbuatannya.
Ini melegakan bagi Bintang untuk bebas menentukan hidupnya. Namun, terasa tak adil bagi adiknya Rina.
“Jangan pedulikan Papa. Lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Kamu ingin mengorbankan diri kamu untuk sesuatu yang tidak pernah kamu sukai?”
“Lalu bagaimana aku melakukan itu tanpa ketahuan Papa?” tanya Rina frustasi.
“Terus, kapan Mas Bintang akan pulang? Sudah tiga tahun Mas meninggalkan rumah. Mas sama sekali tidak ingin pulang? Aku kangen,” tanya Rina membuat Bintang mendesahkan napasnya pelan.
“Nanti ya? Aku pasti datang untuk menemui kamu.”
“Atau aku saja yang datang ke tempat Mas Bintang? Aku akan datang kalau Mas kasih tahu ada di mana sekarang,” ucap Rina memberikan penawaran pada Bintang.
“Tidak perlu, Dek. Kamu tidak perlu datang ke sini. Nanti Mas yang akan datang. Memang, kamu ingin dapat hukuman dari Papa kalau kamu berani pergi dari rumah?”
“Tapi, aku ingin ketemu Mas Bintang.”
“Sabar ya? Banyak-banyak berdoa untukku,” pinta Bintang.
“Iya. Aku selalu mendoakan yang terbaik. Semoga Mas Bintang menjadi musisi handal dan sukses, ya?”
“Terima kasih, Dek. Hanya kamu yang menjadi penyemangatku. Ya sudah, aku tutup dulu teleponnya. Besok kita sambung lagi. Sudah malam kamu istirahat.”
“Iya. Mas Bintang juga.” Kemudian sambungan telepon pun terputus karena Bintang telah mematikannya.
Bintang bersandar pada tepian pantry. Menunggu sarapannya selesai di atas penggorengan. Sesekali ia mengacak rambutnya frustasi, berharap semua ini tak berkelanjutan seperti yang ia lalui tiga tahun ini.
"Mas, janji Dek. Mas janji!"
"Janji apa, Tang?" sahut Divo yang baru saja keluar dari kamar dan hendak menuju kamar mandi. Terlalu asik memikirkan tentang rencana masa depan, Bintang tak sadar dengan masakannya. Divo histeris begitu melihat kuali Bintang mengepulkan asap hitam.
"Gosong, Tang! Gosong!"
Bintang tersadar dan reflek mematikan kompor. Mengaduknya sebentar sebelum akhirnya ia sajikan di atas piring. Bintang tambah terkejut lagi saat melihat ada banyak Divo-divo yang kelaparan dan baru bangun tidur, duduk di meja makan sambil membawa piring mereka masing-masing.
Jadi, mereka bangun karena mendengar teriakan Divo tadi. Bintang menghela napas geli melihat kelakuan teman-teman kostnya yang terkenal absurd itu.
"Mau?"
Semuanya mengangguk serempak. Bintang dengan enteng menyantap nasi gorengnya lalu beranjak ke atap.
"Ambil sendiri."
Dan jadilah 'War of nasi goreng' di kost 88 simpang mall Nagoya.
#
Jaket jins biru terang dengan celana berbahan sama yang robek di lutut kiri, mencerahkan penampilan Bintang pagi ini. Sepatu kets putihnya juga selesai ia semir putih bersih hingga Bintang benar-benar siap menantang dunia pagi ini.
Divo yang masih asik menyantap nasi goreng gosong buatannya pun terhenyak melihat rekannya itu begitu bersemangat. Senyum Bintang menular pada Divo hingga rekannya itu membantu penampilan Bintang dengan mengambilkan gel rambut.
"Thanks."
"Mau ke mana?" tanya Divo akhirnya. Bintang menunjukkan selembar kertas koran yang sudah ia beri landmark. Ada lowongan kerja penyanyi akustis di salah satu kafe.
Tawarannya cukup menjanjikan. Divo ikut tersenyum cerah melihat berita itu.
"Bagus, nih. Dicoba dulu."
"Iya, doanya."
"Pastilah!" sahut Divo sembari ikut mengantar Bintang ke gerbang depan.
Belum ada satu langkah Bintang melangkah, ponsel jaman dulu milik Bintang berdering. Sebuah nomor asing terpatri di sana. Awalnya Bintang ragu untuk mengangkatnya, namun, karena ia teringat pernah melamar kerja ke beberapa tempat, Bintang berpikir mungkin itu jawaban atas penantian wawancaranya. Bintang mengangkatnya dengan hati yang berdebar-debar.
"Ya, halo? Siapa di sana?"
"Kamu, pemilik sepeda motor supra BP 1332 QU?"
Bintang mengeryit, mencoba memahami apa yang penelpon ucapkan. Setelahnya dia baru teringat dengan sepeda motor milik Divo yang terpaksa digadaikan untuk menebus kerusakan motor yang rusak di parkiran bar.
"Oh iya! Benar itu motor saya. Ada apa?"
