Bab 3 Ukulele Biru Tosca
Bab 3 Ukulele Biru Tosca
"Sometimes life doesn't give you what you want, not because you don't deserve it, but because you deserve so much more." - unknown
==
Satu jam lebih Bintang tak muncul. Acara makan bakso yang di sponsori oleh Seva pun gagal. Mereka berdua memilih untuk lesehan di depan teras kost Divo sembari menikmati kwaci yang Seva bawa dari kostnya.
Seva -- gadis pulau yang kaya tapi tak pernah menunjukkan kemewahannya itu mengeryit mendengar cerita Divo tentang kesialan mereka hari ini. Sesekali gadis itu tergelak saat Divo menceritakan tentang bagaimana sepeda motor yang ada di parkiran itu terjatuh bak balok domino.
"Terus..terus?"
"Terus kabur!" tandas Divo. Membuat Seva terkekeh mendengar akhir dari cerita Divo itu.
"Harusnya dikejar. Masih ingat sama wajahnya?"
Divo mencoba mengingat. Pemuda bertubuh tambun itu merasa tak asing dengan perempuan tersebut. Tapi dia lupa pernah melihatnya di mana.
Tak lama Bintang muncul. Dengan wajah kusutnya yang bertambah kusut. Duduk dengan pandangan kosong berhadapan dengan Seva yang terperangah dengan tampang Bintang yang tak biasa. Divo melirik Seva bergantian, mencari cara untuk menghibur teman mereka yang seperti tak punya harapan hidup itu. Tapi sepertinya, lawakan Divo pun tak berhasil membuat Bintang secerah namanya.
Seva berdeham pelan, memainkan ponselnya lalu menjentikkan jarinya teringat akan sesuatu. Berharap bisa menghidupkan suasana yang tiba-tiba menjadi sepi ini.
"Eh..kalian butuh pekerjaan, kan? Teman aku butuh orang untuk part time job."
"Di mana? Kerja apa? Aku mau sih mau saja. Kamu bagaimana Tang?" tanya Divo yang tak mendapat tanggapan dari cowok Capricorn itu. Mereka berdua serempak melirik Bintang lagi yang masih termenung sambil memilih menyandarkan kepalanya ke dinding menutupi wajahnya.
"Part time di kedai martabak sebelah mall Nagoya."
"Kerja di bagian apa? Dapur?"
"Iya --"
"Apa itu nasib? Apa selamanya seperti ini terus? Kapan suksesnya? Tiga tahun tak menghasilkan apapun!"
Bintang mengeluh. Membuat kedua rekannya berhenti bicara sejenak untuk memahami masalah Bintang kali ini. Mereka tiga sahabat, yang punya cerita masing-masing dalam pertemanan mereka selama ini. Saling mendukung dan merasakan kesedihan, sudah menjadi bagian dari cerita mereka.
Bintang bersyukur masih ada teman yang mendengar keluh kesahnya. Lantas telepon dari sang adik menyadarkannya dari mimpi. Selama tiga tahun dia masih begini. Bagaimana dia bisa membimbing sang adik agar tetap pada mimpinya sebagai Balerina? Kalau dirinya saja masih meraba akan nasib di perantauan.
Huh! Bintang sekarang merasa kalah dengan sang ayah. Ucapan pedas itu menjadi boomerang baginya. Apa menjadi penyanyi bukan lah jalannya? Lantas..apa Bintang harus kembali dan memohon pada sang ayah agar diterima kembali di keluarga Pramudya?
Entahlah! Bintang mulai bimbang akan mimpi-mimpinya itu.
"Semua butuh proses, Tang. Aku yakin satu hari nanti kalian pasti bisa mendapatkan hasilnya. Dunia belum berakhir --"
"Tapi, bagi adikku, duniakami benar-benar berakhir."
Seva terdiam. Gadis itu melirik pada Divo yang sudah memberikan kode padanya bahwa nasehat apapun tak akan mempan untuk Bintang malam ini. Pemuda itu sedang ingin mengeluh. Maka biarkan lah dia mengeluh sepuasnya. Toh, semua tetap akan kembali pada kenyataan. Bahwa masalah itu tak akan selesai jika kita terus berkeluh kesah. Bintang sadar akan hal itu.Maka yang bisa dia lakukan sekarang adalah menerimanya. Menerima konsekuensi dari apa yang telah ia pilih.
Setiap apa yang kita pilih selalu akan ada konsekuensinya. Jika itu baik bagimu maka itu adalah keberuntunganmu, namun jika yang didapat adalah kebalikannya, maka itu adalah ujian bagimu. Mana yang terbaik? Yang terbaik adalah menerima hikmahnya.
Entah sudah berapa kali Tiara mengetuk pintu kamar sepupunya itu. Ia bahkan tak dapat mendengar suara dengkurannya dari balik pintu.
Apa gadis itu mati? Atau dia benar-benar pergi dari apartemennya?
Itu lah yang sejak tadi gadis itu pikirkan. Bisa merepotkan jika Tiara meninggalkan Bulan begitu saja tanpa tahu apa yang tengah terjadi padagadis itu di dalam kamarnya.
"Jangan-jangan Bulan.."
