BAB 7
Mira terus menggambar untuk sementara waktu, lalu saat dia melihat ke atas lagi, pensilnya berhenti bergerak dan dia cuma diam menatap penisku.
Shit.
Aku melihat Mira hanya menatapku, masih belum menggambar, lalu aku melirik ke bawah untuk melihat kemaluanku mulai bergerak tanpa bisa kukendalikan.
"Maaf," kataku.
Mira mendongak padaku, dan pipinya tampak bersemu merah "Gapapa."
"Kau harus memecatku," kataku dan tertawa malu. "Kamu bilang gitu kan kalau modelnya ereksi."
Dia tertawa lembut, lalu berkata, "Yo, boleh ga aku gambar kamu kayak gini?" Dan kemudian, "Masih bisa lebih besar?"
"Wow," katanya. "Aku belum pernah lihat penis yang lagi ereksi sedekat ini..." dia menatap, mencari kata-kata. "Indah."
Aku sadar aku jadi makin terangsang mendengar Mira memuji penisku, dan penisku terayun ke atas dan sekarang bersandar di perutku, kepala jamur hampir mencapai pusarku.
"Maaf," kataku, "Sebaiknya aku pakai baju lagi," dan aku mulai duduk.
"Jangan," Mira mengangkat tangannya, "Jangan berani-berani. Aku pingin gambar kamu, kayak gini..." Dia berhenti tiba-tiba dan menatap wajahku. "Boleh ga, Yo? Boleh ga aku gambar kamu kayak gini?"
"Aku.. ga tahu, Mir, rasanya agak ... aneh,?"
"Yo, ga ada yang salah atau aneh saat orang terangsang. Ga ada sama sekali."
"Tapi aku terangsang gini, di depanmu, sepupuku sendiri?"
"Aku ga keberatan, Yo, beneran. Itu kalau kamu juga ga masalah."
Aku ga tahu harus bilang apa. Aku merasa ini salah telanjang didepan sepupuku sendiri, tapi juga sangat menggairahkan ereksi di depan Mira, gadis yang sering mengisi khayalanku.
Mira menatapku lagi. Dia merobek halaman yang sudah dia kerjakan dan mulai membuat sketsa di halaman baru dengan cepat.
"Bisa tahan berapa lama, Yo?"
"Ga tahu," kataku. "Mungkin beberapa menit, mungkin satu jam. Tergantung."
"Tergantung?" dia berkata.
"Ya... tergantung seberapa terangsang aku."
"Sekarang kamu masih terangsang?" katanya, masih menggambar.
"Ya, rasanya sih masih. Maaf Mira, tapi aku merasa bersalah terangsang di depanmu ..."
"Ini salahku," kata Mira. "Seharusnya aku ga biarin Febi nyium aku di depanmu semalam. Aku ga tahu itu bikin kamu jadi gini, tapi aku rasanya tetap mau ngelanjutin ini. Aku yang harus minta maaf."
"Ya, mungkin karena itu," kataku, berharap dia akan percaya aku dan ga sadar kalau sebenarnya dia yang bikin aku terangsang.
Mira tertawa sambil terus menggambar. "Aku dengar itu salah satu fantasi cowok, ngeliat dua cewek bermesraan?"
Aku mengangguk. "Aku juga dengar," kataku, lalu, "Mir, kapan kamu pertama kali tahu kalau kamu suka sesama jenis?" Itu adalah pertanyaan yang sudah ingin aku tanyakan padanya sejak tau dia lesbian, tapi ga pernah ada kesempatan sebelumnya.
Dia menatapku, menatap penisku. "Kapan kamu pertama kali tahu kalau kamu cowo normal?"
"Itu beda kasus lah."
"Sama aja lah. Mungkin pertanyaan yang benar adalah: Kapan kamu pertama kali tahu kamu suka cewe? Kayaknya sudah pasti kamu suka cewe kan ya." Dia tersenyum dan melirik pada kemaluanku.
"Saat aku ... sekitar dua belas tahun, kayaknya. Saat aku mulai ngeliat cewe bukan lagi sebagai sesuatu yang mengganggu, mulai ngeliat cewe sebagai sesuatu yang beda..."
Mira mengangguk, masih membuat sketsa, tangannya bergerak cepat. "Sama juga buat aku. Bedanya dalam kasusku, itu bukan cowo, tetapi cewe lain."
"Ribet ga sih?" Aku bertanya. "Maksudku, kamu kan bakal berbagi kamar mandi di tempat umum, kamu nongkrong sama cewe, pasti ribet kan?"
"Banget. Kamu ga akan percaya susahnya nahan perasaan. Kamu ingat semua surat yang dulu kukirim ke kamu?"
Aku mengangguk.
"Itu buat cewe-cewe yang aku taksir."
"Terus mereka bilang apa pas nerima suratmu?" Aku bertanya.
Mira tertawa. "Aku ga pernah mengirim satupun. Itu semua cuma cinta tak berbalas - atau nafsu tak berbalas."
"Jadi, kapan kamu..."
"Kapan aku apa?" Dia menatapku, senyum bermain di bibirnya.
"Kamu tahu maksudku," kataku.
"Ga pernah, sampai aku datang ke sini," katanya. "Suasananya beda, Jakarta beda, segala hal ada disini dan aku ga merasa aneh lagi, ga merasa sendiri, aku jadi sedikit.. liar."
"Oh ya? Liar gimana?"
Mira tertawa. "Kamu pasti pingin tahu tentang hubungan sesama cewe, kan? Kayaknya ceritaku bisa bikin kamu makin penasaran. Aku simpan dulu sampai kalau aku mabuk banget, baru aku bakal cerita."
Mira menyelesaikan sketsanya dan merobek halamannya, bikin lagi yang baru.
"Yo ... mau ga kamu, eh... mau ga kamu megang penismu?"
"Apa?"
"Coba kamu pegang penismu, seperti kalo pas lagi masturbasi? Aku mau gambar kamu seperti itu. Gapapa kan?"
Aku merasa setengah terpesona sekarang, dan mulai menggengam batang kemaluanku. Mira membuat sketsa, lalu mengambil kamera, mengambil foto beberapa kali dengan cepat.
"Coba gerakin sedikit ke atas dan ke bawah, aku mau lihat seperti apa itu."
Aku mulai mengosok penisku perlahan dari pangkal ke kepala. Kamera bersuara setiap kali Mira memotret.
Aku melirik ke bawah dan melihat cairan pelumas mulai keluar dari lubang kencingku dan menetes ke perutku.
Mira terkesiap. "Ya ampun, Yo, apa kamu baru ejakulasi?"
Meskipun aku sedang terangsang, aku tertawa. "Bukan, Mir, itu bukan ejakulasi."
"Oh. Kupikir, kamu tadi ..."
Aku ingat dia belum pernah melihat laki-laki ejakulasi, dan ga akan bisa bedain.
"Warnanya beda kalau itu sperma, "kataku," Warnanya putih, lebih banyak, lengket, dan akan muncrat lebih jauh dari itu."
"Oh," kata Mira lembut.