"Kamu mau motor itu kembali ke kamu, kan? Datang ke resto Maheswari jam lima!" ujar si penelpon yang sama sekali tidak menyebutkan nama dan maksudnya dengan jelas.
"Kamu siapa?"
"Tidak usah banyak tanya. Datang ke sini karena kamu harus mempertanggung jawabkan perbuatan kamu kalau mau motor burukmu ini kembali ke kamu," ancamnya.
Membuat Bintang terperangah tak percaya mendengar apa yang baru saja gadis itu katakan. Dan yah, Bintang baru ingat suara siapa itu.
Suara itu adalah suara gadis yang menciptakan akar dari semua masalah ini. Gadis pemabuk yang sombong, angkuh dan pemarah itu. Bintang tersulut. Dia tak terima harus bertanggung jawab dengan semua masalah yang gadis itu buat. Bukankah sudah jelas kalau dia yang harus menanggung semuanya?
"Maaf, ya, Mbak. Kenapa harus saya yang bertanggung jawab? Di sini saya banyak mendapatkan kerugiannya. Motor teman saya harus tergadaikan, sedangkan mbak dengan seenaknya kabur."
Bulan memukul meja. Tak terima juga dengan apa yang Bintang katakan padanya. Setelah meneguk segelas air untuk menetralkan emosinya, Bulan melanjutkan ucapannya.
"Hei, Mas! Kamu seharusnya bersyukur karena motor buruk kamu itu sudah saya tebus untuk semua kerugian yang terjadi. So, sekarang urusannya adalah kamu dengan saya. Tentang urusan kita yang berakibat buruk pada karir saya."
"Oh, begitu? Saya merasa tidak berbuat salah pada, Mbak. Jadi urusan kita selesai."
"Hei!" teriak Bulan yang membuat Gita dan Edo terkejut dan terbelalak. Sudah dua tahun mereka bekerja dengan Bulan, baru kali ini mereka melihat Bulan benar-benar sefrustasi ini menyelesaikan masalahnya.
Mendengar dari percakapan mereka, Gita menebak bahwa perundingan ini akan berjalan alot. Karena sejak awal, Bulan tak bicara dengan cara yang baik-baik. Gadis berhijab orange itu berbisik pada Edo, yang tengah asik bertik-tok ria saat bosnya marah besar.
"Sepertinya... negosiasi akan berakhir buruk."
"Kita lihat saja nanti. Bulan pasti punya siasat jitu."
"Ok! Kalau kamu merasa begitu, saya akan bakar motor teman kamu ini hingga tak bersisa! Karena mau tak mau, motor ini sudah menjadi milik saya, kan?" ancam Bulan yang tampak tak main-main itu.
Edo berceletuk sambil mengacungkan jempol ke arah Gita, "Benar,kan, apa kataku."
Gita dengan wajah datarnya mengangguk mahfum. Lantas kembali mendengarkan percakapan kedua orang itu.
Bintang menggaruk kepalanya yang tak gatal. Di sebelahnya ada Divo yang mendengarkan dengan apa adanya dari balik ponsel Bintang yang merknya jaman dahulu sekali. Mendengarkan ancaman dari sang gadis yang akan membakar motor kesayangannya itu.
"Waduh. Jangan!"
"Dia benar-benar perempuan gila," sungut Bintang tak percaya.
Paginya benar-benar buruk. Bintang khawatir, setelah ini kesialan apa yang akan terjadi nanti.
"Dia mau apa?"
"Entah. Dia mau aku bertanggung jawab atas karirnya yang lagi kacau balau," bisik Bintang agar Bulan tak mendengar ucapan mereka.
Divo kembali berbisik,"Memangnya dia artis?"
Bintang menggendikkan bahu, "Entah!"
"Hei! Saya masih belum selesai bicara! Halo? Halo?"
"Iya! Saya masih dengar," sahut Bintang kesal. Melihat Divo yang khawatir dengan motor kesayangannya itu, akhirnya Bintang putar otak untuk menyelesaikan masalah ini dengan perempuan gila itu.
Bintang memberi dua opsi dan mudah-mudahan si gadis mau menerimanya.
"Kalau memang kerugiannya sudah kamu tebus, lantas saya tinggal melunasinya dengan kamu saja, kan?" tawar Bintang sehalus mungkin menurunkan nada bicaranya.
Bulan sedikit melunak walau ia juga masih kesal berbincang dengan Bintang melalui telepon begini.
"Ya. Tapi saya tak butuh uang dari kamu untuk menebusnya. To the point saja, kita bicarakan ini nanti sore. Kamu harus datang. Kalau tidak --"
"Oke! Baik. Saya akan datang."
Panggilan berakhir, menyisakan kekesalan pada diri Bintang. Ia kali ini harus puas menerima ucapan Divo tentang kesialannya bertemu dengan gadis pirang tersebut.
Sepertinya masalahnya ini, tidak akan berakhir begitu saja.
Bersambung