Tiara kembali ke kamarnya. Membuka laci lantas mencari sesuatu. Sebuah kunci cadangan ia dapatkan. Dengan cepat Tiara membuka pintu dan mendapati kamar Bulan yang penuh dengan tisu dan pil bertebaran di lantai. Atensi Tiara berpindah pada ranjang putih yang di sana terdapat juntaian tangan Bulan di tepian ranjang. Dengan tubuh yang tertutup selimut putih sampai ke atas kepala, membuat Tiara semakin panik karena Bulan tak bergerak sedkit pun dari dalam selimut.
Tiara menyingkap selimut lantas meringis. Takut akan pikirannya sendiri membayangkan kalau Bulan sudah...
"Bulan? Lan?" panggil Tiara sambilmenggoyangkan tubuh Bulan perlahan. Tak ada respon, Tiara kembali mengulang cara yang sama. Cuma kali ini dia melakukannya dengan lebih keras lagi agar Bulan terbangun.
"Lan! Bulan!" panggil Tiara semakin panik.
Hingga..
"Bulan!"
"Tiiidaaaak!" gumam Bulan menunjuk ponselnya yang ternyata tengah menyala.
Tiara terkejut. Ia bahkan harus mengelus dada karena tingkah Bulan yang berlebihan.
"Apalagi sekarang?"
"Semalam aku mabuk lagi yah?"
Seperti yang sudah-sudah. Bulan akan lupa segalanya jika dia mabuk. Termasuk kejadian tadi malam yang disinyalir Tiara bahwa gadis itu tengah mendapatkan masalahnya. Dan itu terbukti saat Bulan menunjukkan breaking news pagi ini tentang dirinya.
"Ini bukan aku kan Tiara? Bukan kan?"
Tiara melirik sekilas sebuah judul postingan di salah satu akun gosip. Terpampang juga video berdurasi satu menit di sana yang tengah menunjukkan rekaman dirinya - Bulan, tengah berdebat dan berciuman dengan seorang pria tak dikenal di parkiran sepeda motor.
Tiara mengeleng tak percaya bahwa itu benar-benar Bulan. Sepupu yang ialihat sekarang tengah berteriak gaduh dengan berita tersebut.
"Ini tadi malam?"
"Itu bukan aku kan? Mana mungkin aku seperti itu --?
"Tidak bisa terbantahkan. Itu jelas-jelas kamu," jawab Tiara tak acuh kemudian berlalu meninggalkan kamar Bulan.
"Jadi...aku harus gimana?"
Tiara mengendikkan bahu, seolah tak ingin ikut campur. Namun akhirnya Tiara tak bergeming juga melihat sepupunya itu kebingungan dan panik karena ulahnya sendiri.
"Klarifikasi dong, apa lagi?"
"Terus?"
Tiara menggeram. Pagi-pagi harus melihat kelemotan Bulan yang adadi bawah standartnya. Biasanya gadis itu akan aktif dan cerdas saat dalam keadaan normal. Tapi tampaknya tidak berlaku untuk pagi ini. Mungkin juga karena efek minuman keras sisa kemarin.
"Ya klarifikasi kalau itu kecelakaan. Memangnya kamu sama sekali tidak ingat kejadian semalam?"
Bulan menggeleng, "Sedikit pun...aku tak ingat."
Ia kemudian mencebik, lantas mulai ingin menangis. Tiara menghentikan tingkah gadis itu dengan berlalu pergi setelah mengambil tas Dior miliknya yang berada di atas nakas. Sudah tak ada waktu untuk meladeni Bulan. Waktunya akan terbuang sia-sia jika dia masih berdiri di sana sambil melihat tingkah kekanakan sepupunya itu.
"Bye..bye. You got a problem now."
"Ahhh Tiara, tolongin dong," rengek Bulan yang menghalangi langkah Tiara untuk keluar dari apartemennya. Tiara memutar bola matanya jengah. Tak ingin lebih jauh meladeni Bulan.
Tiara lantas berbalik menghentikan rengekan Bulan yang semakin menjadi-jadi.Menangkup wajah gadis itu dengan kedua tangannya lalu mendikte Bulan agar menatapmatanya lekat-lekat.
"Itu konsekuensidari apa yang kamu lakukan. Jangan melarikan diri. Aku tidak akan membantumu jika yang kamu pinta itu untuk menutupi kesalahanmu."
Bulan tercengang. Ia lantas mengangguk paham, begitu Tiara melepaskan kedua tangannya dari wajah Bulan. Gadis berkulit kuning langsat yang tengah mengenakan dress kantor itu pun juga mengangguk. Menganggap Bulan sudah sepenuhnya sadar dengan apa yang dia katakan.
"Sekarang cuci muka lalu sarapan. Itu akan membantumu berpikir jernih, paham?"
Setelahnya Tiara melenggang pergi meninggalkan Bulan. Yang masih terperangah sendirian sambil mengacak rambutnya geram.
"What should i do? Then...who is he?" ujar Bulan menunjuk pemuda yang berhasil merasakan bibir tipisnya itu. Sesekali Bulan mencoba mengingat kejadiannya tapi malah ukulele biru tosca yang terlintas dipikirannya.
"Who is he? Entahlah. Yang jelas...dia harus tanggung jawab dengan masalah ini!"
.
.
bersambung