Bab 3 Professor
Di sebuah ruangan dalam Komplek Pengurus, beberapa orang tengah melihat hasil test tertulis pertama yang diadakan untuk para Kandidat. Mereka sibuk memberikan penilaian dan ketika semua hasil test sudah dinilai, mereka mengumpulkan kertas itu dan membawanya ke sebuah ruangan yang berada di lantai tiga gedung ini.
Meskipun Kandidat tidak diperbolehkan masuk ke dalam Komplek Pengurus ini, tapi para Pengurus tetap harus mengenakan topeng mereka saat berada dalam Komplek, terkecuali di dormitory pribadi masing-masing Pengurus.
Terkecuali Sang Professor.
Dan kali ini, Pengurus yang membawa tumpukan kertas hasil test itu membawanya menuju ke ruangan Professor. Tak lama kemudian, dia sudah berdiri di depan ruangan yang ditujunya. Setelah berdiri selama beberapa detik, pintu ruangan itu terbuka sendiri.
Si Pengurus masuk ke dalam dengan sikap hormat dan menunggu tanda-tanda dari Professor yang terlihat sedang sibuk di depan layar komputernya yang mengambang di atas meja. Tangannya bergerak-gerak menekan tombol keybord yang berupa hologram tiga dimensi yang ada di depannya.
“Ya?” tanya Professor kepada Pengurus yang masih berdiri di belakangnya.
“Saya membawa hasil ujian tertulis pertama kita dari para Kandidat, Professor,” jawab Pengurus pelan.
Professor menoleh pelan ke arah Pengurus yang langsung menundukkan kepalanya ketika mereka bertatapan mata. Sosok Professor yang terlihat seperti seorang cendekiawan yang mengenakan kacamata dan rambut yang dipenuhi uban berwarna putih itu terlihat bagaikan sosok menakutkan bagi si Pengurus.
Dan mereka benar soal itu.
Professor adalah mastermind yang menggagas program yang sekarang dilaksanakan di Pulau. Program keji yang berusaha menciptakan mesin pembunuh efisien dengan menghilangkan konsep kemanusiaan pada diri anak-anak yang disebut Kandidat itu.
Para Kandidat akan dibesarkan dan dididik tanpa rasa kasih sayang dari orang tua, saudara dan lingkungan secara normal. Mereka tidak akan mengenal konsep sosial, mereka hanya akan diajarkan konsep survival of the fittest. Yang terkuat dan tercerdik lah yang akan bertahan hidup. Hingga akhirnya, para pemenang itulah yang akan menjadi senjata andalan yang mereka cetak dari program gila yang digagas Professor.
Program yang diberi codename “Lone Wolf”.
“Tinggalkan berkas itu di meja,” kata Professor pendek.
Si Pengurus dengan cepat meletakkan berkas itu diatas meja dan menganggukkan kepalanya sebelum dia akhirnya pergi meninggalkan ruangan itu secepatnya. Sama seperti dengan para Pengurus yang lain. Dia ada disini karena uang. Setiap pengurus yang bekerja disini diberikan gaji yang besarnya beberapa kali lipat dari yang mereka terima di dunia luar sana.
Tapi syarat dan cara bekerja yang unik juga harus dipenuhi oleh para calon Pengurus itu. Mereka juga akan selalu dirotasi setiap satu bulan sekali, bergantian dengan pekerja lain yang akan bertugas disini untuk satu bulan berikutnya. Semuanya seperti itu, mulai dari Pelayan, Koki sampai ke para Penjaga yang bertugas di menara penjaga itu.
Hanya satu orang yang tidak pernah meninggalkan Pulau sama sekali, sama seperti nasih para Kandidat, dialah sang Professor. Di dalam ruangannya, terdapat ratusan layar yang selalu memonitor setiap sudut Pulau yang bisa dia pantau setiap saat, kapanpun dia mau.
Ketika si Pengurus sudah keluar dari ruangannya, pintu tertutup sendiri. Professor melirik ke belakang sebentar dan dengan cepat dia melambaikan tangannya. Tumpukan kertas yang berisi jawaban para Kandidat melayang ke telapak tangannya.
Sudah sejak dari tadi siang, Professor ingin sekali melihat hasil test dari para Kandidat. Mungkin bagi para Pengurus, anak-anak itu hanyalah sekumpulan anak malang yang dididik untuk menjadi prajurit terkuat di Pulau. Tapi bagi Professor, mereka semua adalah anak-anaknya.
