Bab 4 Bulan dan Tiara
Bab 4 Bulan dan Tiara
Breaking news pagi ini tak main-main. Wajah Bulan yang terkenal eksotis dengan penampilan yang selalu eksis itu pun dimuat di akun "Lambe Turah" seperti gadis yang tertangkap kasus prostitusi. Sensor sana dan sensor sini. Gosip sana dan gosip sini dengan mengubah video dirinya dengan seorang pemuda yang -- bahkan Bulan tak ingat wajahnya -- sebagai konten konspirasi tak masuk akal hingga menjadi viral dan trending di halaman penyiaran youtube.
Bulan merutuki kesialannya hari ini. Andai saja dia tak mabuk, Bara - abangnya - tak perlu repot-repot menelponnya pagi tadi. Tapi, satu kemajuan juga jika akhirnya ia masih memiliki seseorang yang peduli padanya. Walaupun datangnya dalam keadaan terburuk bukan saat semuanya baik-baik saja.
"Siapa dia?" ujar Bara diujung teleponnya.
"Dia bukan siapa-siapa, Bang!"
"Kalau bukan siapa-siapa, kenapa kamu sama dia bisa dapat masalah besar seperti ini? Kamu mau diseret papa pulang?"
Itu lebih buruk!
Bagi Bulan apa yang dikatakan saudara kandung satu-satunya yang dia miliki itu jauh lebih buruk daripada Lambe Turah memuat berita tentangnya.
Bagi Bulan pula, hidup dengan papanya justru akan membuat hidupnya kian bertambah memuakkan. Bulan tak mau itu terjadi. Sudah cukup puas bagi Bulan merasakan neraka di rumahnya dulu. Bulan tak mau lagi kembali ke sana meski janda pendamping papanya itu berubah menjadi ibu peri di kemudian hari. Bulan tak sudi. Abangnya Bara pun demikian. Jadi satu-satunya cara yang harus ia lakukan adalah memulihkan nama baiknya hingga ke akar-akarnya. Lalu beraktivitas seperti biasa tanpa ada ancaman apa pun.
Tapi... berapa kali pun Bulan memutar video itu, tetap saja tak mengarahkannya pada kejadian malam tadi. Yang tersisa dari ingatannya adalah ketika dia pergi dengan Kevin ke bar lalu ia ditinggalkan begitu saja saat mabuk. Untuk mengkonfirmasi semua itu, hingga menjelang siang ini, tak satu pun panggilan telepon dari Bulan itu diangkat oleh aktor ftv sekaligus merangkap menjadi mantan pacarnya itu. Membuat Bulan semakin yakin bahwa dia telah dicampakkan.
Efek minuman keras ini selain membuatnya lupa ingatan, Bulan juga baru menyadari mereka putus dari coretannya sendiri di cermin kamar. Di sana tertulis "We broke up tonight" yang langsung mendapat gelak tawa dari editor konten halaman penyiaran pribadinya sendiri -- Gita dan Edo.
"Kevin Iler benar-benar menampakkan taringnya," gerutu pemuda dua puluh tiga tahun bertubuh tambun, teman sekelas Bulan di SMA Cempaka dulu.
"Kealer Bang, bukan Iler," sambung Gita si penata busana merangkap menjadi editor yang juga merupakan teman sekelas Bulan.
"I dont care. Gara-gara dia... Bulan dapat masalah. Lambe Turah pun ikut-ikutan."
"Bukan karena Bulan mabuk? Coba kalau Bulan bisa --"
Ucapan sembarangan Gita memang tak bisa dihentikan. Gadis berhijab dan irit senyum itu memang suka sekali bicara apa adanya. Terkadang terlalu menohok hingga Bulan sempat ingin memecatnya. Tapi, kali ini Bulan tak bisa mengelak. Toh, dia memang sumber masalah dari semua masalah ini.
"Filter dulu Git ucapannya," bisik Edo mengingatkan.
Gita menepuk jidat sambil melirik Bulan yang masih duduk di kursi kerjanya alias kursi riasnya dengan wajahnya yang kusut.
"Maaf, keterusan," ucap Gita yang tetap saja dari wajahnya tak menunjukkan rasa penyesalan akan ucapannya tadi.
"Sudah ketemu siapa dia?" tanya Bulan memecah kecanggungan.
Gita mengangkat tangannya seperti ingin mengajukan pertanyaan. Edo menggelengkan kepala melihat rekan kerjanya yang super datar itu.
"Bagaimana kalau kita ke bar itu? Mungkin ada petunjuk di sana. Lagi pula itu parkir terbuka, pasti ada petugas parkirnya."
"Katakan peta! Katakan peta!" kelakar Edo menirukan slogan terkenal salah satu serial kartun. Melihat lirikan tajam dari Bulan, Edo menutup mulutnya rapat-rapat.
"Bagus juga idenya. Kenapa tak dari tadi bilang ke aku, Git?"
"Kamu tak bertanya," ucap Gita santai sambil ikut mengemas tasnya untuk mengikuti Bulan menuju bar tersebut.
Edo menggeram, "Kenapa aku bisa berada di antara mereka ya Robbi," keluh Edo yang menyusul kemudian.
#
Sampai di parkiran bar, mereka langsung menemui petugas parkir yang berada di lokasi kejadian pada saat itu. Namun sialnya, petugas tersebut tak bisa memberikan keterangan lebih lanjut siapa pemuda tersebut.
"Cuma ada motor ini yang tertinggal karena mereka tak sanggup membayar semua kerugian.."
"Mereka pasti meninggalkan alamat atau nomor telepon, kan, Pak?" selidik Gita antusias.
Petugas parkir yang diperkirakan berumur setengah abad itu lalu bergegas kembali ke posnya. Dan tak lama menyerahkan nomor ponsel setelah memberikan syarat pada Bulan.
"Syarat apa, Pak?"
"Sebenarnya mereka juga tak yakin untuk kembali membawa uang perbaikan, jadi dengan setengah ikhlas saya pakai uang pribadi untuk ...."
"Berapa semuanya? Tapi, ini benar nomor mereka, kan, Pak?" ucap Bulan yang paham betul apa maksud petugas parkir tersebut. Sambil ikut memberikan syarat, Bulan pun bergegas pergi setelah membayar semua kerusakan.
Dan saat akan menghubungi mereka, Bulan dikejutkan dengan satu nama yang tertera di layar ponselnya. Bulan berpikir lama untuk memilih. Mengangkat panggilan itu atau mengabaikannya.
#
Tiara tiba di kantornya. Mengamati semua karyawannya yang sudah menyambutnya dengan bungkukan hormat mereka.
Bukan rahasia umum lagi jika Tiara datang, akan banyak bisik-bisik dari orang yang melihatnya. Tiara yang selalu ingin terlihat modis itu akan selalu membuat semua mata terpesona pada kemewahannya.
Semua yang ia kenakan pasti barang bermerk. Bahkan untuk sebuah sendal jepit sekalipun, Tiara tak mau yang murah meriah. Tiara konsisten akan selalu terlihat mewah seperti itu untuk membuktikan pada semua orang bahwa dia adalah usahawan muda yang sukses membesarkan kafe and resto MAHESWARI hingga tersebar di seluruh Indonesia.
Kekayaan bersihnya saja menyentuh angka milyaran rupiah. Di akhir tahun lalu, Tiara juga dinobatkan sebagai Ernest & Young Entrepreneurial Winning Women dalam kompetisi wirausaha wanita se Indonesia. Siapa yang tak akan bangga memiliki anak seperti Tiara yang bisa meneruskan bisnis orang tuanya dengan sangat baik.
Walaupun terkadang ada banyak pengorbanan di belakang Tiara untuk mewujudkan itu semua.
"Rapat pukul berapa?" tanya Tiara dingin pada sekretarisnya yang bernama Adrian.
Tidak umum memang memilih sekretaris seorang pria. Tapi semua itu Tiara lakukan semata-mata ingin bekerja dengan profesional. Jika wanita keras kepala sepertinya memiliki sekretaris wanita yang umumnya akan selalu membawa perasaan dalam bekerja, maka pilihan Tiara sudah tepat saat dia anggap pola pikir pria akan lebih realistis dan stabil saat menghadapi perangai Tiara yang suka mengejutkan.
"Pukul sepuluh," jawab Adrian singkat.
Tiara menyecap latte miliknya sebelum bangkit lagi dari kursinya menuju ruangan yang dipersiapkan untuk rapat internalnya.
"Ada masalah?"
"Ada. Sedikit kendala di resto cabang Nagoya."
"Masalah apa?"
"Pendapatan mereka menurun sejak dua bulan lalu. Sekitar dua sampai enam persen. Saya sudah menghubungi manajer di sana dan ...."
"Kita ke sana setelah rapat. Tapi aku minta untuk silent (diam-diam)."
Adrian mengangguk lantas mengekori Tiara dari belakang. Secara mendadak Tiara menghentikan langkahnya hingga Adrian yang terlalu fokus pada tablet di tangannya pun tak sengaja menabrak Tiara yang ada di hadapannya.
Keduanya saling bersitatap canggung sambil menilai penampilan masing-masing. Hening cukup lama saat mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Hingga Tiara lebih dulu buka suara sambil melipat tangannya ke dada.
"Besok... jangan pakai dasi itu lagi."
Adrian melirik dasi berwarna biru donkernya itu bingung, "Kenapa?"
"Kita berdua terlalu mencolok. Karena --"
Adrian mundur selangkah sambil menelan ludah bingung. Pasalnya Tiara tiba-tiba mendekat untuk menarik dasinya lalu ia menanggalkannya dari leher Adrian tanpa permisi.
" ... cukup aku saja yang bersinar," tandas Tiara yang berlalu sambil membuang dasi Adrian ke tempat sampah.
Adrian memijit kening sambil tersenyum.
"Dasar narsistik," gumamnya sambil berlari kecil mengikuti Tiara yang telah jauh melangkah.
Bersambung