Jadi suatu hal yang mustahil jika dia tidak tertarik untuk melihat hasil ujian anak-anaknya sendiri. Tapi di depan Pengurus, dia harus tetap mempertahankan image-nya sebagai seorang Professor yang cerdas nan kejam. Karena dia butuh para Pengurus itu untuk mematuhi semua aturan-aturan yang dia tentukan saat berada di Pulau.
Dengan cepat Professor membaca hasil test keempat puluh Kandidat satu persatu. Dia membutuhkan waktu kurang dari satu menit untuk tiap lembar kertas yang dia baca. Dan dengan cepat juga Professor dapat menyimpulkan tingkat ‘knowledge’ yang dimiliki oleh para Kandidat setelah dua bulan ini mereka berada di Pulau.
Professor kemudian melambaikan tangannya ke arah keyboard yang ada di depannya dan sebuah list yang berisi empat puluh nama Kandidat muncul di depannya. Perhatiannya langsung beralih kepada sepuluh besar yang mendapatkan skor tertinggi dari test pertama mereka.
Mata sang Professor langsung tertuju kepada sebuah foto gadis kecil yang sedang tersenyum dan dibawahnya terdapat dua buah kata, Tiga Delapan. Kandidat tertinggi yang mempunyai skor 92 untuk test knowledge pertama mereka.
Gadis kecil itu hanya salah dalam menjawab 8 pertanyaan yang sudah ditentukan oleh Pengurus. Professor tersenyum sambil memandangi foto gadis kecil yang sekarang sudah diperbesar dan memenuhi separuh layar monitor di depannya.
Tapi, tiba-tiba Professor merasa ada sesuatu yang sangat salah saat dia memeriksa jawaban para Kandidat tadi. Professor adalah seorang genius yang mengandalkan logika. Tidak ada kamus dalam kepalanya untuk menggunakan feeling atau perasaaan untuk menilai sesuatu.
Dengan cepat dia mengambil tumpukan kertas itu dan kembali menelitinya satu persatu. Ketika dia menemukan sebuah lembar kertas jawaban yang mempunyai skor dalam sepuluh besar Kandidat dan berada dua point di bawah Tiga Delapan, Professor berhenti dan membacanya dengan teliti.
Beberapa menit kemudian, Professor tiba-tiba tertawa keras dalam ruangannya yang hening itu, “Kampret!! Kau pikir bisa menipuku?”
Dengan cepat Professor melambaikan tangannya dan mengetik sebuah input data ke dalam biodata bocah yang namanya tertulis di kertas yang masih dia pegang. Kertas jawaban milik Tiga Tujuh.
Di layar yang mengambang di depan Professor, foto Gaju terpampang bersebelahan dengan Tiga Delapan. Sebuah skor baru terlihat di kolom hasil test tertulis di bawah nama Gaju. Skor 100, perfect score.
“Aku hidup lebih lama darimu, lain kali, kalau mau mencoba menipuku, cobalah lebih cerdik sedikit. Jangan berpura-pura salah pada pertanyaan yang gampang, tapi berpura-pura salahlah pada pertanyaan yang rumit.”
“Bagaimana mungkin kamu salah di pertanyaan yang sederhana? Sedangkan di pertanyaan sulit, semua pertanyaan berhasil kamu jawab dengan sempurna,” gumam Professor dengan mata berbinar-binar sambil menatap foto Tiga Tujuh.
Professor kemudian ingin memasukkan data hasil test skor ke database pusat ketika tiba-tiba dia berhenti melanjutkan gerakannya, “si Bocah Kampret itu dengan sengaja menjawab salah, itu artinya dia tidak ingin kemampuannya yang sesungguhnya diketahui. Dan itu berarti dia sedang menciptakan kamuflase bagi dirinya sendiri. Dia ingin menipu semua kawan-kawannya.”
Hahahahahahahahahahaha.
Professor kembali tertawa kesetanan di dalam ruangannya. Tawa yang lebih keras daripada tadi saat dia menemukan bahwa Gaju dengan sengaja telah salah dalam menjawab pertanyaan test tertulisnya.
“Bocah, aku suka caramu. Sedari awal, kamu sudah sadar bahwa Kandidat lain adalah musuhmu dan kamu dengan sengaja menyembunyikan kemampuanmu.”
Professor menatap foto Gaju dengan tatapan seolah-olah telah menemukan sebutir berlian di tumpukan sampah. Dengan cepat, kedua tangan sang Professor mengubah input data hasil skor Gaju kembali menjadi 90. Tanpa ragu dia menekan enter pada tombol keyboardnya. Dan saat itu juga, semua Kandidat menerima dan mengetahui hasil test mereka dimanapun mereka berada.